Kamis, 31 Oktober 2024

Home » » Apa itu BRICS? Mengapa Indonesia ingin Bergabung?

Apa itu BRICS? Mengapa Indonesia ingin Bergabung?

Menteri Luar Negeri Sugiono di antara para pemimpin dunia di KTT BRICS Ke-16 di Kazan, Rusia, pada tanggal 24 Oktober 2024.
Mengapa Indonesia ingin bergabung dengan BRICS – Barisan negara yang ‘tidak puas’ dengan status quo?

Mafaza Online | Menteri Luar Negeri Sugiono mengatakan niat Indonesia bergabung ke BRICS bukan bermakna “ikut kubu tertentu”. Namun pengamat mengingatkan BRICS sebenarnya bisa disebut “kubu perlawanan” karena berisikan negara-negara yang “tidak puas” dengan sistem yang dibangun Barat.


Kurang dari satu minggu setelah dilantik Presiden Prabowo Subianto, Menteri Luar Negeri Sugiono hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia untuk mengutarakan keinginan Indonesia bergabung dengan blok ekonomi itu.


Baca juga : Pakar INDEF Kabinet Gemuk Bakal Menghambat Program Ekonomi Prabowo


"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif," ujar Menlu Sugiono dalam keterangan resmi.


“Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum.”


Sugiono melanjutkan prioritas BRICS “selaras” dengan program kerja Kabinet Merah Putih seperti ketahanan pangan dan energi.


Selain itu, dia menyebut Indonesia Ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau umum disebut Global South melalui BRICS.


Sugiono menekankan Indonesia tetap akan melanjutkan keterlibatan di forum-forum lain dan melanjutkan diskusi dengan negara maju.


Dalam pidatonya usai dilantik sebagai Presiden ke-8, Prabowo Subianto menekankan Indonesia “memilih jalan bebas aktif nonblok” dan “menjadi sahabat semua negara”.


“Tapi kita punya prinsip, yakni anti penjajahan,” ujar Prabowo pada Minggu (20/10).


Prabowo juga mengingatkan para pemimpin untuk “tidak cepat puas” mengingat masih banyaknya tantangan perekonomian Indonesia sekalipun “diterima di kalangan G20”.


Baca Juga: KABINET GEMUK Waspada Risiko Kompetisi Internal hingga Masalah Birokrasi

 

BRICS—singkatan dari lima negara berkembang yang berpengaruh yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—sendiri pada hakekatnya bertujuan memperkuat suara negara-negara berkembang di hadapan dominasi-dominasi negara maju alias Global South alias Barat.


Secara sekilas, narasi yang ingin dibangun Menlu Sugiono adalah bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak bertentangan dengan politik luar negeri bebas aktif dan semangat non-blok, menurut pakar hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Idil Syawfi.


“Tapi, kalau kita lihat lebih dalam [...] BRICS dapat dikatakan merupakan gerakan revisionis atau kelompok negara-negara yang merasa tidak puas dengan sistem yang dibangun oleh Barat saat ini,” ujar Idil kepada BBC News Indonesia pada Ahad (27/10).


Idil menyebut bergabungnya Indonesia dengan BRICS “menunjukkan keberpihakan Indonesia kepada salah satu kubu yaitu kubu revisionis atau kubu perlawanan".


“Bergabung dengan BRICS akan memberi cap Indonesia sebagai kelompok perlawanan," ujar Idill.


Terpisah, pengamat hubungan internasional dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Musa Maliki, memandang BRICS sebagai “semangat independensi yang terdiri dari negara-negara Selatan [Global South] untuk mengimbangi dominasi Barat atau hegemoni AS.”


Baca Juga : Mengadaptasi Model Pendidikan Di Finlandia Dengan Konsep Kurikulum Merdeka


Apa itu BRICS dan bagaimana relevansinya di dunia global?


Pada 2001, ekonom Goldman Sachs, Jim O'Neill, menggunakan singkatan BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) dalam laporan yang memprediksi empat negara itu bakal menjadi kekuatan ekonomi utama pada tahun 2050.


Brasil, Rusia, India, dan China kemudian mengadakan KTT pertama mereka di Yekaterinburg, Rusia pada tahun 2009.


Afrika Selatan bergabung dengan BRIC pada tahun 2010 dan mulai berpartisipasi secara penuh dalam KTT pada tahun 2011—sehingga namanya berubah menjadi BRICS.


BBC News melaporkan pada 2013 bahwa ekonom O’Neill—“penemu” istilah BRIC— tidak menyetujui bergabungnya Afrika Selatan dari segi kemampuan ekonomi. 


Meskipun begitu, keberadaan Afrika Selatan menjadi representasi dari wilayah Afrika.


Walaupun pertemuan awal BRIC pada awalnya lebih untuk menyoroti kesempatan investasi, BRICS kemudian berubah menjadi blok geopolitik—dengan tujuan memperkuat suara negara-negara berkembang.


Kelompok ekonomi itu memandang keputusan-keputusan penting di dunia seringkali didominasi oleh negara-negara maju, seperti AS dan Barat.


“Kalau kita lihat lebih dalam—dan terkait dengan BRICS-nya sendiri, BRICS dapat dikatakan merupakan gerakan revisionis atau kelompok negara-negara yang merasa tidak puas dengan sistem yang dibangun oleh Barat saat ini,” ujar pakar hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Idil Syawfi.


Idil menyebut BRICS ingin mengubah sistem yang ada selama ini seperti yang tampak melalui gerakan “de-dolarisasi” yakni menciptakan sistem keuangan global yang lebih inklusif dan mengurangi dominasi US$ yang selama ini menjadi mata uang utama dalam perdagangan dan investasi dunia.


“Keinginan [BRICS] adalah untuk menegaskan multipolarisme sebagai pengganti unipolarismenya Amerika Serikat,” ujar Idil.


“Beberapa literatur malah lebih keras mengatakan BRICS sebagai kelompok revisionis yang ingin merubah status quo.. atau ada juga yang melabelnya sebagai a group of dissatisfied countries [kelompok negara-negara yang tidak puas]”.


BRICS juga seolah menjadi transformasi perlawanan baru terhadap hegemoni Barat sejak Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok yang telah mati suri, papar pengamat hubungan internasional dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Musa Maliki.


“ BRICS adalah semangat independensi yang terdiri dari negara-negara Selatan untuk mengimbangi dominasi Barat atau hegemoni AS,” ujar Musa kepada BBC News Indonesia pada Minggu (27/10).


Negara-negara BRICS ingin meningkatkan kerjasama ekonomi antarnegara—termasuk meningkatkan perdagangan, investasi, dan pembangunan infrastruktur.


Selain Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, saat ini negara anggota BRICS adalah Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Empat negara terakhir resmi bergabung sebagai negara anggota BRICS pada Januari 2024.


Baca juga : 10 Alasan Mengapa Finlandia Memiliki Sistem Pendidikan Terbaik


Idil mengatakan sampai sekarang belum ada terobosan-terobosan internasional dari BRICS—sifat kelompok masih bersifat longgar dan informal.


“Namun, BRICS menjadi highlight kembali ketika adanya Perang Rusia-Ukraina, serta saat ini dengan memanasnya konflik di Timur Tengah,” ujar Idil.


Idil mencontohkan bagaimana negara-negara BRICS, termasuk India, menunjukkan solidaritas dengan bersikap inaction (tanpa aksi) dalam invasi Rusia ke Ukraina.


Selain itu, Idil juga menyoroti bagaimana BRICS yang digawangi China dan Rusia menunjukkan sikap anti-Israel dan anti-Barat dalam konflik Timur Tengah.


“Ini meningkatkan pamor BRICS dalam sistem global,” ujarnya.


“Hal ini sejalan dengan semangat Putin, dimana dalam KTT di Kazan minggu lalu, dia menyatakan saatnya untuk menciptakan dunia multipolar, menggantikan dunia unipolar yang sebelumnya dipimpin oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemoni satu-satunya.”


Baca juga : Mobil Presiden Maung MV3 Garuda Masuk Bengkel di Magelang


Mengapa Indonesia ingin bergabung dalam BRICS?


Dalam keterangan resminya, Menteri Luar Negeri menyebut Indonesia melihat prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih.


“Antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan ataupun pemajuan sumber daya manusia,” ujar Sugiono pada Jumat (25/10).


Menlu Sugiono menambahkan Indonesia ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau Global South melalui BRICS.


“Kita lihat BRICS dapat menjadi kendaraan yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama Global South,” ujarnya.


"Namun kita juga melanjutkan keterlibatan atau engagement kita di forum-forum lain, sekaligus juga terus melanjutkan diskusi dengan negara maju."


Di sisi lain, Sugiono menekankan Indonesia tetap akan melanjutkan keterlibatan di forum-forum lain dan melanjutkan diskusi dengan negara maju.


Tujuan Indonesia untuk bergabung ke BRICS dipandang sebagai upaya Presiden Prabowo Subianto untuk tidak menjadi ketergantungan dengan negara mana pun— khususnya negara-negara maju alias Global North, menurut Musa Maliki dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.


“BRICS adalah gerakan nyata Global South, yakni kerjasama antar negara Selatan-Selatan untuk maju bersama sama saling tolong menolong [dalam menghadapi] banyak tantangan krisis global,” ujar Musa.


Musa menyebut ada beberapa manfaat konkret yang akan diperoleh apabila Indonesia bergabung dengan BRICS—yang pertama adalah akses arus perdagangan yang intens untuk menghindari krisis global.


“Kedua, embargo ekonomi negara maju tidak akan mempan terhadap negara-negara BRICS sehingga perekonomian kuat. Sirkulasi ekonomi politik dunia menjadi lebih berimbang antara negara Utara dan Selatan sehingga perekonomian tidak berputar 10% di negara maju saja,” imbuhnya.


Baca juga : Jejak Testimoni di Balik GAMIS: Dari Serambi Islami turun ke Hati


Apa bedanya antara BRICS dan OECD?


BBC News Indonesia pada April 2024 melaporkan Indonesia berkeinginan untuk bergabung ke Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi.


Akan tetapi, negara yang ingin menjadi anggota OECD harus diterima dan disetujui oleh total 38 semua anggota OECD yang sudah ada—termasuk Israel.


Kementerian Luar Negeri Indonesia sudah beberapa kali menegaskan tidak ada rencana Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, terutama dengan masih berlangsungnya “situasi kekejaman Israel di Gaza”.


Musa memandang kecenderungan pemerintahan Prabowo Subianto adalah mengejar keanggotaan di BRICS ketimbang OECD. Selain karena Israel, OECD juga dipandang sebagai kelompok “negara-negara yang kini masih kuat menggerakkan ekonomi global 10%”.


“Saya rasa Prabowo sudah yakin dengan BRICS dibandingkan bergabung dengan OECD, karena kepentingan nasional Indonesia lebih pas ke BRICS [baik itu dari sisi] ekonomi, politik, dan sosial—solidaritas [sesama] negara Selatan,” ujar Musa.


“BRICS bagi Indonesia adalah kendaraan baru yang relevan di saat krisis global dunia Barat.”


Di sisi lain, Idil Syawfi tidak melihat adanya kepentingan strategis yang ingin dicapai Indonesia dengan bergabung ke BRICS—selain Indonesia aktif dalam berbagai forum internasional sesuai narasi politik luar negeri saat ini.


“BRICS adalah salah satu [forum ini]. Bonusnya akan memperkuat hubungan ekonomi bilateral dengan sesama negara anggota BRICS,” ujar Idil.


Dengan perbandingan yang sama, Idil memandang niat bergabung dengan OECD adalah juga untuk saluran aktivisme Indonesia sementara keuntungan ekonomi hanya sebatas bonus.


“Sebenarnya citra kita akan meningkat di mata investor kalau bergabung dengan OECD, karena standar kebijakan ekonomi kita akan sama dengan negara-negara anggota OECD,” ujar Idil.


Namun, selain persoalan Israel, Idil menekankan Indonesia akan harus melakukan liberalisasi ekonomi besar-besaran apabila bergabung dengan OECD seperti yang sudah terlihat di Omnibus Law dan UU Cipta Kerja.


“Yang saya coba ingatkan adalah implikasi: gabung BRICS akan bisa dianggap anti Barat, [sementara] gabung OECD jadi tidak bebas atau otonom dalam kebijakan ekonomi, dan dianggap pro-liberalisasi ekonomi,” tegasnya.


Baca Juga : Maung MV3 Pope Mobil Buatan Pindad Jadi Kendaraan Operasional Paus Fransiskus di Indonesia


Apakah politik luar negeri Indonesia tetap ‘bebas aktif’ jika bergabung dengan BRICS?


Menteri Luar Negeri Sugiono hadir dalam pernyataan resminya mengatakan niat Indonesia bergabung ke BRICS “merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif”.


“Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” ujar Sugiono.


Dalam pidatonya usai dilantik sebagai Presiden ke-8, Prabowo Subianto menekankan Indonesia “memilih jalan bebas aktif nonblok” dan “menjadi sahabat semua negara”.


Musa mengatakan bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak bertentangan dengan politik bebas aktif.


“Justru BRICS adalah semangat independensi yang terdiri dari negara-negara Selatan untuk mengimbangi dominasi Barat atau hegemoni AS,” ujarnya.


Selain itu, Musa mengatakan Indonesia juga ikut andil sebagai anggota di 215 organisasi internasional.


“Masa gara-gara Indonesia masuk BRICS lalu Indonesia tidak menjalankan politik bebas aktif. Kan konyol?” ujar Musa.


Meski begitu, Idil Syawfi memiliki pendapat berbeda.


“Kalau kita lihat lebih dalam [...] BRICS dapat dikatakan merupakan gerakan revisionis atau kelompok negara-negara yang merasa tidak puas dengan sistem yang dibangun oleh Barat saat ini,” ujar Idil.


Idil menyebut bergabungnya Indonesia dengan BRICS “menunjukkan keberpihakan Indonesia kepada salah satu kubu. Yaitu, kubu revisionis atau kubu perlawanan”.


“Bergabung dengan BRICS akan memberi cap Indonesia sebagai kelompok perlawanan. Di sisi lain bergabung dengan OECD akan membatasi otonomi kebijakan ekonomi Indonesia,” ujar Idil.


Idil pun menyarankan Indonesia mencari jalur selain BRICS atau OECD yang lebih menguntungkan bagi Indonesia.


“Atau memperkuat relevansi channel-channel yang sudah ada. Misalnya ASEAN, G20, dan lain sebagainya,” paparnya.


Baca Juga : Pakar Pendidikan Dorong Kurikulum Merdeka Dilanjutkan


Bagaimana proses penerimaan anggota baru dalam BRICS?


Negara yang tertarik untuk bergabung dengan BRICS perlu mengeluarkan pernyataan resmi melalui pemimpinnya atau Menteri Luar Negeri.


Negara-negara yang telah menyatakan minatnya sering kali mulai dengan berpartisipasi sebagai negara pengamat dalam pertemuan dan acara-acara BRICS.


Pertemuan bilateral dengan negara-negara anggota BRICS untuk membahas persyaratan dan kondisi bergabung akan dilakukan dengan negara yang telah mengajukan keanggotaan—proses yang bisa berlangsung lama.


Keputusan akhir mengenai penerimaan anggota baru biasanya diambil secara konsensus oleh semua negara anggota BRICS. Dengan kata lain, semua negara anggota harus menyetujui negara tersebut untuk bergabung.


Setelah mencapai mufakat, negara yang bersangkutan diundang secara resmi untuk bergabung dengan BRICS.


Afrika Selatan diundang bergabung dengan BRICS oleh China pada Desember 2010. Mereka mulai berpartisipasi secara penuh sebagai negara anggota pada 2011.


Pada Agustus 2023, Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab diundang untuk bergabung ke BRICS. Pada Januari 2024, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab resmi bergabung sebagai negara anggota BRICS.


Argentina, yang secara formal mengajukan keanggotaan BRICS pada 2022 di bawah Presiden Alberto Fernandez, menarik keanggotaannya di bawah pemerintahan yang baru.


Sementara Arab Saudi belum juga bergabung secara resmi sebagai negara anggota BRICS pada 2024 karena masih mempertimbangkan posisinya. BBC


Baca juga : Tanggapan Anies Baswedan Terkait Penetapan Tersangka Tom Lembong


VIDEO

Silakan Klik:

Mafaza-Store

Lengkapi Kebutuhan Anda

#brics #menlu #putin


Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Mafaza Online: Apa itu BRICS? Mengapa Indonesia ingin Bergabung? . All Rights Reserved