Minggu, 10 Juli 2022

Home » » ANAK BETAWI NAIK HAJI Tersasar di Hari Pertama | Bag.3

ANAK BETAWI NAIK HAJI Tersasar di Hari Pertama | Bag.3

ANAK BETAWI NAIK HAJI Tersasar di Hari Pertama
Seperti diceritakan sebelumnya, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih delapan jam dengan Saudia Airlines dari Kuala Lumpur, akhirnya saya tiba di Bandar Udara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Di dalam penerbangan ini ada juga beberapa rombongan jamaah haji asal Malaysia, yang tampaknya juga kloter terakhir

Mafaza-Online | Menariknya, jamaah haji asal negeri jiran ini kebanyakan berusia muda; 30-50 tahun. Berbeda dengan jamaah asal Indonesia yang rata-rata berusia lanjut sehingga banyak yang wafat atau sakit di Tanah Suci, karena ibadah haji memang membutuhkan fisik yang prima.


Kami tiba di Bandara Jeddah dengan sudah mengenakan kain ihram. Di atas pesawat ketika dekat lagi tiba di tempat miqat, petugas di pesawat mengumumkan kepada kami untuk mengenakan kain ihram dan berniat. Karena kami mengambil haji tamattu, maka kami melakukan umrah dulu, baru kemudian berhaji. 


Karena memilih haji tamattu, maka kami wajib membayar dam berupa hadyu (Sembelihan hewan qurban) atau berpuasa selama 10 hari; tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari ketika pulang ke Tanah Air. Kebanyakan memilih untuk membayar dam dengan hadyu. Tempat menyembelih hadyu adalah di Tanah Haram, bukan di tempat lain.

 

Sebagian jamaah ada yang membeli dan menyembelih langsung hadyu itu di Pasar Kakiyah, yang terkenal sebagai pusat penjualan hewan qurban di Kota Makkah. Sebagian lagi memilih untuk menyerahkan teknis hadyu-nya itu dengan membayar lewat Bank Ar-Rajhi, yang sudah dipilih oleh pemerintah Saudi Arabia untuk mengurus soal ini. 


Sasaran pembagian daging sembelihannya pun nanti diatur oleh mereka, kita tak perlu repot mengurusnya. Saya memilih untuk menyerahkan urusan hadyu ini ke Bank Ar-Rajhi. Gerai bank ini mudah ditemui saat musim haji.


Kembali ke kedatangan di Bandara Jeddah. Selesai pemeriksaan di imigrasi, kami berempat menunggu jemputan yang sudah diberitahukan oleh panitia setempat. Setelah menunggu agak lama, akhirnya saya bertanya kepada petugas yang mengatur bus jemputan yang ada di bandara. 


Petugas mengatakan, bus untuk jemputan rombongan undangan sudah tidak ada. Karena kedatangan kami telat, mungkin dianggap sudah tak ada lagi jemputan.

 

Beruntung saya bertemu Adnin, adik kelas waktu di Pesantren Persis Bangil yang saat itu bertugas sebagai Tenaga Musiman (Temus) Haji 2018. Adnin adalah mahasiswa International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan. Selain bertugas sebagai Temus, ia juga berkesempatan untuk berhaji. Adnin yang saat itu bertugas di Bandara Jeddah membantu mencarikan bus. 

Akhirnya kami dapat bus tiga perempat  seukuran Metromini, dengan penumpang yang kebanyakan dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Ada juga dua orang berwajah bule, entah dari negara mana. Rata-rata mereka mengenakan gelang dan kalung penanda identitas haji, sementara saya dan tiga orang rombongan kecil ini, sama sekali tak ada.

Di tengah perjalanan, ada check point untuk memeriksa dokumen-dokumen jamaah haji. Petugas masuk ke dalam bus. Penumpang di lihat satu-satu. Karena tak ada gelang dan kalung penanda, akhirnya oleh petugas pemeriksa saya diminta mewakili tiga orang rombongan kecil saya untuk turun dan masuk ke dalam sebuah gedung bertingkat. Di dalam gedung, selama kurang lebih 15 menit ditanya-tanya soal dokumen dan tashrih haji (surat izin haji). 


Saya keluarkan selembar visa dari Kedubes Saudi di Jakarta. Setelah membaca selembar visa itu, petugas mulai terlihat ramah. Petugas yang menginterogasi itu kemudian meminta temannya agar ketiga orang teman saya yang masih berada di dalam bus untuk turun. Barang-barang juga diturunkan. 


“Nanti kalian pindah naik mobil dan kami antar ke hotel,” ujar petugas itu. 


Di tempat ini juga akhirnya kami dikasih kalung penanda bertuliskan “Maktab Al-Khidmah Al-Maidaniyah Raqm 72”. “Segala kendala dan kebutuhan apapun, silakan kontak nomor hp yang ada di kartu ini,” kata petugas itu sambil menyorongkan kalung penanda. 


Oleh petugas yang bertanggungjawab di maktab, nama saya ditulis sebagai “rais al-majmu’ah” (kepala rombongan), yang bertanggungjawab terhadap tiga orang lainnya dalam rombongan ini. Semacam amirul hajj lah, meskipun rombongan kami berempat. Hehehe.


BACA:

IDUL ADHA Selusin Variasi Menu Daging Kurban


Kami kemudian berangkat menuju hotel dengan diantar oleh supir keturunan Indonesia, tetapi lahir dan besar di Saudi. “Nenek moyang saya orang Indonesia, tetapi saya lahir dan besar di sini,” ujar Abdul Mu’thi, supir yang mengantar kami itu. 


“karena itu, saya tidak bisa bahasa Indonesia. Saya warga negara Saudi,” ujarnya lagi. 


Ayah Abdul Mu’thi adalah orang Indonesia yang bekerja di Makkah dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Dari awal saya juga sudah menduga, karena supir ini perawakannya lebih mirip orang Melayu, ketimbang orang Arab. Sejak lahir, Abdul Mu’thi belum pernah sama sekali menginjakan kaki di tanah nenek moyangnya.


Setelah perjalanan yang sangat melelahkan, akhirnya kami sampai di hotel yang dituju. Nahas, hotel yang kami tuju penuh. Kamar yang seharusnya kami tempati, sudah terisi rombongan dari Afrika. Abdul Mu’thi kemudian menelpon atasannya mengabarkan hal itu. Kami kemudian beranjak mencari hotel lain. Penuh juga. 


Maklum, seperti diceritakan sebelumnya, kedatangan kami memang injury time. Akhirnya, pada hotel keempat, kami baru mendapatkan tempat untuk menginap.

 

Sampai hotel tengah malam. Ruang lobi sepi. Abdul Mu’thi mengurus dokumen kami di resepsionis. Petugas hotel kemudian membawa kami menuju kamar yang disediakan. Beruntung, kamar kami luas dan nyaman, di samping itu hotel juga sepi. 


Belakangan, kami baru tahu bahwa hotel ini baru pertama kali digunakan pada musim haji tahun itu. Setelah merapikan dan meletakkan barang, kami bersiap untuk umrah. Saya didaulat untuk membimbing ketiga orang dalam rombongan kecil ini.


BACA:

FAKTA dan DATA Masjidil Haram


Ada kejadian menarik, setelah pulang dari Masjidil Haram dan kembali ke hotel, tak satu pun dari kami yang ingat jalan dan nama hotelnya. Maklum, waktu tiba di hotel menjelang dinihari. Suasana lobi hotel pun sudah sepi. Saya yang biasanya setiap datang ke hotel mengambil kartu nama untuk mengetahui alamat hotel tempat kami menginap, malam itu tidak. 


Alhasil, qadarullah tak ada satu pun dari kami yang ingat. Kami pulang naik taksi, berputar-putar mencari hotel tempat kami menginap, tak juga ada yang ingat. Saya coba mengingat nama jalannya, ketika taksi ke jalan itu, ternyata salah. Kami putar-putar kota Makkah hampir satu jam lebih. 


Supir mulai kesal. Saya katakan kepadanya, “tenang saja nanti kami tambah ongkos taksinya.” 


Akhirnya, kami di antar  ke pos polisi. Di pos polisi, mereka geleng-geleng kepala, karena tak satu pun dari kami yang tahu alamat dan nama hotelnya. Saya dan tiga orang teman yang bersama dalam rombongan juga terheran-heran. “Kok bisa ya, kita nggak ada sama sekali yang tahu nama hotel dan jalannya…” kata seorang di antara kami. 


Ketika berangkat ke Masjidil Haram memang kami agak tergesa-gesa, keluar hotel, cegat taksi, langsung cabut. Tidak ada dari kami yang memperhatikan nama jalan dan nama hotelnya. Unik dan aneh. Hehehe.


Di Pos polisi ini ternyata banyak juga orang yang tersasar. Kami menunggu di pos polisi dari habis ashar sampai menjelang maghrib. Setelah itu polisi baru mengambil keputusan untuk  mengantar ke tempat pertama kali kami datang dan mendapatkan kalung penanda. 

Setelah sampai di tempat itu dan kami diserahkan kepada pengurus yang ada di situ, barulah mereka meminta Abdul Mu’thi, supir yang mengantar kami ke hotel waktu itu, untuk mengantarkan kami kembali ke sana. 

Persoalannya, Abdul Mu’thi entah di mana. Cuma dia yang memegang data dan tahu keberadaan hotel kami. Disusuri satu persatu ruang yang ada di dalam gedung itu, barulah Abdul Mu’thi ketemu. Dia lagi terlelap tidur. 


Kepada temannya dia mengaku lelah, karena seharian bertugas kesana-kemari, karena itu habis maghrib dia memilih tidur. Akhirnya Abdul Mu’thi mengantar kami kembali ke hotel dengan raut wajah agak kesal. Kami pun tak enak hati. Saya meminta maaf karena membuatnya repot dan menghiburnya dengan mengajaknya berbincang, tetapi responnya dingin. 


“Kamu catat ya no hp saya, kalau ada apa-apa silakan telpon, “ ujarnya sambil menyebutkan nomor hp-nya dan bergegas pergi.


BACA JUGA:

Mengapa Membaca Al Quran dengan Bersuara?


Setelah tiba di lokasi itulah kami baru tahu; Nama hotelnya Burj Sharia, terletak di jalan Ibrahim Al-Khalil, kawasan Mishfalah, Makkah Al-Mukarramah. Ternyata hotel tempat kami menginap hanya berjarak 15 menit berjalan kaki ke Masjidil Haram. Keluar lobi ke kiri, kemudian belok kanan, lurus terus sampai ke Masjidil Haram. 


Di ruang lobi ketika tiba kembali ke hotel, kami berempat tertawa. Kok bisa, tak ada satu pun yang tahu alamat dan nama hotel tempat menginap? 


Itulah yang terjadi. Dan kami menganggap itu sebagai ujian di Tanah Suci. Qadarullah wa maa syaa-a fa’ala | Artawijaya


Lanjut bagian 4 (terakhir) : Bersiap Menuju Armina

Silakan Klik

Mafaza-Store

Lengkapi Kebutuhan Anda

Share this article :

Posting Komentar