Sabtu, 23 Juli 2022

Home » » JEJAK SABILI Mediating Islam Edisi Indonesia

JEJAK SABILI Mediating Islam Edisi Indonesia

Gagasannya adalah majalah ini dapat membantu menyebarluaskan pemikiran positif tentang kebangkitan kembali islam, sekaligus menangkal citra negatif Islam yang tumbuh di media-media Barat.

Oleh Janet Steele

Mafaza-Online | Ketika Sabili didirikan pada 1984, kaum Muslim Indonesia merasa dipinggirkan walaupun menjadi mayoritas dalam jumlah penduduk. 


Pandangan agama Orde Baru adalah bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan mesti didorong dan didukung oleh negara, tetapi semua kegiatan itu tak boleh ada dalam ranah partai dan organisasi politik. 


Agama diubah menjadi sesuatu yang privat, berada di luar politik, dan perjuangan untuk mendirikan negara Islam digantikan dengan tujuan menciptakan masyarakat yang agamis.


Praktik apa pun yang meninggalkan teks-teks dasar ini –terutama tradisi lokal Indonesia dan pandangan para Muslim liberal—dianggap menyimpang dan dengan demikian tak bisa diterima redaktur dan penulis Sabili, yang tutup pada April 2013.


Sebagai media bawah tanah, Sabili tidak memiliki SIT dan SIC. Para redakturnya menggunakan nama samaran. 


Majalahnya—yang pada 1993 mereka klaim mempunyai sirkulasi mencapai enam puluh ribu eksemplar—tidak memiliki kantor dan tidak membayar pajak. 


Semua penulisnya adalah anak muda, kebanyakan berusia di bawah 25 tahun dan masih berstatus mahasiswa.


Pemimpin Redaksi Sabili yang terakhirEman Mulyatman menegaskan bahwa lima topik utama majalah itu adalah kemurtadan, kristenisasi, mahzab-mahzab menyimpang, masalah islam liberal, dan isu-isu islam di tingkat internasional seperti konflik Israel-Palestina. 


Sabili menganggap Zionis, Barat, dan kaum liberal sengaja merusak Islam. Sejak awal, para reporter Sabili tidak hanya wajib memiliki keterampilan jurnalistik, tapi juga harus berpihak pada islam. 


Semua wartawan Sabili terlibat aktif dalam gerakan Islam dan mempunyai latar belakang di organisasi mahasiswa Islam seperti Pelajar Islam Indonesia atau gerakan tarbiah.


Gagasannya adalah majalah ini dapat membantu menyebarluaskan pemikiran positif tentang kebangkitan kembali islam, sekaligus menangkal citra negatif Islam yang tumbuh di media-media Barat.


Mengingat fokusnya pada ortodoksi, tak mengejutkan jika Sabili melihat ancaman terbesar terhadap Islam datang dari pihak yang sudah berada di depan mata: 


Muslim Liberal. JIL, Goenawan Mohamad, dan komunitas seni dan budaya Utan Kayu dan Salihara kemudian menjadi target serangan Sabili. Salah satunya, Zainal Muttaqin, pemimpin redaksi pendiri Sabili, berkata bahwa pers arus utama seperti Tempo tak berimbang. 


“Kami pikir pers sangat tidak adil. Kenapa? Karena dia hanya memberi ruang kepada orang-orang tertentu. Ini contohnya. 


Di Indonesia, jika mereka membutuhkan seorang pakar tentang Islam, orang yang mereka wawancarai adalah Nurcholis Madjid atau Abdurrahman Wahid. Seolah tidak ada tokoh islam lain saja!”


Baca Lainnya:

TAREKAT SUFIYAH Cara Allah Menjaga Islam di Rusia


Sementara Eman Mulyatman menukaskan, “Yang menjadi masalah dengan menulis di Sabili adalah sejak awal majalah ini tidak digarap oleh wartawan. 


Namun, gagasan yang dengan susah payah ingin saya sampaikan adalah, jika kita menggnakan senjata media, kita harus menggunakan etika jurnalistik—dan jurnalisme yang baik. Kita harus menghubungi narasumber dari kedua belah pihak dan memperhatikan konteks. 


Saya selalu menekankan bahwa kita bermain di ranah jurnalisme dakwah. Oleh sebab itu kita harus mematuhi aturan. Ketika kita bermain di lapangan sepak bola, kita harus mematuhi aturan permainan sepak bola. Jangan bermain sepak bola di lapangan bulu tangkis! Itulah kesalahannya. Saya selalu menekankan hal itu. Namun ya mungkin dalam praktiknya ada rekan kami yang terlalu bersemangat”.


Kenyataan bahwa wartawan Sabili kuat dalam dakwah tetapi lemah dalam jurnalisme tampak jelas bahkan saat membaca sekilas majalah itu. 


Para redaktur majalah-majalah Islam lain mencatat bahwa gaya Sabili memang menyimpang, bombastis, berlebihan, dan terlalu cepat menyebut isu tertentu sebagai sangat penting, seolah isu tersebut mengancam masyarakat Muslim. 


Sebagai contoh, artikel yang diberi judul “Intrik Ateis: Berhati-hatilah: Komunisme Bangkit Lagi”, menyebut riset tentang “fenomena nasional” kebangkitan ateisme di Amerika Serikat.


Silakan Baca:

KISAH PILU ERA INQUISISI Tangisan Sang Jenderal Setelah Menyiksa Tahanan Tua Renta yang Cinta Qur’an


Silakan Klik 

Mafaza-Store

Lengkapi Kebutuhan Anda


Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Mafaza Online: JEJAK SABILI Mediating Islam Edisi Indonesia . All Rights Reserved