Zuhud bukannya anti dunia, para Politisi lebih membutuhkan sikap zuhud
Mursyid Tarekat Idrisiyyah Syaikh Akbar M Fathurahman berbincang santai dengan Gus Sofiyudin |
Mafaza-Online | Bagaimana mungkin Zuhud menjadi dasar yang menyikapi Politisi untuk membuat keputusan-keputusan politik. Sementara Politik adalah seni untuk merebut, menguasai dan mempertahankan kekuasaan.
Di sisi lain orang mengistilahkan keputusan politik dengan "kebijakan". Bukankah Tasawuf mengajarkan kebajikan dan kebijakan? Salah satunya Zuhud!
Semoga penjelasan Syaikh Akbar Muhammad Fathurahman, Mursyid Tarekat Idrisiyyah ini bisa menyelamatkan kita dari gagal paham.
Zuhud menurut Syaikh Akbar Muhammad Fathurahman bukan meninggalkan dunia, tapi mengeluarkan dunia dari dalam hati.
Mendengar kutipan menarik tentang arti zuhud, Gus Sofiyudin mengajukan pertanyaan kepada Syekh Akbar Muhammad Fathurahman; Jika zuhud tidak memperbolehkan cinta kepada kekuasaan berarti umat Islam tidak boleh berambisi pada kekuasan.
Tapi, jika umat tidak tidak berpolitik, maka mereka (non muslim) yang akan berkuasa.
"Padahal kekuasaan itu mereka gunakan untuk menghancurkan umat Islam?!"
ZUHUD Mengeluarkan Dunia dari Dalam Hati
Menurut Syaikh Akbar M Fathurahman, Tujuan hidup itu: Ridho Allah SWT. Adapun dunia dengan segala isinya sebagai sarana (wasail), "Itulah Tasawuf!" tegasnya.
Jika menerapkan itu, tambah Syaikh Fathurahman, maka akan menjadi elan vital. Sebaliknya, kecelakaan bagi yang menjadikan dunia sebagai tujuan, "Allah pun hilang dalam hatinya," ungkapnya mengingatkan.
Manusia yang amanah menjadikan Allah sebagai target dan dunia sebagai media. Raihlah dunia (jabatan) setinggi-tingginya karena menjadi sarana meraih Ridha Allah. Ini harus menjadi etos kerja seorang muslim.
Amanah inilah yang sekarang menghilang dari kamus hidup seorang muslim. Hilang karena mengabaikan sikap zuhud.
Kelompok kapitalis menjadikan dunia dan segala kesenangannya sebagai tujuan. Mereka membanggakan ideologinya dan menganggap dunia berjaya dan dikuasai mereka.Tapi kehidupan mereka ditujukan untuk berlomba-lomba meraih dunia dan kesenangannya. "Sekadar itu saja!"
Para Nabi As berbeda-beda kondisinya, seperti Nabi Isa As yang faqir. Ada pula Nabi Sulaiman As yang diberikan kekuasaan dan kekayaan. Namun semua itu tidak membuatnya hanyut oleh tarikan gelombang duniawi. Hal itu ditunjukkan dengan peristiwa ketika Beliau mendengar seseorang yang mengucapkan 'subhanallah'.
Saat itu Nabi Sulaiman as sedang berada di angkasa, mengendarai angin dan dipayungi burung-burung. Meski begitu, beliau lebih bangga dengan kalimat 'subhanallah' yang diucapkan wong cilik daripada kekuasaan yang disandangnya.
Maka tasawuf di era sekarang betapa penting dalam rangka menempa jiwa seperti Nabi Sulaiman As. Kekuasaan haruslah menjadi maslahat (bukan madharat) buat umat.
Di negara ini harus hadir pemimpin seperti itu, Zuhud! Pemimpin yang dikawal oleh para Ulama. Dengan kata lain harus ada Umaro yang bermakmum kepada Ulama.
@MK_IDRISIYYAH | Pulomas, 5 Juni 2020
Silakan Klik
Lengkapi Kebutuhan Anda
Posting Komentar