Di negara mayoritas muslim, makanan yang terjamin kehalalannya masih menjadi masalah
Oleh Ir Aunur Rofiq*
Indonesia negeri yang subur, Koes Plus, grup band era 70-an dalam lagunya mendendangkan tongkat kayu jadi tanaman. Koes Plus tidak berlebihan memang begitulah kenyataannya. Batang singkong Anda taruh begitu saja di tanah maka esoknya akan tumbuh menjadi tanaman. Tanaman yang daunnya bisa jadi lalap atau sayur dan akarnya bisa Anda jadikan penganan. Tak heran bila menu masakan Indonesia begitu beragam. Indonesia menjadi surga kuliner.
Selain sumber daya alam, sumber daya manusianya pun patut diperhitungkan, jumlah penduduk Indonesia saat ini tercatat 251.857.940 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari 129.563.463 penduduk laki-laki, dan sisanya, 122.294.477 juta adalah penduduk perempuan.Demikian data yang dirilis oleh Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri, yang termuat dalam Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) yang diterima oleh KPU.
Populasi mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Bila dari 250 juta ada sekitar 80% nya muslim, maka tak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia adalah muslim. Artinya, Indonesia adalah negara terbesar yang penduduknya muslim.
Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Selain masih terseok-seok untuk mengejar angka Kemakmuran. Muslim Indonesia masih belum terlindungi. Bila Anda jalan-jalan ke foodcourt di mall-mall, apakah ada jaminan halal bagi menu yang Anda pesan? Kalaupun ada label halal, apakah yakin tidak tercampur dengan menu yang tidak halal.
Coba kalau kita ke Bangkok, jangan bicara Malaysia dan Singapura dulu. Pembaca akan tahu mana yang halal dan mana yang tidak. Karena ada jaminannya. Jadi perbandingannya dengan Bangkok (Thailand) dulu kalau dengan Malaysia, tentu jauh sekali.
Kita tidak usah bicara sanksi dulu. Saya sebagai muslim, datang ke foodcourt, apakah terlindungi? Bisa saja, di restoran yang sama dengan meja yang berbeda ada makanan yang tidak halalnya. Saya makan di meja ini, lalu di pojok sana, makan ada babinya. Padahal memasak dan peralatan masak yang digunakan berada di dapur yang sama.Apalagi di Hotel, sama sekali tidak terlindungi.
Disinilah pentingnya Undang-Undang (UU) tentang Jaminan Produk Halal. Agar konsumen mendapat jaminan keamanan dan kenyamanan dalam mengkonsumsi produk.negara berkewajiban memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua warganya.
UU tersebut sekaligus untuk memperkuat label halal yang selama ini dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selama ini MUI hanya mengandalkan Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai payung hukum melabelisasi produk halal. MUI tidak punya otoritas memberikan sanksi sementara Kepmen, bisa mudah berubah. Ganti Menteri maka ganti aturan. Jadi jika payung hukum labelisasi produk halal itu dalam bentuk undang-undang, maka akan sulit diubah karena harus ada persetujuan wakil rakyat di DPR.
MUI, itu hanya seperti lembaga stempel yang memberikan keterangan halal dan tidaknya. Tapi yang membuat peraturan kan pemerintah, MUI tidak bisa membuat aturan bahwa makanan harus tersertifikasi halal. Kalau produsennya tersebut tidak mau disertifikasi, mau apa? Terus masalah rumah makan, foodcourt sampai hotelseperti disinggung di atas bagaimana? Jadi,sekali lagi memang MUI tidak bisa memberi sanksi.
Namun, MUI sebagai satu-satunya wadah Ormas Islam di Indonesia justru akan diuntungkan dengan keberadaan oleh UU Jaminan Produk Halal tersebut. Dengan pengalaman da kewenangannya sebagai lembaga fatwa, MUI bisa menjadi auditor tentang kehalalan sebuah produk.
Eksistensi MUI sebagai representatif dari ulama yang berperan mengangkat auditor halal yang aktif di badan atau lembaga terkait setelah disertifikasi oleh MUI, serta menetapkan fatwa halal dan menandatangani sertifikat halal bersama badan atau lembaga terkait.
Jadi yang terjadi di Indonesia itu, berbeda dengan Malaysia dan Singapura. Lihatlah kalau kita masuk mall-mall di Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, kalau makan di foodcourt, sebagai orang Islam, tidak tahu mana yang halal dan tidaknya. Saya pernah menemukan ada satu counter yang memasaknya pakai babi. Bagaimana kehalalannya? Menurut saya, semua ikut terkena rembesan babi tadi. Jadi seluruhnya menjadi tidak halal.Wong, mencuci dan alat masak yang digunakan sama. Yakin tidak tercampur?
Semoga UU Jaminan Halal cepat bisa diberlakukan. Aturan yang tegas dalam hal ini di Indonesia memang belum ada. Di foodcourt atau restoran saja tidak terlindungi apalagi di hotel-hotel. Saya ingin tahu, Hotel mana yang betul-betul steril kehalalannya. Jadi ini yang sangat memprihatinkan. Katanya populasi umat Islam 80% dari jumlah penduduk Indonesia tapi dari sisi kehalalan saja umat Islam tidak terlindungi.
Ada pepatah yang mengatakan, Anda adalah apa yang Anda makan. Jadi kalau Anda tak peduli dengan makanan Anda, prilaku Anda pun tidak peduli dengan halal haram, semua sikat saja. Tak heran bila korupsi merajalela dan Indonesia semakin jauh dari ridho Allah SWT. Jadi dari yang halal akan membentuk pribadi yang baik. Kita tidak usah bicara yang berat-berat, tapi bicara yang ringan saja. Untuk memperbaiki negeri ini, mulai dari yang halal.Tapi di negara yang mayoritas penghuninya muslim, kenapa mencari makanan yang terlindungi itu saja, susah! Astagfirullah....
*Ketua Dewan Pembina Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI)
Oleh Ir Aunur Rofiq*
Indonesia negeri yang subur, Koes Plus, grup band era 70-an dalam lagunya mendendangkan tongkat kayu jadi tanaman. Koes Plus tidak berlebihan memang begitulah kenyataannya. Batang singkong Anda taruh begitu saja di tanah maka esoknya akan tumbuh menjadi tanaman. Tanaman yang daunnya bisa jadi lalap atau sayur dan akarnya bisa Anda jadikan penganan. Tak heran bila menu masakan Indonesia begitu beragam. Indonesia menjadi surga kuliner.
Selain sumber daya alam, sumber daya manusianya pun patut diperhitungkan, jumlah penduduk Indonesia saat ini tercatat 251.857.940 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari 129.563.463 penduduk laki-laki, dan sisanya, 122.294.477 juta adalah penduduk perempuan.Demikian data yang dirilis oleh Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri, yang termuat dalam Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) yang diterima oleh KPU.
Populasi mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Bila dari 250 juta ada sekitar 80% nya muslim, maka tak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia adalah muslim. Artinya, Indonesia adalah negara terbesar yang penduduknya muslim.
Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Selain masih terseok-seok untuk mengejar angka Kemakmuran. Muslim Indonesia masih belum terlindungi. Bila Anda jalan-jalan ke foodcourt di mall-mall, apakah ada jaminan halal bagi menu yang Anda pesan? Kalaupun ada label halal, apakah yakin tidak tercampur dengan menu yang tidak halal.
Coba kalau kita ke Bangkok, jangan bicara Malaysia dan Singapura dulu. Pembaca akan tahu mana yang halal dan mana yang tidak. Karena ada jaminannya. Jadi perbandingannya dengan Bangkok (Thailand) dulu kalau dengan Malaysia, tentu jauh sekali.
Kita tidak usah bicara sanksi dulu. Saya sebagai muslim, datang ke foodcourt, apakah terlindungi? Bisa saja, di restoran yang sama dengan meja yang berbeda ada makanan yang tidak halalnya. Saya makan di meja ini, lalu di pojok sana, makan ada babinya. Padahal memasak dan peralatan masak yang digunakan berada di dapur yang sama.Apalagi di Hotel, sama sekali tidak terlindungi.
Disinilah pentingnya Undang-Undang (UU) tentang Jaminan Produk Halal. Agar konsumen mendapat jaminan keamanan dan kenyamanan dalam mengkonsumsi produk.negara berkewajiban memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua warganya.
UU tersebut sekaligus untuk memperkuat label halal yang selama ini dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selama ini MUI hanya mengandalkan Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai payung hukum melabelisasi produk halal. MUI tidak punya otoritas memberikan sanksi sementara Kepmen, bisa mudah berubah. Ganti Menteri maka ganti aturan. Jadi jika payung hukum labelisasi produk halal itu dalam bentuk undang-undang, maka akan sulit diubah karena harus ada persetujuan wakil rakyat di DPR.
MUI, itu hanya seperti lembaga stempel yang memberikan keterangan halal dan tidaknya. Tapi yang membuat peraturan kan pemerintah, MUI tidak bisa membuat aturan bahwa makanan harus tersertifikasi halal. Kalau produsennya tersebut tidak mau disertifikasi, mau apa? Terus masalah rumah makan, foodcourt sampai hotelseperti disinggung di atas bagaimana? Jadi,sekali lagi memang MUI tidak bisa memberi sanksi.
Namun, MUI sebagai satu-satunya wadah Ormas Islam di Indonesia justru akan diuntungkan dengan keberadaan oleh UU Jaminan Produk Halal tersebut. Dengan pengalaman da kewenangannya sebagai lembaga fatwa, MUI bisa menjadi auditor tentang kehalalan sebuah produk.
Eksistensi MUI sebagai representatif dari ulama yang berperan mengangkat auditor halal yang aktif di badan atau lembaga terkait setelah disertifikasi oleh MUI, serta menetapkan fatwa halal dan menandatangani sertifikat halal bersama badan atau lembaga terkait.
Jadi yang terjadi di Indonesia itu, berbeda dengan Malaysia dan Singapura. Lihatlah kalau kita masuk mall-mall di Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, kalau makan di foodcourt, sebagai orang Islam, tidak tahu mana yang halal dan tidaknya. Saya pernah menemukan ada satu counter yang memasaknya pakai babi. Bagaimana kehalalannya? Menurut saya, semua ikut terkena rembesan babi tadi. Jadi seluruhnya menjadi tidak halal.Wong, mencuci dan alat masak yang digunakan sama. Yakin tidak tercampur?
Semoga UU Jaminan Halal cepat bisa diberlakukan. Aturan yang tegas dalam hal ini di Indonesia memang belum ada. Di foodcourt atau restoran saja tidak terlindungi apalagi di hotel-hotel. Saya ingin tahu, Hotel mana yang betul-betul steril kehalalannya. Jadi ini yang sangat memprihatinkan. Katanya populasi umat Islam 80% dari jumlah penduduk Indonesia tapi dari sisi kehalalan saja umat Islam tidak terlindungi.
Ada pepatah yang mengatakan, Anda adalah apa yang Anda makan. Jadi kalau Anda tak peduli dengan makanan Anda, prilaku Anda pun tidak peduli dengan halal haram, semua sikat saja. Tak heran bila korupsi merajalela dan Indonesia semakin jauh dari ridho Allah SWT. Jadi dari yang halal akan membentuk pribadi yang baik. Kita tidak usah bicara yang berat-berat, tapi bicara yang ringan saja. Untuk memperbaiki negeri ini, mulai dari yang halal.Tapi di negara yang mayoritas penghuninya muslim, kenapa mencari makanan yang terlindungi itu saja, susah! Astagfirullah....
*Ketua Dewan Pembina Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI)
Posting Komentar