Para intelektual Syi’ah Iran berupaya mencari “dalil ilmiah” dengan mengacu pada teori Teo-Demokrasi, suatu perpaduan antara teori “Kedaulatan Tuhan” dan “Kedaulatan Rakyat” dalam perspektif “Demokrasi Religius” sebagai pembelaan akedemis yang rapuh
Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.
Al-Ustadz Drs. A. Subki Saiman, MA.*
Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.
Al-Ustadz Drs. A. Subki Saiman, MA.*
Tolak Syiah dari NKRI | Net |
Maka, judul artikel ini penekanannya dengan kata kunci “sampai negara sementara”.
Letak kesementaraan negara yang dimasudkan disini adalah “Republik Taqiyya Iran” yang berdiri pasca Revolusi Khomeini tahun 1979 dengan dukungan faksi Ushuli. Melalui revolusi itu, Khomeini kembali menggagas konsep Wilayat al-Faqih yang sebelumnya pernah disampaikan oleh Muhaqqiq Al-Karaki (W.1561M).
Al-Karaki adalah pemikir Syi’ah pertama yang secara komprehensif mengelaborasi konsep Wilayat al-Faqih sebagai konsep kepemimpinan di zaman kegaiban Imam Keduabelas.
Khomeini kemudian menampilkan Syi’ah dalam bentuk yang lebih politis ketimbang teologis. Dikatakan demikian, oleh karena konsep Wilayat al-Faqih merupakan hasil ijtihad politis faksi Ushuli terkait dengan mempertahankan Revolusi Iran dengan Khomeini sebagai Waly al-Faqih atau lazim disebut Rahbar.
Keberlakuannya berlangsung terus-menerus tidak dapat diubah sepanjang masa (lihat: Pasal 2 jo Pasal 57 Konstitusi).
Hal ini mengisyaratkan, tidak dapat diubahnya sepanjang masa terkait dengan absennya Imam Keduabelas.
Perlu dicatat, ideologi Imamah pada mulanya tidak mengenal adanya kekuasaan Waly al-Faqih (Iran: Na’eb-e Imam / wakil Imam Keduabelas) sepanjang ketidakhadiran Imam Keduabelas, sebagaimana dianut faksi Akhbari.
Setelah Imam Keduabelas menghilang, kaum Syi’ah secara hipotesis, hanya menunggu akhir zaman, tanpa harapan akan hadirnya pemerintahan yang sah. Namun, dengan kelicikan Khomeini melalui konsep Wilayat al-Faqih - yang sebenarnya bersifat kepemimpinan kolektif - direduksi menjadi kepemimpinan tunggal yakni Waly al-Faqih.
Dalam rangka pendirian negara Syi’ah Iran, Khomeini mengatakan bahwa usaha-usaha pendirian negara Syi’ah merupakan bagian dari aplikasi iman terhadap wilayah (keimamahan).
Untuk menegakkan pemerintahan yang bersendikan Imamah, maka diperlukan cara-cara politik untuk meneguhkan keberadaannya.
Untuk kepentingan itu, para intelektual Syi’ah Iran berupaya mencari “dalil ilmiah” dengan mengacu pada teori Teo-Demokrasi, suatu perpaduan antara teori “Kedaulatan Tuhan” dan “Kedaulatan Rakyat” dalam perspektif “Demokrasi Religius” sebagai pembelaan akedemis yang rapuh.
Dengan demikian, terdapat dua pilar pemikiran – keduanya saling mendukung (mempertautkan) – yaitu, masyruiyyah (legitimasi religius/penunjukkan Tuhan) dengan maqbuliyyah (akseptabilitas publik/penerimaan umat).
Pemikiran inilah yan diadopsi dalam pemerintahan Iran pasca revolusi, prinsip maqbuliyyah disimbolkan oleh republik sedangkan prinsip masyruiyyah disimbolkan dengan Imamah.
Kemudian, dalam praktek pendirian pemerintahan Iran, Khomeini meminta pelaksanaan referendum dan pemilihan umum untuk mencapai aspek maqbuliyyah (akseptabilitas publik). Padahal, mayoritas rakyat Iran kala itu telah bulat berada di belakang Khomeini.
Dua pilar di atas menimbulkan kontradiksi, menjadikan aspek maqbuliyyah sebagai penentu prinsip masyruiyyah, sejurus dengan itu secara teoritis dua teori kedaulatan tersebut – yang sangat berbeda prinsip – tidak dapat dimplementasikan dalam satu negara, apalagi yang berbentuk Republik!, kecuali memang telah rekayasa sedemikian rupa, sebagaimana dilakukan Khomeini.
Sebenarnya, maksud dari masyruiyyah dan maqbuliyyah adalah untuk kepentingan Syi’ah Iran belaka, tidak ada hubungannya dengan Islam.
Dua dimensi itu berkaitan erat dengan ekspansi ideologi dan integrasi ideologi Syi’ah. Melalui Waly al-Faqih, semua marja yang ada di dunia tunduk dan patuh kepadanya, kemudian para pengikut (muqallid) “berserah diri kepadnya”, tidak terkecuali yang ada di Indonesia.
Sebagai contoh aktual, adalah organisasi Hizbullah, dari sejak kemunculan hingga sekarang, fungsi Wilayat al-Faqih senantiasa tidak terpisahkan dari ideologinya.
Hizbullah berpandangan, semua dalil dan kemaslahatan yang meniscayakan kehadiran Nabi saw dan pengganti beliau dengan semua sifat dan kualifikasi tertentu yang wajib mereka miliki - dalam bobot yang sama - juga meniscayakan kehadiran Wakil Imam di zaman kegaiban ini.
Dengan demikian, keniscayaan ini mengantarkan Hizbullah untuk berpegang pada Waly al-Faqih yang mampu memimpin kepada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Ali Khamenei selaku Waly Al-Faqih mengangkat Hasan Nashrallah sebagai wakil umum (wakil ‘am) di Lebanon dalam ranah hisbi (perkara-perkara yang Allah tidak ridha bila diabaikan) dan syar’i (keagamaan).
Lebanon – melalui Hizbullah – dijadikan sebagai “Negara Bagian Iran”
Melalui pengangkatan ini, semua urusan yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban agama demi kemaslahatan umat, pengumpulan dana khumus, dan sistem administrasinya dan lain sebagainya dipindahkan dari Iran ke Lebanon.
Kewenangan Waly al-Faqih dalam hubungannya dengan Hizbullah ini lebih mendekati corak “residu of power” (kewenangan sisa), hal ini dapat dilihat dari klaim Hizbullah bahwa Waly al-Faqih hanya mengeluarkan “panduan umum” bagi kerja politik, dimana kewenangan politik seorang Waly al-Faqih tetaplah relatif terbatas.
Dapat dikatakan Lebanon – melalui Hizbullah – dijadikan sebagai “Negara Bagian Iran” dengan pendekatan kewenangan sisa tersebut, sebagaimana berlaku dalam sistem Negara Federal, seperti Amerika Serikat.
Menurut Hizbullah, generalitas petunjuk-petunjuk Waly al-Faqih memberi ruang yang luas bagi Hizbullah untuk mengambil keputusannya sendiri. Jadi kewenangan Waly al-Faqih terbatas pada isu-isu strategis seperti jihad, aturan politik dan penentuan kawan dan lawan. Ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan Waly al-Faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad.
Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.
*Pendiri dan Pengkaji Ahli LKS Al-Maqashid Syarial dan Lisan Hal
Selanjutnya:
DOKTRIN SYIAH: Dari Kawin Sementara sampai Negara Sementara (2)
Kewenangan Waly al-Faqih dalam hubungannya dengan Hizbullah ini lebih mendekati corak “residu of power” (kewenangan sisa), hal ini dapat dilihat dari klaim Hizbullah bahwa Waly al-Faqih hanya mengeluarkan “panduan umum” bagi kerja politik, dimana kewenangan politik seorang Waly al-Faqih tetaplah relatif terbatas.
Dapat dikatakan Lebanon – melalui Hizbullah – dijadikan sebagai “Negara Bagian Iran” dengan pendekatan kewenangan sisa tersebut, sebagaimana berlaku dalam sistem Negara Federal, seperti Amerika Serikat.
Menurut Hizbullah, generalitas petunjuk-petunjuk Waly al-Faqih memberi ruang yang luas bagi Hizbullah untuk mengambil keputusannya sendiri. Jadi kewenangan Waly al-Faqih terbatas pada isu-isu strategis seperti jihad, aturan politik dan penentuan kawan dan lawan. Ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan Waly al-Faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad.
Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.
*Pendiri dan Pengkaji Ahli LKS Al-Maqashid Syarial dan Lisan Hal
Selanjutnya:
DOKTRIN SYIAH: Dari Kawin Sementara sampai Negara Sementara (2)
Posting Komentar