Shalat adalah contoh untuk memperjelas hubungan erat antara
syariat dan hakikat
Oleh:
Luqmanul Hakim Jalin Berkelindan Syariat dan Hakikat |
Rukun
Islam, adalah aspek perbuatan yang terdiri dari ibadah, muamalah dan
ubudiyah. Wadahnya adalah anggota badan (lahiriah), ulama
mengistilahkannya dengan Syariat. Mereka yang mempelajarinya secara
khusus adalah para Ulama Fikih.
Rukun
Iman, adalah aspek keyakinan dalam hati. Meliputi keimanan kepada Allah
SWT, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari akhir, Qadha
dan Qadar. Orang yang mempelajarinya secara khusus adalah para Ulama
Tauhid.
Rukun
Ihsan, adalah aspek ruhani dan hati. Ihsan mengandung arti, engkau
(hamba) beribadah kepada Allah SWT seakan-akan melihat-Nya. Apabila
engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Buah dari
Ihsan adalah rasa, getaran ruhani, pilar-pilar makrifat dan ilmu-ilmu
anugerah (laduni). Para ulama mengistilahkannya dengan, Hakikat. Orang
yang secara khusus mengkajinya adalah Kaum Sufi.
Shalat
adalah contoh untuk memperjelas hubungan antara syariat dan hakikat.
Dalam shalat ada gerakan atau pekerjaan lahiriah, memenuhi rukun dan
syarat-syaratnya. Ada hal-hal lain yang disebutkan oleh para Ulama Fiqih
sebagai sisi syariatnya, yakni jasad shalat. Sedangkan hadirnya hati
bersama Allah SWT dalam shalat diumpamakan sisi hakikatnya (ruh shalat).
Gerakan
shalat oleh anggota badan adalah aktivitas jasad, sedangkan khusyu
adalah ruhnya. Pertanyaannya, apa jadinya jasad tanpa ruh?
Sebagaimana ruh membutuhkan jasad sebagai tempat berdirinya, begitu pula jasad membutuhkan ruh agar bisa tegak.
Firman Allah SWT:
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!” (QS Al-Baqarah [02]: 110).
Mustahil
bisa berdiri tanpa jasad dan ruh. Itulah rahasia kenapa perintahnya
bukan, “Adakanlah shalat!” tapi, “Dirikanlah shalat!”
Itulah
contoh gamblang hubungan erat antara syariat dan hakikat, seperti jasad
dan ruh. Mukmin yang sempurna, mampu memadukan antara syariat dan
hakikat. Inilah arahan kaum sufi untuk sekalian manusia, berdasarkan
jejak Rasulullah saw dan para sahabatnya yang mulia.
Agar
mencapai kedudukan yang mulia dan keimanan yang sempurna ini, seorang
hamba harus menempuh jalan Tarekat. Berjuang melawan hawa nafsu,
meninggikan sifat rendah ke sifat-sifat yang sempurna. Meniti
pilar-pilar ruhani yang sempurna di bawah pengawasan para Mursyid.
Inilah jembatan yang menghubungkan syariat kepada hakikat.
Sayid al Jurjani berkata dalam kitab at Ta’rifatnya,
الطَّرِيْقَةُ هِيَ السِّيْرَةُ الْمُخْتَصَّةُ بِالسَّالِكِيْنَ إِِلىَ اللهِ تَعَالَى، مِنْ قَطْعِ الْمَنَازِلِ وَالتَّرَقِّي فِي الْمَقَامَاتِ
“Thariqah
adalah jalan yang khusus bagi orang-orang yang berjalan menuju kepada
Allah, dari suatu tingkatan ke tingkatan yang lain.”
Jadi,
syariat adalah asas (dasar), tarekat itu perantara dan hakikat buahnya.
Ketiga hal ini terjalin berkelindan melengkapi. Barang siapa yang
berpegang dengan yang Pertama (syariat) maka ia akan menempuh yang Kedua
(tarekat), kemudian ia akan sampai kepada yang Ketiga (hakikat). Tidak
ada pertentangan dan perlawanan di antaranya. Kaum sufi berkata dalam
kaidah mereka yang terkenal,
كُلُّ حَقِيْقَةٍ خَالَفَتِ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ زَنْدَقَةٌ
“Setiap hakikat yang melanggar syariat adalah zindik.”
Lalu bagaimana hakikat bisa melanggar syariat, padahal hakikat hasil dari pelaksanaannya?
Salah seorang Pemuka Sufi, Ahmad Zaruq (semoga Allah merahmatinya) telah berkata,
لَا تَصَوُّفَ إِِلَّا بِفِقْهٍ، إِِذْ لَا تُعْرَفُ أَحْكَامُ اللهِ الظَّاهِرَةُ إِِلَّا مِنْهُ. وَلَا فِقْهَ إِِلَّا بِتَصَوُّفٍ، إِِذْ لَا عَمَلَ إِِلَّا بِصِدْقٍ وَتَوَجُّهٍ للهِ تَعَالَى. وَلَا هُمَا [التَّصَوُّفَ وَالْفِقْهَ] إِِلَّا بِإِيْمَانٍ، إِِذْ لَا يَصِحُّ وَاحِدٌ مِّنْهُمَا دُوْنَهُ. فَلَزِمَ الْجَمِيْعُ لِتَلَازُمِهَا فِي الْحُكْمِ، كَتَلَازُمِ الْأَجْسَامِ لِلْأَرْوَاحِ، وَلَا وُجُوْدَ لَهَا إِلَّا فِيْهَا، كَمَا لَا حَيَاةَ لَهَا إِلَّا بِهَا، فَافْهَمْ
“Bukan
(disebut) tasawuf tanpa berfikih, karena hukum-hukum Allah yang zahir
tidak dapat diketahui kecuali dengannya. Bukan (disebut) fikih tanpa
tasawuf, karena tidak ada amal kecuali dengan ketulusan dan menghadap
hati kepada Allah. Dan bukan (disebut) keduanya (tasawuf dan fikih)
kecuali dengan iman, karena tidak sah salah satu darinya tanpa adanya
iman. Maka hubungkanlah semuanya agar terhubung dengan hukum,
sebagaimana terhubungnya jasad bagi ruh. Tidak ada ruh melainkan berada
di dalam jasad dan tidak ada kehidupan bagi jasad kecuali dengan adaya
ruh. Maka pahamilah!”
Imam Malik (semoga Allah merahmatinya) berkata,
مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ
“Barang
siapa yang bertasawuf tanpa berfikih maka ia zindik. Barang siapa yang
berfikih tanpa bertasawuf maka ia telah fasik. Dan barang siapa yang
menggabungkan keduanya, maka dia akan sampai kepada hakikat.”
Golongan Pertama dikatakan zindik karena ia melihat kepada hakikat tanpa
melaksanakan syariat. Dengan sombong ia berkata bahwa manusia tidak
memiliki pilihan dalam segala urusannya. Ia seperti yang dikatakan
seorang penyair,
أَلْقَاهُ فِي الْيَمِّ مَكْتُوْفاً وَقَالَ لَهَا إِيَّاكَ إِيَّاكَ أَنْ تَبَتَّلَّ بِالْمَاءِ
“Dia melemparkannya di sungai dengan tangan terikat,
Lalu ia berkata, ‘Awas, awas, jangan sampai engkau basah terkena air!”
Jadi, dia telah merusak hukum-hukum syariat dan pelaksanaannya. Telah menghancurkan hikmah syariat dan pengamalan terhadapnya.
Golongan Kedua,
dikatakan fasik karena hatinya belum dimasuki cahaya takwa, rahasia
keikhlasan, kesadaran akan adanya pengawasan Allah SWT dan muhasabah,
sehingga ia belum terhindar dari maksiat dan berpegang teguh dengan
Sunnah.
Golongan Ketiga,
dikatakan telah mencapai hakikat karena telah menggabungkan semua rukun
agama, yaitu Iman, Islam dan Ihsan, (seperti yang terkumpul dalam hadis
Jibril as diatas).
Para
Ulama zahir menjaga batasan syariat, maka Ulama tasawuf juga menjaga
adab-adab dan ruh syariat. Sebagaimana diperbolehkan bagi ulama zahir
untuk berijtihad dalam menyimpulkan dalil-dalil, membuat definisi,
cabang-cabang (masalah) dan menetapkan hukum —halal atau haramnya— atas
apa yang tidak ada nash-nya, begitu pula bagi kalangan ahli makrifat
tentu dibolehkan menyimpulkan adab dan metode dalam mendidik muridnya
dan para salik.
Para
salafusshalih dan kaum sufi yang tulus dalam beribadah telah
mengaktualisasikan penghambaan yang benar dan ber-Islam dengan
sebenarnya. Mereka memadukan Syariat, Tarekat dan Hakikat. Mereka
benar-benar ahli syariat, hakikat yang mengarahkan manusia ke jalan
yang lurus.
IDRISIYYAH
IDRISIYYAH
Artikel lainnya:
Silakan klik:
Lengkapi Kebutuhan Anda
Posting Komentar