Dengan kahadiran tarekat ini, masyarakat Nusantara—Jawa khususnya—yang berada dalam “kubangan penjajahan” mempunyai “tempat mengadu”. Sebab, ulama tarekat ini sangat memihak kepada kelompok mustadh’afin, kalangan lemah
Tarekat Idrisiyyah (Ilustrasi) | Marcom Idrisiyyah |
Mafaza-Online | Kaum Tarekat kerap identik dengan asketisme (zuhud) dan acuh terhadap dunia politik. Namun anggapan semacam ini perlu ditinjau ulang bila membicarakan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Karena tarekat tersebut selain menyampaikan ajaran dan nilai-nilai sufistik juga menjadi wadah pergerakan masyarakat Jawa di era kolonialisme Belanda.
Qadiriyah Naqsyabandiyah adalah tarekat yang diperkenalkan pada abad ke-19 oleh Syeikh Achmad Khotib Sambasi (1803-1878), ulama Nusantara asal Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat. Dia memperkenalkan tarekatnya itu sejak berada di Mekkah. Selama berada di “Kota Ka’bah” itu, dia dikenal sebagai ulama masyhur dan sempat menjadi Imam Masjidil Haram.
Kyai Sambasi ini menggabungkan dua tarekat besar, yakni Qadiyirah dan Naqsyabanadiyah. Dia mengajarkan kepada para muridnya. Di antaranya yang berasal dari Nusantara adalah Syeikh Abdul Karim Banten, Muhammad Isma’il ibn Abdul Rahim Bali, Syekh Yasin Kedah Malaysia, Syeikh Haji Ahmad Lampung, Syeikh Ahmad Thalhah Cirebon, Syeikh Ahmad Hasbullah Madura, dan Syeikh Muhammad Makruf ibn Abdullah Khatib Palembang.
Mereka semua menyebarkan tarekat itu di daerahnya masing-masing. Hanya saja, yang paling berkembang adalah di Pulau Jawa. Tokoh yang paling banyak berkontribusi adalah Syeikh Abdul Karim Banten. “Di antara murid-murid Syekh Sambas yang paling berpengaruh adalah ‘Abdul al-Karim Banten, yang ditunjuk oleh Syekh Sambas sebagai penggantinya,” tulis Sri Mulyati dalam Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (2006).
Dia adalah pemuda kelahiran Tanara, Banten bagian Timur yang merantau ke Mekkah sejak masih usia dini. Di kota yang dulunya bernama Hijaz itu, dia mendalami pengetahuan Islam. Dalam mempelajari tarekat, dia langsung berguru kepada Syeikh Sambasi dan mengabdi di rumahnya.
Karena loyalitas dan ketekunannya menjalankan disiplin spiritual, kelak dia mendapatkan ijazah dari gurunya dan dianggat sebagai wakil kepercayaan penuh. Dia mendapatkan tugas menyebarkan tarekat itu di Semenanjung Nusantara. Tugas pertamanya ke Singapura. Di sana, dia mengajar beberapa tahun lalu kemudian pergi ke kampung halamannya pada 1872.
Setibanya di Banten, dia langsung membangun pesantren. Di pesantren ini, dia mengembangkan tarekat yang diajarkan gurunya itu. Karena dia dipercaya sebagai wakil langsung dari Mekkah, semua murid Syeikh Sambasi yang membawa tarekat ke daerahnya masing-masing secara tak langsung berada di bawah otoritasnya. Penyebaran tarekat itu kemudian diperkuat kembali oleh Kyai Haji Marzuki, murid setianya Abdul Karim Banten. Adapun di Cirebon oleh Syeikh Thalhah dan dilanjutkan muridnya, Kyai Haji Muhammad Ismail atau yang juga akrab disapa “Kyai Kracak”.
Pada tanggal 5 September 1905, Syeikh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad resmi membuka cabang baru di Suryalaya, Tasimalaya. Dia mendapatkan izajah tarekat dari Syeikh Thalhah. Sejak itu berdirilah Pesantren Suryalaya. Pesantren yang dia gagas ini nanti menjadi pewaris terbesar di tanah Jawa, bahkan di Indonesia. “Perlu diperhatikan pula, pengaruh Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah-TQN pada abad ke-20 M di bawah pimpinan K.H. A. Shohibulwafa Tadjul Arifin dari Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat menjadi sentral pengembangan ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Asia Tenggara,” tulis Ahmad Mansur Suryanegara pada Api Sejarah 1 (2009).
MOIIA Silky Pudding
Barangkali ada yang pernah liat...
Terus lupa siapa yg jual 😁
💥Yes..I'm here 😃
⇩⇩⇩
Silakan Klik:
Sebagai Gerakan Politik
Sejak kedatangan kolonial Belanda, masyarakat Nusantara bukan hanya terancam secara perekonomian. Tapi, mereka juga terpaksa menyaksikan sistem tradisionalnya diporak-porandakan. Nilai-nilai keagamaan yang dipelihara oleh para ulama bertahun-tahun lamanya teracak-acak.
Oleh sebab itu, banyak tokoh agama Islam marah. Salah satu kelompok di antara mereka yang menunjukkan kemarahannya adalah ulama yang tergabung dalam tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Ulama ini jelas-jelas mempertahankan sistem tradisional dan memilih untuk bersitegang dengan kolonial Belanda.
Dengan kahadiran tarekat ini, masyarakat Nusantara—Jawa khususnya—yang berada dalam “kubangan penjajahan” mempunyai “tempat mengadu”. Sebab, ulama tarekat ini sangat memihak kepada kelompok mustadh’afin, kalangan lemah. Dari itu tak heran bila perkembangannya di tanah Jawa kian pesat. Tarekat ini selain sebagai “sistem sosial organis” juga menampilkan dirinya sebagai “sistem religo-politik.”
“Pada pertengahan abad ke-19 (1870-an), Qadiriyah-Naqsyabandiyah…tidak hanya memelihara sistem sosial organik seperti yang telah diwariskan tarekat-tarekat sebelumnya, tetapi juga telah merekonstruksi masyarakat ke arah sistem religio-politik untuk menghadapi kolonial Belanda yang mendominasi kehidupan masyarakat Jawa,” tulis Ajid Thahir dalam, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisem Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa (2002).
Perubahan ini membuat tarekat itu tak tampil hanya sebagai “oase”. Lebih dari itu, Qadiriyah-Naqsyabandiyah juga hadir sebagai wadah perjuangan rakyat desa. Beberapa gerakan pemberontakan yang dilakukan masyarakat di Jawa terbukti merupakan pengaruh dari kelompok tarekat ini.
Menurut Sartono Kartodirdjo dalam, Protest Movement in Rural Jawa (1973), pemberontakan Banten yang meletus pada 9 Juli 1888 merupakan salah satu bukti pengaruh tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah dalam propaganda melawan kolonialisme. “Bagi banyak pengamat di masa itu, pemberontakan tahun 1888 itu tampak sebagai satu fenomena yang berdiri sendiri. Akan tetapi, peristiwa itu bukan merupakan suatu tindakan yang tiba-tiba di pihak petani-petani yang tidak tahu apa-apa,…Sejak hari pertama sudah jelas bahwa ini merupakan suatu gerakan yang sudah lama dipersiapkan dan direncakanan…” tulisnya. Perencaan itu dilakukan oleh elit agama yang tergabung dalam tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah setempat.
Pemberontakan ini dilakukan oleh para petani Banten dan terjadi 12 tahun setelah Syeikh Abdul Karim kembali berangkat ke Mekkah karena panggilan gurunya. Ulama karismatik ini meninggalkan Banten pada 1876. Momen perpisahan ini mengesan di kalbu umatnya. Saat dia hendak pergi, warga Banten berkumpul di Tanara untuk mendengarkan petuah terakhir darinya dan untuk ngalap berkah (meraih keberkahan ulama).
Pada pertemuan itu, Kyai Agung itu berpesan. Pesannya singkat. Dia berharap masyarakat tetap menjaga Islam, apapun resikonya. Dan, sebelum benar-benar pergi dia bilang bahwa dia tak akan kembali ke Banten sebelum tanah itu terbebas dari penjajahan Belanda yang dianggap kafir. Karena dia hanya mau menginjakkan kakinya hanya di atas bumi Islam.
Pesan inilah yang kelak memicu kemarahan murid-muridnya kepada kolonialisme Belanda. Sehingga mereka bertekad untuk mengusir para penjajah itu dari Banten. Berminggu-minggu sebelum pemberontakan itu benar-benar meletus, para ulama—yang tak lain adalah murid dari Kyai Abdul Karim itu—sering mengadakan rapat tertutup.
Dari bulan Februari 1888, mereka sering berkumpul di rumah-rumah kyai terkemuka. Salah satu pertemuan yang penting dan menentukan adalah rapat yang dilaksanakan di rumah Haji Wasid pada 22 April di tahun yang sama. Mereka yang hadir membicarakan pergerakan dan menutup rapat dengan sumpah: “Pertama, mereka akan ambil bagian dalam perang sabil; kedua, mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir; ketiga, mereka tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar,” sebagaima yang ditulis oleh Thahir (2002).
Kemudian, pada akhir April, mereka kembali berkumpul di Kaloran, Serang. Di sana, rencana pemberontakan semakin dimatangkan. Keputusan yang keluar, Haji Wasid, H. Ishak, T.B. Ismail dipilih sebagai pemimpin pemberontakan yang akan beroperasi di Cilegon. Sedangkan, H.M. Asyik, H. Muhidin, H. Abu Bakar, dan beserta kyai-kyai lain dari Trumbu, Serang, Ciruas, dan Undar-Andir berencana menyerang Serang dan menguasai Tangsi. Haji Marzuki dan Haji Asnawi akan memimpin serbuan ke Tanara dan Cikande. H. Syaefuddin dan H. Kasiman ke Anyer.
Pada 22 Juni, mereka kembali mengadakan rapat lebih besar yang dihadiri oleh 60 kyai beserta pengikutnya dari berbagai daerah. Mereka adalah orang yang sudah siap berjuang lahir dan batin. Hingga akhirnya, meletuslah apa yang disebut sebagai peristiwa “Pemberontakan Petani Banten” itu.
Selain di Banten, pemberontak lain yang dilakukan oleh ulama tareka Qadiriyah Naqsyabandiyah juga pernah terjadi di daerah lain. Seperti, “Gerakan Milleniari” di Kediri pada pertengahan 1888 yang dipimpin oleh K.H. Mukhiar, murid tarekat K.H. Abdul Karim.
Pada 1903, terjadi pemberontakan serupa di Gedangan, Sidoarjo yang dilakukan oleh suatu gerakan yang disebut dengan “Mahdiisme” yang dipimpin oleh Hasan Mukmin (atau, Kasan Mukmin), warga Desa Samentara. Dia kabarnya memperoleh ajaran tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dari Kyai Karapyak (Muhammad Tafsir), Yogyakarta. Dia merupakan putra dari Kyai Mukhtaram, pengasuh pesantren di Binangun, Pakishaji.
“Ia berkhotbah bahwa suatu perang suci harus diproklamirkan untuk melawan Pemerintah Belanda. Kemudian ditentukan bahwa pemberontakan itu akan dimulai pada hari Minggu tanggal 29 Mei 1903, tetapi kemudian diajukan pada hari Jumat tanggal 27 Mei 1903, bertepatan dengan hari ‘gerebeg Maulud’. Gerakan Kasan Mukmin itu ternyata mendapatan dukungan dari tokoh-tokoh dan penduduk desa tetanggannya,” sebagaimana terekam dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1977).
Menurut Thahir, “Beberapa minggu sebelum meletus pemberontakan ini, persekongkolan telah terbentuk berdasarkan tradisi-tradisi Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.” Mereka biasa mengadakan pertemuan setiap selesai salat maghrib di rumah-rumah warga yang berada di Desa Damari, Kurek, Wagir, dan Kebonpasar.
Demikian gambaran tentang peran kaum tarekat dalam pergerakan politik tanah air, khususnya Jawa. Kontribusi mereka dalam menentang penjahahan tak dapat disembunyikan hanya dengan streotip, “kaum terekat itu tak peduli politik”. Qadiriyah Naqsyabandiyah justru membuktikan sebaliknya. Hati boleh damai, zuhud diajarkan, tapi penjajahan tak dapat dibiarkan.
Baca Juga:
SIGAP MAFAZA
SOLIDARITAS Umat ISLAM Galang Aksi Pembaca Mafaza
Norek: 7112182707 Bank Syariah Mandiri
Whatsapp: 081229088016
Posting Komentar