Pasca Perang Diponegoro, Pengadilan Surambi di Kasultanan Ngayogyakarta diberhentikan atas prakarsa penjajah Belanda dengan dikeluarkannya Resolusi No. 29 tertanggal 11 Juni 1831
Masjid Ageng Ngayogyakarta, tempat Pengadilan Surambi, pada sekitar tahun 1900 dikelilingi telaga buatan sebagai simbol "wa 'arsyuhu 'alal maa'." (dan arasy-Nya di atas air) |
Pengadilan Surambi dilaksanakan berdasarkan syariat Islam dengan cakupan meliputi pengadilan untuk perkara hukum pidana, perkawinan, talak, dan warisan. Hukum Pidana disini berkaitan dengan kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, dan lain sebagainya. Sementara penanganan Pidana administrasi dan persoalan Agraria (pasiten) dilaksanakan oleh Pengadilan Bale Mangu. Di Yogyakarta, pengadilan Surambi dilaksanakan di serambi Masjid Ageng Ngayogyakarta.
Dalam pengadilan tersebut, Kedua keraton telah menggunakan kitab Undang-Undang yang disebut Kitab Angger-angger. Kitab ini sengaja disusun secara bersama oleh kedua kerajaan untuk memenuhi kebutuhan Keraton akan pelaksanaan hukum Islam di wilayahnya. Kitab Angger-angger ini disusun dari sejumlah kitab antara lain kitab Moharrar (muharrar), kitab Mahalli, kitab Topah (Tuhfah), kitab Patakulmungin (Fathul Muin), dan kitab Patakulwahab (Fathul Wahab). Pengurus pengadilan ini terdiri 10 (sepuluh) orang antara lain Kiai Pengulu sebagai ketua, anggota Pathok Nagari yang terdiri 4 (empat) orang, seorang Pengulu Hakim, dan sisanya terdiri dari para Ketib (katib).
Pasca Perang Diponegoro, Pengadilan Surambi di Kasultanan Ngayogyakarta diberhentikan atas prakarsa penjajah Belanda dengan dikeluarkannya Resolusi No. 29 tertanggal 11 Juni 1831. Sejak saat itu masalah pidana yang sebelumnya menjadi wewenang Pengadilan Surambi ditangani oleh Rechtsbank voor Criminele Zaken (Pengadilan Hukum Pidana).
Silakan klik:
Lengkapi Kebutuhan
Anda
Posting Komentar