Kisah Imam Ghazali Mendapatkan Ilmu Batin |
Ini adalah tulisan Ketiga atau bagian terakhir, Tulisan Pertama : Cahaya yang menerobos Relung-Relung Batin. Tulisan Kedua: ILMU LAHIR - BATIN Mana Lebih Penting?
Mafaza-Online | Untuk menjadi manusia pakar dengan level Bijaksana seseorang harus memiliki akal yang sehat dan cerdas. Intelektual yang dapat mengenal sesuatu berdasarkan dalil-dalil, bukti-bukti dan dapat mengetahui sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya.
Barang siapa yang telah mencapai hikmah dan pengetahuan yang demikian itu berarti dia telah mampu membedakan antara janji Allah atau bisikan setan. Lalu janji Allah diyakini sebaliknya bisikan setan dijauhi.
Allah SWT menegaskan, bahwa siapa saja yang telah memperoleh hikmah dan pengetahuan semacam itu, berarti dia telah memperoleh kebaikan yang banyak, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Baca Juga: Gerakan “Wahabi” Di Indonesia
Dia tidak mau menerima bisikan-bisikan jahat dari setan, bahkan dia menggunakan segenap panca indera, akal dan pengetahuannya untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang batil. Memilah mana yang petunjuk Allah dan mana yang bujukan setan. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Kalau begitu, mungkinkah Ilmu Batin ini didapat oleh orang yang malas alias generasi rebahan doyan sambat dan curhat?
Jadi Ilmu Lahir dan Batin tidak untuk dipertentangkan, karena pada akhir ayat ini Allah memuji orang yang berakal dan mau berpikir. Mereka selalu ingat dan waspada serta dapat mengetahui apa yang bermanfaat dan dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
"Datangnya pertolongan Allah itu sesuai dengan persiapan, sedangkan turunnya cahaya Allah itu sesuai dengan kejernihan relung-relung batin," Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam
Beliau dikenal pula sebagai ahli dalam filsafat dan tasawuf dan banyak mengarang kitab-kitab.
Suatu ketika Imam Al-Ghazali menjadi imam di sebuah masjid, tetapi saudaranya yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama Imam al-Ghazali, lantas Imam Al-Ghazali mengadu kepada ibunya.
"Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat berjamaah denganku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap buruk padanya," kata Imam Al-Ghazali.
Ibu Imam Al-Ghazali lantas memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al-Ghazali.
Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu, tapi di tengah, Ahmad melihat darah membasah perut Imam. Tentu saja Ahmad memisahkan diri.
Seusai shalat Imam Al-Ghazali bertanya kepada Ahmad, "Mengapa engkau memisahkan diri (Muffaragah) dalam shalat yang saya imami?"
Saudaranya menjawab: "Aku memisahkan diri, karena aku melihat perutmu berlumuran darah".
Mendengar jawaban saudaranya itu, Imam Al-Ghazali mengakui hal itu mungkin karena dia ketika shalat terlintas masalah fiqih yang berhubungan haid seorang wanita yang Mutahayyirah.
Imam Al-Ghazali bertanya kepada saudaranya: "Dari mana kamu belajar ilmu pengetahuan seperti itu?"
Saudaranya menjawab: "Aku belajar ilmu kepada Syaikh Al Utaqy al-Khurazy, seorang tukang tukang sol sepatu."
Singkat cerita, Imam Al-Ghazali pun lalu pergi berguru kepadanya. Setelah berjumpa, ia berkata kepada Syaikh Al-Kkhurazy, "Saya ingin belajar kepada Tuan".
Syaikh itu berkata: "Boleh jadi kamu tidak kuat menuruti perintah-perintahku".
"Insya Allah, saya kuat," Imam Al-Ghazali menjawab
Syaikh Al-Khurazy berkata, "Bersihkanlah lantai ini!"
Imam Al-Ghazali melihat sekeliling, matanya mencari sapu.
"Bersihkan dengan tanganmu!" kata Syaikh setengah berteriak.
Imam Al-Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat setumpuk kotoran binatang yang banyak dan berniat mengabaikannya.
"Bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu," ujar Syaikh yang menangkap keraguan itu.
Imam Al-Ghazali lalu bersiap membersihkan dengan menyisingkan pakaiannya.
Melihat keadaan yang demikian itu Syaikh berkata: "Nah! bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu."
Imam Al-Ghazali menuruti perintah Syaikh Al Khurazy dengan tulus dan ridha.
Namun, ketika Imam Al-Ghazali hendak akan mulai melaksanakan perintah Syaikh tersebut, Syaikh langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang.
Ada riwayat lain, sang guru memerintahkan Imam al-Ghazali menyapu di pasar tanpa menanggalkan baju kebesaran keulamaannya.
Imam al-Ghazali secara ikhlas melaksanakan perintah gurunya itu agar dapat mengikis perasaan tinggi "memiliki perasaan berilmu".
Atas kemampuan Imam Al-Ghazali mengikis serta membuang jauh-jauh sifat ketinggian itulah, lantas kemudian Allah pancarkan di dalam hatinya, Nur Makrifatullah.
Dengan ketawadhuannya Imam Al-Ghazali melakukan Totalitas khidmah hingga Allah SWT berkenan memberikan Ilmu Batin.
Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/mafazanews Facebook : MafazaOnline | Twitter: @mafazanews
Video 👇
#hikam #ghazali
Posting Komentar