Senin, 21 Januari 2019

Home » » Implikasi Post Arab Spring bagi Gerakan Islam: Pembelajaran Kasus Turki

Implikasi Post Arab Spring bagi Gerakan Islam: Pembelajaran Kasus Turki

Di balik kesamaan modalitas dua geostrategis lainnya seperti Turki dan Mesir, Indonesia sebenarnya lebih memiliki banyak modalitas, kecuali satu yang relatif tidak kita miliki, yakni DNA kepemimpinan yang lemah

Oleh Ahmad Dzakirin*

  
Ahmad Dzakirin | FB
Mafaza-Online |
Tulisan ini semacam oleh-oleh dari Purwokerto. Ceritanya, Alhamdulillah, Penulis diundang Ikatan Dai Indonesia (IKADI) bersama Bu Reni, dosen Hubungan Internasional Universitas Soedirman (UNSOED) Purwokerto, dalam seminar nasional mereka yang kurang lebih bertajuk: Implikasi Post Arab Spring bagi Gerakan Islam: Pembelajaran Kasus Turki.

Seperti diduga, ada banyak pertanyaan, termasuk dinamika Islamis di tanah air.
Idealnya, Islamis harus bersatu karena tantangan aktual ke depan yang lebih berat di tengah miskin sumberdaya dan dukungan finansial. Ada kesamaan dan juga banyak perbedaan Turki dan Indonesia, maka formulasi kebijakan harus menjawab tantangan persamaan berikut perbedaannya.
Suasana Diskusi Implikasi Post Arab Spring bagi Gerakan Islam: Pembelajaran Kasus Turki Unsoed Purwokerto | FB

Relasi Agama - Negara 
Dalam konstruksi politik, Turki mengalami ketegangan permanen relasi negara dan agama, namun yang menarik, di tingkat akar rumput, civil society mampu menjaga nafas keberagaman di kalangan masyarakat. Masyarakat Anatolia yang relijius, meskipun terguncang praktik sekularisme ekstrim oleh negara, namun tidak begitu terluka (shaken but unhurt). Seiring naiknya kalangan Islamis, konsolidasi keagamaan dan politik mereka berjalan baik.

Sebaliknya, di Indonesia. Ketegangan relasional agama dan negara relatif tidak banyak. Pancasila dan konstitusi kita adalah kompromi terbaik para founding fathers dan menjadi formula menyejukkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kata PM Juanda, tidak boleh ada regulasi hukum di tanah air yang bertentangan dengan semangat dan prinsip agama. Namun problem sosiologisnya, sekalipun mayoritas, muslim Indonesia masih bergulat dengan proses sublimasi keagamaan yang belum tuntas karena rendahnya pendidikan dan berikut kesadaran keberagamaan mereka.

Potret religio-demografis kita relatif tidak berubah sejak Kemerdekaan. Potret pemilu 1955 juga masih menjadi rata-rata potret wajah politik kontemporer kita. Padahal, rerata partai-partai politik sekuler di dunia Islam banyak bertumbangan kecuali di tanah air.

Apa yang salah? Kalau dalam diagnosis saya, kelemahan itu ada dalam lemahnya basis kultural gerakan Islam dalam tipologi masyarakat 'abangan'.

Sementara, pasca kemerdekaan, mobilitas vertikal birokrasi dan militer banyak diwarisi kaum sekuler. Keterbukaan ruang dalam praktik kebangsaan inilah yang di sepanjang 30 dekade diisi oleh mereka. Kalangan sekularis terus menerus dan secara sadar membangun dan menyisakan ruang konflik negara dan agama.



MOIIA Silky Pudding


Barangkali ada yang pernah liat...

Terus lupa siapa yg jual πŸ˜ 

πŸ’₯Yes..I'm here πŸ˜ƒ 
⇩⇩⇩
Silakan Klik:





Dua Problem
Kata almarhum Deliar Noer, ada dua problem umat Islam pasca kemerdekaan:

Pertama, mereka ini adalah kelompok tulus yang banyak berasal dari kalangan pesantren. Tulus berjuang membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah Kafir, namun setelah merdeka kembali ke pesantren, mengaji dan mengelola pesantren. Contohnya, paman Gus Dur yang memilih kembali ke pesantren pasca kemerdekaan, padahal konon karir beliau di tentara Hizbullah sudah sampai posisi mayor.

Kedua, ada hambatan struktural yang secara sadar atau tidak dipasang kaum Sekuler. Administrasi birokrasi pasca kemerdekaan mensyaratkan kemampuan baca tulis latin, hal yang tidak dikuasai kalangan santri.

Baru diawal 90-an, bangkit gerakan protes Muslim yang menuntut kiprah yang lebih besar untuk menentukan arah Indonesia di masa depan. Jadi narasi ABI sekarang terhitung terlambat. Mereka mulai membangun kekuatan kendati lambat. Di era 90-an pula, kelompok Islamis secara perlahan mengisi kekosongan basis kultural tersebut.

Jadi, peran eksistensial para aktivis Islam sekarang ini adalah menjaga semangat dan pesan para founding fathers kita. Jangan sampai interpretasi sejarah dibajak kalangan sekularis dan para pembenci agama karena kevakuman dan keterpecah-belahan mereka.

Namun di atas itu, ada satu pesan yang selalu saya tekankan bahwa Indonesia adalah satu dari tiga geostrategis dunia Islam, yang akan menjadi kunci kebangkitan pada aras internasional.
Di balik kesamaan modalitas dua geostrategis lainnya seperti Turki dan Mesir, Indonesia sebenarnya lebih memiliki banyak modalitas, kecuali satu yang relatif tidak kita miliki, yakni DNA kepemimpinan yang lemah.

Jadi Anda sebenarnya punya tugas kesejarahan yang sangat penting, baik suka atau tidak. Anda dipandang cukup kredibel mengemban tanggung jawab itu, meskipun dalam keterbatasan sumber daya.

Kekosongan kiprah karena lemahnya kohesitas Islamis dan di tengah keterbatasan sumber daya mereka patut disesalkan. Karena dalam hemat saya, kesadaran kesejarahan ini seharusnya sudah cukup menjadi argumen untuk menyingkirkan kekesalan, ketidaknyamanan dan ego pribadi Anda.

*Pengamat Dunia Islam 
Penulis Buku: Analisa Strategi AKP Menang Pemilu

Baca juga: 

SIGAP MAFAZA 
SOLIDARITAS Umat ISLAM Galang Aksi Pembaca Mafaza
Norek: 7112182707  Bank Syariah Mandiri 
Whatsapp: 081229088016





Share this article :

Posting Komentar