Nestapa Kashmir | (Foto: tribuneindia.com) |
Mafaza-Online.Com|JAKARTA - Kashmir adalah salahsatu saksi sejarah pertumpahan darah akibat perebutan wilayah dan memerlukan solusi atas masa depannya karena telah terjadi nestapa berkepanjangan di wilayah tersebut.
Setiap tahun, pemerintah dan rakyat Pakistan di dalam dan di luar negeri menyelenggarakan Hari Solidaritas Kashmir pada 5 Februari, tak terkecuali di Indonesia, untuk memperbarui janji meneruskan dukungan bagi rakyat Kashmir yang berjuang mencapai haknya untuk menentukan nasib sendiri.
"Untuk menyelesaikan masalah Kashmir sebenarnya sederhana," kata Zahir Khan, pengamat masalah Kashmir, dalam suatu seminar di Universitas Az-Zahra, Jakarta, pada Jumat (7/2).
Kashmir, suatu wilayah di Himalaya, tempat penduduknya sebagian besar Muslim yang mencari kemerdekaan dari India atau penyatuan diri dengan Pakistan.
Pakistan telah beberapa kali mencari cara agar pihak luar dapat melakukan intervensi di Kahsmir tetapi India menentang keras upaya tersebut.
Pendudukan India atas Kashmir berlangsung sejak 27 Oktober 1947 dan hingga kini masih terus berlangsung bahkan rakyat Kashmir diberitakan makin menderita akibat teror.
Sebenarnya masalah Kashmir tidak akan timbul bila pemerintah India menaati janji-janjinya sendiri sewaktu pemerintah kolonial Inggris memberikan kemerdekaan anak benua India tahun 1947 menjadi dua negara yakni India dan Pakistan, kata Zahir.
Mayoritas agama
Pada waktu itu pemerintah Inggris, India dan Pakistan menyetujui bahwa dasar dari pemisahan (partition) India dan Pakistan didasarkan pada mayoritas agama yang dipeluk oleh masing-masing negara bagian.
Berdasarkan syarat-syarat dari pemisahan tersebut maka Kashmir seharusnya secara otomatis masuk dan bergabung dengan negara Pakistan yang diproklamasikan pada 14 Agustus 1947.
Bahkan, rakyat Kashmir merayakan kemerdekaan Pakistan secara besar-besaran pada 15 Agustus 1947 dan menyatakan bergabung dengan Pakistan karena mayoritas penduduknya yaitu 80 persen beragama Islam walaupun kebetulan dipimpin oleh seorang raja beragama Hindu.
Namun raja itu menolak kehendak rakyatnya untuk bergabung dengan Pakistan.
Sebaliknya, ada dua negara bagian lainnya yaitu Hyderabad dan Junagadh yang mayoritas penduduknya beragama Hindu namun penguasanya beragama Islam.
Walaupun penguasa kedua negara bagian itu ingin bergabung dengan Pakistan, dengan alasan mayoritas penduduknya beragama Hindu,maka India langsung mencaplok kedua negara bagian tersebut dengan dalih sebagai syarat partisi.
Tetapi dalam soal Kashmir, India bersikap bertolak belakang tanpa mengindahkan perjanjian yang dibuatnya sendiri, langsung menduduki Kashmir pada 27 Oktober 1947 hingga hari ini.
Sejak pendudukan maka timbul gerakan-gerakan menentang India sehingga akhirnya memancing Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan intervensi dengan mengeluarkan resolusi berkali-kali yang isinya antara lain India harus menghormati kehendak rakyat Kashmir untuk menentukan nasibnya sendiri secara demokratis dengan melaksanakan plebisit/jajak pendapat sesuai dengan resolusi PBB antara lain PBB membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan nama United Nations Comission for India and Pakistan (UNCIP) pada 1948.
Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 21 April 1948 menyatakan bahwa plebisit harus dilaksanakan di Kashmir dengan memberikan hak kepada rakyat di wilayah itu untuk bergabung kepada Pakistan atau India. Namun hingga kini pemerintah India yang menempatkan amat banyak tentara di Kashmir selalu menolaknya.
"Selama resolusi itu tidak diindahkan maka persoalan Kashmir dipastikan tak akan kunjung selesai," kata Zahir. (Mohammad Anthoni/ANTARA News)
Silakan di Klik:
Masjid at Tahirin Terendam Banjir, Semoga Bisa Segera digunakan Kembali
Posting Komentar