Kedudukan Ilmu Tasawuf dalam Islam | Serambi Islami Episode 01
“Siapa yang bersyariat atau berfiqih tanpa tasawuf dia fasiq, dan siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat dia zindiq. Siapa yang mengintegrasikan fiqih dan tasawuf, sungguh ia menapaki hakikat kebenaran”
Imam Malik ra
Mafaza-Online | Mursyid Tarekat Idrisiyyah, Syaikh Akbar Muhammad Fathurahman M.Ag, menyampaikan Kajian Tasawuf di Program Religi Unggulan TVRI Nasional Serambi Islami, acara ini ditayangkan setiap Jumat pagi (Memasuki tahun kedua, berubah menjadi Kamis bada Subuh). Mengawali kajiannya di episode pertama ini, Syaikh M Fathurahman membawakan tema, Kedudukan Ilmu Tasawuf dalam Islam .
Sebelum masuk ke pembahasan Syaikh Muhammad Fathurrahman menyampaikan kisah Malaikat Jibril as yang datang kepada Rasulullah ﷺ mengajarkan Rukun Agama, kisah tersebut terangkum dalam Hadits -yang populer disebut Hadits Jibril as- yang diriwayatkan Khalifah Umar bin Khaththab ra.
عن عُمَر بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ السَّاعَةِ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا قَالَ أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ
Umar bin Khaththab ra berkata: Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk-duduk bersama Rasululah ﷺ. Tiba-tiba muncul seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata: “Wahai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.
”Rasulullah ﷺ menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika mampu.”
Lelaki itu berkata, ”Engkau benar.”
Maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi ﷺ menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah SWT; Malaikat-Nya; Kitab-kitab-Nya; para Rasul-Nya; Hari Akhir, dan Beriman kepada takdir Allah SWT yang baik dan yang buruk,”
Ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan”.
Nabi ﷺ menjawab, ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi ﷺ menjawab, ”Yang ditanya tidaklah lebih tahu dari yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi ﷺ menjawab, ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta penggembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi ﷺ bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab, ”Allah SWT dan Rasul-Nya lebih mengetahui."
”Beliau bersabda, ”Dia itu Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” (HR Muslim, no. 8)
Fondasi Islam
Para ulama menjadikan hadits ini sebagai referensi, Agama Islam terdiri dari tiga rukun, yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Pertama, Iman adalah keyakinan kepada Allah SWT dan rukun-rukun lainnya dari rukun Iman. Kedua, Islam adalah ketundukan hamba dalam menjalankan segala syariat yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ketiga, Ihsan Beribadah hanya kepada Allah SWT dan membangun komunikasi dengan Allah SWT.
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, ulama pun concern mengkaji Rukun Agama ini. Selanjutnya, dari ketiga rukun itu lahirlah disiplin ilmu. Berkembanglah ilmu Tauhid, Ushuluddin, Kalam, Aqidah dll untuk mempelajari Rukun Iman. Ilmu Fiqih, Ushul fiqih untuk mempelajari Rukun Islam dan Ilmu Tasawuf untuk mempelajari Rukun Ihsan.
Rasulullah ﷺ mengajarkan Rukun Ihsan untuk memperkuat keimanan para sahabat. Keimanan itu tumbuh dari hati, dan obyek Rukun Ihsan adalah masalah hati. Nah, inilah yang akan kita bahas.
Definisi Tasawuf
Tasawuf berasal dari kata shafa, artinya membersihkan. Ruang lingkup pembahasannya, adalah bagaimana membersihkan hati. Hati harus dirawat dan dijaga agar terhubung kepada Allah SWT. Setiap tindakan manusia tergantung kepada hatinya. Hati yang bersih, terawat dan sehat akan membuat pemiliknya, selalu dalam kebaikan. Begitu pun sebaliknya hati yang kotor akan membuat pemiliknya malas ibadah dan gemar bermaksiat. Tasawuf berfungsi untuk menghadirkan suasana Ihsan. Orang sering mengaitkan pelajaran Tasawuf dengan maqam atau tingkatan, tapi ketahuilah tahapan pertama dalam Ilmu Tasawuf adalah: Membersihkan hati!
Umumnya orang hanya mengetahui ketika dirinya sakit fisik saja, tapi melupakan penyakit hati. Seorang gadis yang tumbuh jerawat di wajahnya akan segera berusaha untuk menghilangkannya. Kulit terluka, segera menutupnya agar darah tak keluar terus. Bibir Sariawan langsung mencari buah-buahan atau vitamin C. Tapi, ketika dirinya malas untuk shalat, suara muazin tidak disambut, rumahnya sepi dari bacaan al Quran dan malamnya dihabiskan dengan begadang yang tak ada gunanya, dia tenang-tenang saja. Padahal itulah tanda hatinya sedang sakit parah.
Hati yang senantiasa kita bersihkan, cahaya Allah SWT lah yang akan masuk kedalam hati. Cahaya yang menggerakan kita kepada ketaatan kepada Allah SWT. Jadi hati itu tak pernah kosong, isinya kalau tidak taat, ya maksiat!
Syaikh Ibnu Taimiyah mengistilahkan Tasawuf sebagai amalul qolbi. Adapun keberagaman ini bukan untuk diperdebatkan namun merupakan khazanah, kekayaan dalam Agama Islam.
Korelasi Antara Ilmu Tasawuf dan Ilmu Lainnya
Imam Malik ra menyatakan kedudukan penting Ilmu tasawuf dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Tasawuf adalah ilmu mengenal Allah (Marifatullah), dan Allah SWT di atas segalanya. Beliau mengatakan soal tasawuf ini dengan kutipan yang sangat populer hingga saat ini:
“Siapa yang bersyariat atau berfiqih tanpa tasawuf dia fasiq, dan siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat dia zindiq. Siapa yang mengintegrasikan fiqih dan tasawuf, sungguh ia menapaki hakikat kebenaran”.
Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf
Isi dari keseluruhan Ilmu Tasawuf, secara garis besar terbagi dua domain.
Pertama Makasib. Usaha hamba dalam membersihkan hati dari penyakit hati dan dosa (Tazkiyatu an-Nafs). Setelah dibersihkan, ikhtiar berikutnya adalah menghiasi batin dengan sifat Allah SWT yang mulia, baik melalui proses zikir maupun usahanya sendiri. Proses ini disebut, Makasib (wilayah atau ranah hamba).
Kedua, Mawahib. Anugerah Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya sebagai bukti penerimaan Makasib hamba. Inilah yang disebut Mawahib, karunia Allah SWT yang diberikan kepada hamba. Anugerah itu, apabila dibandingkan dengan usaha hamba, tentu sangat jauh bandingannya: Ibarat orang haus minta segelas, lalu diberi hujan. Mawahib ini Wilayah atau otoritas Allah SWT. | Salman al Farizi
Serambi Islami Episode 01
MafazaTV👇
Sebelumnya:
Anies Diwawancara ABC News Australia, Warganet: Dunia pun Tahu Siapa yang Pantas Presiden
Posting Komentar