Syaikh Nawawi al-Bantani: Ulama Nusantara Penulis Kitab Tafsir Marah Labid |
Oleh : Fatimah Fajrin
Mafaza-Online | Terdapat banyak ulama tafsir di Indonesia. Belasan, bahkan puluhan yang tercatat dalam sejarah. Karya-karya mereka menghiasi nusantara, sebut saja ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili (1615-1693 M) ulama tafsir abad ke-17 yang menulis tafsir Turjuman al-Mustafid yang merupakan kitab tafsir lengkap 30 juz pertama. Lalu di penghujung abad ke-18, muncul Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1879 M) dengan tafsir Munir atau yang terkenal dengan nama Marah Labid li Kasffi Ma’na al-Qur’an al-Majid.
Masuk abad 20, kita mengenal Mahmud Yunus dengan karya tafsirnya yang berjudul Tafsir Qur’an Karim (l938), A. Hassan menulis tafsir berjudul al-Furqon (1956), K.H. Bisri Musthafa dengan tafsir Al Ibris-nya (1960), lalu Buya Hamka dengan tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Azhar (1967), T.M. Hasbi ash-Shiddieqy menerbitkan karya di bidang tafsir dengan judul Tafsir al-Bayan (1971), sampai dengan abad 21 muncul tafsir Al-Mishbah yang ditulis oleh Quraish Shihab (2000).
Di antara sekian banyak mufassir nusantara tersebut, hanya tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Ulama non Arab menulis karya tafsir berbahasa Arab tentu sangat menarik untuk dikaji, bagaimana ia menulis, metode, bentuk tafsirannya, serta bagaimana bentuk coraknya.
Riwayat Hidup Syaikh Nawawi al-Bantani
Syaikh Nawawi al-Bantani bernama lengkap Muhammad bin Umar bin Arabi bin Ali Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal di kalangan pesantren dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani atau Syekh Nawawi al-Bantani. Namanya diambil dari nama seorang penulis textbook dalam mazhab Syafi’i dan dengan mengambil nama tersebut dia juga menghormati pelopornya. Nawawi adalah putra Kiai Umar—seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid, sedangkan ibunya bernama Zubaedah—seorang ibu rumahtangga biasa.
Dia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Nawawi lahir di kampung Tanara, Banten—sekarang masuk dalam kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang—pada tahun 1813 M atau 1230 H. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad saw. melalui Imam Ja’far As-Shadiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zain Al-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra. Nawawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Serang dan dikaruniai 3 orang anak bernama Nafisah, Maryam dan Rubi’ah.
Latar Belakang Penulisan Kitab Marah Labid
Marah Labid karya Syaikh Nawawi al-Bantani adalah kitab tafsir nusantara kedua yang ditulis lengkap 30 juz setelah tafsir Turjuman al Mustafid karya Syekh Abdurrauf as-Sinkili (1693). Kitab ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama dari surah Al Fatihah sampai Al Kahfi berjumlah 672 halaman, sedangkan jilid kedua terdiri dari surah Maryam sampai surah An-Nas berjumlah 695 halaman.
Sebagaimana kebanyakan kitab tafsir pada umumnya, penulisan kitab tafsir ini sesuai urutan surah yang ada di dalam mushaf Al-Qur’an dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Syekh Nawawi mulai menulis tafsir Marah labid setelah adanya permintaan dari beberapa koleganya sebagaimana yang ia sampaikan pada permulaan tafsirnya. Meskipun ia sempat ragu untuk menulisnya karena takut masuk dalam golongan sabda Nabi :
من قال في القرأن برأيه فأصاب فقد أخطأ
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan akalnya dan benar, maka ia telah melakukan kesalahan”
Ia juga mengutip hadits yang lain sebagai berikut,
من قال في القرأن برأيه فليتبوّأ مقعده من النار
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan akalnya maka bersiaplah dengan tempatnya di neraka”
Setelah melalui perenungan panjang, akhirnya ia mengabulkan permintaan tersebut karena ingin mengikuti tradisi ulama’ salaf dalam melestarikan ilmu. Namun, seperti keterangan Syekh Nawawi al-Bantani sendiri di akhir tulisannya, ia menyelesaikan penulisan Marah Labid pada Malam Rabu tanggal 5 Rabi’ul Awwal 1305 H yang bertepatan dengan tanggal 21 November 1887 M. Dalam menafsirkan sebuah surah, Syekh Nawawi al-Bantani memulainya dengan mencantumkan nama surah, lalu menjelaskan aspek makki dan madani serta jumlah ayat dari surah tersebut. Yang menarik adalah Syekh Nawawi al-Bantani juga mencantumkan jumlah kalimat dan huruf dari surah tersebut. Hal ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran dalam menghitungnya karena kondisi pada saat itu tentu belum secanggih sekarang dalam hal pemanfaatan teknologi informasi.
Marah Labid ditulis demi melestarikan khazanah keilmuan Islam di samping atas permintaan beberapa sahabat penulisnya. Disusun dengan sistematika urutan mushaf, menggunakan metode penafsiran Ijmali (global), tergolong sebagai tafsir Bi al Ma’tsur dan mempunyai corak bebas tidak berafiliasi kepada disiplin ilmu tertentu baik fikih, tasawuf, maupun teologis. Marah Labid selesai ditulis di usia penulisnya sudah tidak muda lagi, yaitu umur 74 tahun atau sepuluh tahun sebelum sang penulis wafat.
Wallahu a’lam . . | ALMUNAWWIRKOMPLEKQ
Mafaza TV 👇
Baca juga 👇
Testimoni Kajian Serambi Islami
Silakan Klik:
Hanya dengan Rp 100.000 Anda sudah ikut berdakwah
Posting Komentar