Kamis, 31 Oktober 2024

Home » » Menakar Untung Rugi Bila Indonesia Gabung Jadi Anggota BRICS

Menakar Untung Rugi Bila Indonesia Gabung Jadi Anggota BRICS

Michel Temer, Vladimir Putin, Xi Jinping, Jacob Zuma dan Narendra Modi berpose untuk foto dalam KTT BRICS di Xiamen International Conference and Exhibition Center di Xiamen, tenggara provinsi Fujian, China, Senin (4/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Kenzaburo Fukuhara/Pool

Sejumlah pengamat ekonomi dan politik menilai jika Indonesia bergabung dengan BRICS maka risiko geopolitiknya lebih besar daripada keuntungan ekonomi

Mafaza Online | Belum sampai 24 jam setelah pelantikannya, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Sugiono, bertolak ke Kazan, Rusia, untuk memenuhi undangan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus 2024 yang diselenggarakan oleh Presidensi Rusia pada 23-24 Oktober 2024 lalu. 


Pada pertemuan tersebut, Sugiono hadir sebagai utusan khusus Presiden Prabowo Subianto.


Kehadiran Sugiono di forum ini semakin menegaskan komitmen Indonesia untuk berperan aktif dalam forum-forum internasional. Ini sekaligus memperkuat hubungan Indonesia dengan seluruh negara termasuk negara-negara anggota BRICS.


Di forum itu, Sugiono menyampaikan surat expression of interest untuk bergabung dalam aliansi yang beranggotakan lima negara besar, yaitu Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa (BRICS).


Pada awal 2024, sejumlah negara lain yakni UAE, Iran, Mesir, Ethiopia telah bergabung menjadikan keanggotaannya kini sembilan negara. Jika Indonesia bergabung, maka keanggotan ini genap menjadi 10 negara.


"Pada KTT BRICS Plus tersebut, Bapak Menlu sudah menyampaikan bahwa Indonesia berkeinginan untuk bergabung dalam BRICS," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Roy Soemirat, dalam keterangan pers, Sabtu (26/10/2024).


Baca Juga: Legislator Bicara Soal RI Ingin Masuk BRICS: Bisa Perkuat Geopolitik Meski Harus Tetap Bebas Aktif


Proses aplikasi untuk menjadi anggota BRICS pun dimulai setelah Indonesia menyampaikan keinginannya bergabung. 


Langkah Indonesia ini dianggap sebagai ejawantah politik luar negeri bebas aktif. Artinya Indonesia bisa bebas bergabung dengan kubu manapun dalam kelompok negara global manapun.


"Dan perlu kami tekankan bahwa keinginan Indonesia tergabung di dalam BRICS ini juga merupakan pengejawantahan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, dan semakin menunjukkan bahwa Indonesia tetap tidak ingin ikut kubu manapun di dalam berbagai aspek," kata dia.


Dengan bergabung ke dalam BRICS, ada sejumlah target capaian yang diinginkan oleh Kabinet Merah Putih selama lima tahun masa kerja. Di antaranya adalah ketahanan pangan, ketahanan energi, pemberantasan kemiskinan, dan pembangunan sumber daya manusia.


"Dan diharapkan lewat partisipasinya di BRICS, Indonesia juga ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau global south di masa mendatang," kata Roy.


Jika mundur ke belakang, ketertarikan Indonesia bergabung menjadi anggota BRICS memang belum pernah disampaikan secara eksplisit pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. 


Ini karena ada beberapa pertimbangan, mulai dari kurangnya urgensi, perbedaan sistem politik, instabilitas hubungan antar negara anggota BRICS, hingga upaya untuk mengimbangi hubungan Indonesia dengan negara barat.


“Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa dinamika politik di kepemimpinan yang baru ini telah menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang strategis jika harus bergabung dengan aliansi BRICS,” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Tirto, Senin (28/10/2024).


Baca juga : Pakar INDEF Kabinet Gemuk Bakal Menghambat Program Ekonomi Prabowo


Bikin Indonesia Ketergantungan dengan Cina


Bhima justru khawatir pendaftaran resmi Indonesia ke dalam BRICS semakin menegaskan ketergantungan Indonesia pada Cina. Padahal tanpa BRICS, dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi Cina sudah sangat besar. Impor Indonesia dari Cina melonjak 112,6 persen dalam 9 tahun terakhir, dari 29,2 miliar dolar AS di 2015 menjadi 62,1 miliar dolar AS pada 2023.


Sementara investasi dari Cina melonjak 11 kali di periode yang sama. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023.


Selain kekhawatiran terjadi duplikasi pada kerja sama bilateral dengan Cina, proyek-proyek yang didanai pemerintah dan swasta Cina di Indonesia menimbulkan berbagai persoalan terutama segi lingkungan hidup dan tenaga kerja. 


Pada bagian ini, masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan.


Sebagai contoh, kata Bhima, kecelakaan kerja di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terjadi berulang kali, menunjukkan standarisasi dan pengawasan proyek investasi Cina masih lemah. 


Padahal Indonesia ingin meningkatkan nilai tambah komoditas secara berkualitas, yang berarti wajib selaras dengan investasi yang lebih berkualitas.


“Ketergantungan pada Cina juga membuat perekonomian lebih rapuh. Di saat ekonomi Cina diproyeksikan menurun 3,4 persen dalam 4 tahun kedepan berdasarkan World Economic Outlook IMF, terdapat kekhawatiran dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS justru melemahkan kinerja perekonomian,” ujarnya.


Kondisi ini, lanjut Bhima, idealnya harus direspons dengan penguatan diversifikasi negara mitra di luar Cina, bukan malah masuk menjadi anggota BRICS. | Tirto


Baca juga : Apa itu BRICS? Mengapa Indonesia ingin Bergabung?


Video

Silakan Klik:

Mafaza-Store

Lengkapi Kebutuhan Anda

#brics #menlu #putin


Share this article :

Posting Komentar