Amien Rais |
Mafaza-Online | Pada waktu saya menjelang menentukan topik disertasi, saya berpikir bahwa saya harus menulis tentang suatu topik yang ada kaitannya dengan kehidupan bangsa kita sendiri maupun kehidupan umat Islam pada khususnya.
Setahu saya, di dunia Islam ada tiga kekuatan Islam yang mirip di tiga negara, yaitu Masyumi di Indonesia, yang ditokohi oleh Pak Natsir; Jamaah Islam di Pakistan yang dimotori Abu A’la Al-Maududi; dan Al-lkhwan al-Muslimun di Mesir yang dibidani oleh Hasan al-Banna dan Sayid Qutb.
Kegairahan saya untuk mendalami persamaan dan perbedaan tiga gerakan Islam modern ini, lantas membawa saya pada kesimpulan, sebaiknya saya pergi ke Mesir untuk mendalami asal mula munculnya al-lkhwan, sebab musabab kemerosotannya, dan juga kemudian fenomena kehadirannya kembali.
Dengan latar belakang seperti itu, maka saya bertolak ke Kairo bersama istri saya. Alhamdulillah di Kairo itu saya sempat berkenalan dengan tokoh-tokoh puncak al-lkhwan al-Muslimun.
Di samping itu saya juga sering mendengarkan ceramah ceramah Syeikh Muhammad al-Ghazali, seorang pemikir kenamaan al-lkhwan dari Mesir, di layar televisi. Juga pemikiran-pemikiran dari Said Hawa, Muhammad Qutb dan lainnya.
Saya tidak punya dosen unggulan di Al-Azhar, tetapi karena Al-Azhar merupakan habitat baru bagi saya, maka kekaguman saya merata kepada dosen-dosen Al-Azhar. Bagi saya, kelebihan intelektual Mesir dibandingkan dengan Eropa adalah bahwa mereka itu bisa memahami dua atau tiga bahasa Eropa dengan sangat fasih dan sangat gampang.
Saya pernah menanyakan kepada teman saya dari Mesir mengapa dalam tempo sangat singkat dia bisa menguasai bahasa Inggris, sementara kami dari Indonesia memerlukan dua sampai tiga tahun untuk memahami dan menguasai bahasa tersebut?
Sambil tersenyum dia mengatakan barangkali karena bahasa Arab itu bahasa yang sulit, sementara bahasa Inggris itu jauh lebih mudah, sehingga orang Arab yang belajar bahasa Inggris seperti turun bukit atau turun gunung. Jadi begitu mudah.
Sementara orang non-Arab mempelajari bahasa Arab yang rumit itu seperti naik bukit yang lebih terjal. Barangkali ada betulnya, karena ketika di Notre Dame, saya punya sahabat dari Yaman yang belakangan menjadi rektor di Universitas San'a di Yaman. Ketika baru datang, bahasa Inggrisnya compang-camping, tapi pada semester kedua ia sudah melalap segala macam diskusi di kelas.
Teman-teman saya inilah yang mengenalkan saya dengan tokoh-tokoh Ikhwan, sekaligus ikut menyusun berbagai pertanyaan dan lain sebagainya.
Ada yang menarik ketika saya datang ke Markas al-Ikhwan. Banyak yang menaruh curiga kepada saya. Ada seseorang yang matanya nanar dan penuh kecurigaan kepada saya. Argumennya tidak salah juga. Karena saya dari Amerika, tentu pikiran-pikiran saya sudah tercuci oleh demokrasi Amerika. Bahkan, dia mencurigai jangan-jangan saya menjadi mata-mata dari CIA yang diselundupkan ke Mesir untuk memata-matai gerakan al-Ikhwan.
Dia cukup jujur mengatakan, “Ya Akhi, saya tidak begitu percaya kepada Anda. tapi,kalau nanti Anda mau jadi imam shalat magrib, kita akan menilai apakah Anda betul-betul seorang pelajar yang sedang menulis disertasi ataukah Anda itu sesungguhnya mata-mata ClA.”
Konstruksi dan bacaan bahasa ’ammiyah jauh bacaannya dibandingkan bahasa fusha.
Barangkali lulusan Pesantren Gontor maupun pesantren pada umumnya akan gagap menggunakan bahasa Arab ’ammiyah ketika awal-awal tiba di Mesir. Hal itu wajar, sebab bahasa seperti itu memang tidak pernah dipelajari di Indonesia.
Karena itu, program saya pada minggu kedua adalah membeli radio dan membeli televisi supaya saya bisa memahami bahasa ’ammiyah. Sampai sekarang saya punya kendala bahasa ’ammiyah tersebut, karena buat telinga saya tetap sulit, sekalipun ada juga orang lain yang sangat cepat belajar.
Barang kali karena saya terbiasa untuk berpikir yang gramatikal, sesuai dengan parama sastra dan lain-lain, sehingga hal itu justru jadi handicap dalam mengekspresikan bahasa ’ammiyah itu.
Pada waktu di Mesir, saya tercatat sebagai mahasiswa luar biasa di Universitas Al-Azhar. Saya melakukan reading course atau kuliah reading dengan Ustadz Sayid Ramadhan. Setiap kali saya membaca sebuah kitab, saya bertemu dengan beliau, diskusi isi kitab, kemudian bahu saya ditepuk-tepuk sambil mengatakan quaiys… quaisy atau bagus… bagus. Saya kemudian pamit pulang.
Ketika saya hendak naik haji, saya dibisiki oleh teman saya almarhum Fauzi, “Mas Amien, di Mesir dan di Indonesia itu sama saja. Kalau nanti sepulang dari haji Anda membawa oleh-oleh sekadar sajadah dan tasbih untuk Sayid Ramadhan dia pasti sangat senang.” Memang betul, ketika saya pulang dari haji, saya bawakan oleh-oleh sajadah, tasbih, dan lain-lain. Hubungan saya dan beliau menjadi sangat akrab.
Ada yang menarik ketika saya ketemu dengan Dr. Muhammad al-Bahi, seorang intelektual besar di Mesir. Beliau mengingatkan pada saya dengan kata-kata yang sangat lugas, kira-kira artinya,
“Kalau kamu ingin jadi aktivis Muslim, kembali ke tanah airmu ingin menjadi seorang yang memperjuangkan nilai-nilai agama Islam, maka paling tidak kamu harus bisa, mampu, dan mau membaca al-Quran sehari satu juz. Kalau kurang dari itu, lebih baik kamu tidak usah berpretensi atau pura-pura menjadi mujahid Islam.”
Tapi begitu sampai di Kairo, baru satu minggu betul-betul Mesir itu seperti negeri nomor dua; seperti second country. Mungkin karena azan selalu didengungkan, juga karena suasana ketimuran yang mirip dengan Indonesia, keramahtamahan orang Mesir juga tidak ada bedanya dengan orang Indonesia, sehingga cepat sekali kami beradaptasi di Kairo itu.
Saya pulang dari Kairo menuju Chicago dengan dua anugerah. Anugerah kecil itu berbentuk draft disertasi saya. Sedangkan anugerah besar adalah kelahiran anak saya yang pertama, Ahmad Hanafi, di Chicago, setelah kami menunggu selama sepuluh tahun. Kami terbang kembali ke Chicago dengan kebahagiaan yang tidak terperikan. Waktu itu Hanafi di kandungan ibunya sudah delapan bulan, satu bulan kemudian Hanafi lahir.
Buat saya, seperti kata al-Qur'an, orang beriman hendaknya menjelajah bumi Allah ini sambil mencari hikmah di belakang perjalanan yang panjang itu. Maka, saya dan istri saya merasa mendapatkan hikmah yang panjang waktu ada di Chicago, waktu ada di Kairo, waktu naik haji bersama, waktu mampir di Paris, di Inggris, di Belanda dan lain sebagainya.
Mereka tetap berhubungan sangat baik dengan saya, sekalipun sesungguhnya dari pandangan keagamaan mereka lebih dekat ke NU. Sementara saya jelas tokoh Muhammadiyah. Tapi kita saling menghargai, kita saling menyayangi dan tetap membangun silaturahmi.
Posting Komentar