Senin, 08 Mei 2023

Home » , » Review Film: Buya Hamka

Review Film: Buya Hamka

 

Review film Buya Hamka: Karya terbaru Fajar Bustomi itu menawarkan tontonan megah yang cukup memuaskan pada berbagai lini. (dok. Falcon Pictures via YouTube)

Ambisi besar proyek Buya Hamka makin terasa ketika membaca deretan aktor yang bergabung dalam film tersebut. Sejak awal, Buya Hamka sudah menjanjikan format ensemble cast yang diisi aktor hebat Indonesia. Tengok saja Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella, Donny Damara, Teuku Rifku Wikana, Verdi Solaiman, hingga Desy Ratnasari yang menjadi pemain penting dalam tiga babak cerita Buya Hamka tersebut


Mafaza-Online | Buya Hamka berhasil mengobati rasa rindu saya terhadap sajian film biopik lokal yang digarap dengan sungguh-sungguh. Karya terbaru Fajar Bustomi itu menawarkan tontonan megah yang cukup memuaskan pada berbagai lini.


Mengangkat kisah tokoh bangsa sekaliber Buya Hamka memang bukan perkara mudah. Catatan itu rasanya begitu dipahami oleh para produser.


Mereka tak ragu mengucurkan biaya produksi fantastis, yang konon mencapai puluhan miliar. Gelontoran dana mega besar itu pun langsung terlihat dari production value yang jauh dari kata murahan.


Baca juga:

NIKMATI PROSESNYA Beratnya Perjalanan Ibadah Kita


Pilihan lokasi hingga desain set film ini diatur sedemikian rupa agar dapat menggambarkan kisah dengan latar waktu era 1940-an. Kostum para karakter juga tak terlihat terlalu modern atau kuno, sehingga memperkuat aspek visual.


Saya juga menduga bahwa film ini menyalurkan dana besar untuk departemen musik dan audio. Megah tampaknya menjadi kata yang paling tepat untuk menggambarkan scoring musik sepanjang film.


Semua itu berkat tangan dingin Purwacaraka yang sudah berpengalaman menjadi penata musik selama puluhan tahun kariernya.


Ambisi besar proyek Buya Hamka makin terasa ketika membaca deretan aktor yang bergabung dalam film tersebut. Sejak awal, Buya Hamka sudah menjanjikan format ensemble cast yang diisi aktor hebat Indonesia.


Tengok saja Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella, Donny Damara, Teuku Rifku Wikana, Verdi Solaiman, hingga Desy Ratnasari yang menjadi pemain penting dalam tiga babak cerita Buya Hamka tersebut.


Sejumlah aktor hit lain juga bergabung untuk porsi peran yang lebih kecil maupun sebagai kameo. Sebut saja Marthino Lio, Mawar de Jongh, Reza Rahadian, Mathias Muchus, Ferry Salim, Anjasmara, hingga Ayu Laksmi.


Vino G. Bastian dan Laudya Cynthia Bella yang mengisi poros utama film biopik itu berhasil menunjukkan penampilan memukau.


Vino yang berperan sebagai Buya Hamka sukses menjawab keraguan penonton dengan akting penuh pesona. Logat Minang Buya Hamka yang diucapkan Vino terasa meyakinkan, setidaknya bagi saya yang awam.


Ia juga banyak bermain dengan gestur, ekspresi, hingga intonasi yang beragam, sesuai dengan Buya Hamka 'versi' mana yang sedang dia perankan.


Ketika Buya Hamka menjadi seorang ulama, ia membawakan karakter itu sehingga terlihat cerdas dan moderat. Saat menjadi wartawan dan berhadapan dengan Belanda, sosok Buya berubah menjadi gigih dan tak gentar.


Namun ketika bersama istrinya, Vino membawa karakter Buya Hamka menjadi seorang suami romantis yang tidak ragu mencurahkan sisi rapuhnya.


Performa itu semakin padu dengan performa Laudya Cynthia Bella sebagai Sitti Raham, sang istri. Keberadaan Laudya menawarkan suasana yang meneduhkan di tengah perjalanan Buya Hamka sebagai ulama dan pejuang yang menggebu-gebu.


Namun sayang, film itu justru agak kedodoran dalam segi penulisan cerita. Gaya bercerita Buya Hamka yang lompat dari satu momen penting ke momen lain meninggalkan kesan kurang mulus.


Kemasan ceritanya seolah terasa tergesa-gesa karena harus mencakup berbagai jejak sejarah sang cendekiawan. Imbasnya, tidak ada kesan mendalam terhadap peristiwa-peristiwa penting yang dialami Buya Hamka.


Penonton seperti hanya diajak menapaki babak demi babak kisah Buya Hamka dalam periode tahun tertentu, tanpa ada benang merah yang kuat di dalamnya.


Padahal, film tersebut sudah cukup proporsional dalam mengadaptasi kisah hidup Buya Hamka, sehingga tidak terlalu hiperbolis.


Perjalanan Buya Hamka kemudian baru memikat secara emosi menjelang sepertiga akhir film, ketika sudah tak ada banyak 'time jump' dari satu momen ke momen lainnya.


Kembali ke urusan teknis, ada sedikit catatan minor dari segi scoring musik yang tampak dirasakan banyak penonton.


Meski berhasil menyempurnakan suasana setiap adegan, ada beberapa bagian dalam film yang saya rasa tidak butuh scoring terlalu megah. Hal itu membuat iringan musik seolah menjadi sia-sia karena tidak memiliki esensi yang kuat.


Namun secara keseluruhan, Buya Hamka tetap patut menjadi film biopik lokal yang layak diperhitungkan. Film ini juga masih menyisakan dua bagian lanjutan yang akan mengisahkan masa tua dan masa muda Haji Abdul Malik Karim Amrullah ini.


Studio masih punya waktu untuk mendengar reaksi penonton dan melakukan evaluasi. Jika ada perbaikan, maka film ini bisa menjadi seri biopik yang hasilnya selaras dengan biaya produksi.


Buya Hamka juga bisa menjadi opsi alternatif yang layak tonton di tengah gempuran film horor di bioskop selama musim libur Lebaran. Suasana Lebaran yang erat dengan keluarga sesuai dengan kisah sang cendekiawan yang sarat nilai luhur tapi tetap menghibur. | CNN Indonesia


Baca Juga:

IBNU QOYYIM Lima Cara Berfikir Positif


Mafaza TV


Silakan klik:

Lengkapi Kebutuhan Anda



#film  #hamka

Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Mafaza Online: Review Film: Buya Hamka . All Rights Reserved