Mafaza Online | Setelah Presiden Prabowo mengumumkan para personel kabinetnya, berbagai isu dan wacana terkait bidang pendidikan mengemuka. Feriansyah, Kabid Litbang Perhimpunan Pendidikan Dan Guru. (Foto: Dok. Rakyat Merdeka/rm.id)
Yang paling santer, wacana menghidupkan lagi ujian nasional (UN) bagi Sekolah Dasar, Menengah dan Atas.
Sebelumnya, UN dihapuskan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim pada 2021.
Menanggapi desakan agar ujian nasional diberlakukan lagi, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengatakan, akan mempertimbangkan semua masukan, termasuk perlu tidaknya diadakan ujian nasional kembali.
“Soal ujian nasional, kami lihat semuanya secara sangat seksama. Kami akan sangat berhati-hati," kata Mu'ti di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta, Senin (21/10/2024).
Dia mengaku belum sampai pada keputusan, apakah perlu atau tidaknya ujian nasional. “Intinya, kami ingin mendengar dulu," ujarnya.
UN adalah ujian yang digelar Pemerintah untuk bisa mengukur kualitas pendidikan di suatu daerah. Nilai UN dijadikan gambaran untuk memetakan kebijakan pendidikan di daerah.
Selain itu, nilai UN juga menjadi penentu kelulusan siswa, serta syarat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Sebelum dihapuskan, UN telah mengalami beberapa perubahan istilah. Bahkan, ada jenis UN yang tidak menjadi syarat kelulusan.
Wacana ini mengundang kontroversi di berbagai kalangan. Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifah mengatakan, wacana ujian nasional, perlu dibahas lebih mendalam, apakah diperlukan atau tidak.
Sebaliknya, Kabid Litbang Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriansyah mengkritik ujian nasional, karena memberikan beban berat kepada para siswa.
“Ujian nasional mengakibatkan kecemasan dan tekanan berlebih,” katanya.
Baca juga : DPR Beri Sinyal, Mendikdasmen Abdul Mu'ti Mau Terapkan UN Lagi
Berikut wawancara dengan Feriansyah tentang wacana ujian nasional.
Bagaimana pandangan Anda jika ujian nasional diberlakukan lagi?
Rencananya, peniadaan ujian nasional akan dievaluasi. Berarti, ada wacana untuk mengadakan kembali ujian nasional.
Tapi, kalau ujian nasional diberlakukan, cenderung pembelajaran yang teaching to the test. Pembelajaran UN ini cenderung berfokus pada pengukuran kognitif. Kurang mengakomodasi aspek-aspek yang lainnya, seperti psikomotorik, afeksi kerja sama, keterampilan sosial.
Dengan ujian nasional, kita kembali tidak mempromosikan pendidikan yang holistik. Justru kita mencenderungkan pembelajaran yang teaching to the test. Jadi, pembelajaran untuk mengejar hasil tes.
Apakah ada faktor lain, sehingga Anda mengkritik ujian nasional?
Secara historis, pelaksanaan ujian nasional, sering mengakibatkan kecemasan dan tekanan berlebih kepada peserta, karena ditakuti-takuti bahwa ujian nasional ini menjadi tes untuk menentukan mereka lulus atau tidak lulus.
Jadi, ini menyebabkan kondisi tekanan yang sangat berlebih, stres kepada siswa. Saya kira ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan mental siswa, mengurangi keefektifan belajar.
Alasan lainnya?
Kita mengalami disparitas mutu pendidikan yang sangat beragam di Indonesia. Di kota besar, mutu pendidikan lebih baik. Di kota tertinggal, mutu pendidikan rendah. Siswa-siswa di daerah-daerah itu akan mendapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan siswa-siswa di perkotaan.
Bagaimana pendapat Anda tentang anggaran ujian nasional?
Saya kira, pelaksanaan ujian nasional akan membutuhkan sumber daya yang besar, mulai dari anggaran, tenaga, pengawas, sampai dulu kan melibatkan kepolisian dalam pengawasan agar tidak terjadi kecurangan, dan sebagainya.
Lebih baik anggarannya dialokasikan untuk hal-hal yang lebih berdampak langsung, seperti pengadaan gedung sekolah, bahkan pengadaan fasilitas yang memadai di daerah-daerah tertinggal dan sebagainya.
Intinya, ujian nasional ini seakan anak-anak kita dalam tekanan yang sangat tinggi. | Rakyat Merdeka
Baca juga : 10 Alasan Mengapa Finlandia Memiliki Sistem Pendidikan Terbaik di Dunia
Video
#kurikulummerdeka #pendidikan #nadiemmakarim
Posting Komentar