Patah hati tidak akan hinggap pada manusia yang sadar pada siapa cintanya tersebut harus dilabuhkan
Oleh: Ridwan, Lc
Sa'ad bin Ubadah berkata: "Seandainya aku menemukan seorang laki-laki bersama isteriku tentu aku tebas ia dengan pedang, bukan dengan lempengnya tetapi dengan mata pedangnya." Maka Rasulullah saw bersabda: "Apakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa'ad? Sesungguhnya aku lebih cemburu dibanding dia, dan Allah lebih cemburu di banding aku." (Muttafaq 'alaih)
Mencintai sesuatu akan menuntut adanya kepemilikan secara utuh. Manusia, ketika dirinya menyukai lawan jenisnya, tentunya bukan tampilan fisik semata yang ia inginkan namun, juga keterikatan jiwa. Cinta lahir batin yang merupakan prioritas utama.
Adakalanya ketika cinta kandas diperjalanan, boleh jadi ada sebuah ungkapan hati yang terurai. Ungkapan demi menghibur jiwanya yang merana: “Karena Cinta tidak selalu menuntut untuk memiliki”.
Pada sebagian pemabuk cinta acapkali terucap “Biarlah fisiknya dimiliki orang lain, namun jiwanya adalah milikku seorang sebab, makna cinta tidak selalu menuntut adanya pertemuan kontak fisik semata, namun persemaian jiwa menjadi bumbu hati para pecinta yang utama.”
Perasaan merana akan kandasnya cinta, boleh jadi akan menimpa siapa saja termasuk seorang hamba yang shalih. Perasaan tersebut mungkin akan sama terasa pedihnya. Namun, begitu efek dari perasaan tersebut tidaklah akan sama ketika kondisi itu hinggap pada manusia-manusia yang sadar kepada siapa cinta agungnya tersebut seharusnya dilabuhkan. Ada saatnya perasaan perih itu dihempaskan dan dipalingkan dari hatinya.
Ibnu Qayyim menceritakan Kisah Sang Imam Muhammad Bin Daud Al-Zhahiri —pendiri mazhab Zhahiriyah— beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk beliau. Namun, ternyata Sang Imam justru mencurahkan isi hatinya kepada sang kawan tentang kisah kasihnya yang tak sampai.
Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya. Tapi, entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak tersambung jadi kenyataan dan tidak pernah diucapkannya. Maka, curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum wafatnya. Namun, hal ini tidak memalingkan dari cintanya pada Allah SWT.
Kisah Sayyid Quthb bahkan lebih tragis. “Dua kali ia jatuh cinta, dua kali pula ia patah hati,” kata DR. Ab’dul Fattah AI-Khalidi yang menulis tesis master dan disertasi doktornya tentang Sayyid Quthb.
Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthb pergi ke Kairo untuk belajar. Sayyid menangisi peristiwa itu.
Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, “Gadis itu tidak termasuk cantik,” kata Sayyid. Namun, “Ada gelombang yang unik yang menyirat darisorot matanya,” katanya menjelaskan pesona sang kekasih.
Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan. Sambil menangis, gadis itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid, karena ia memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya perawan pada fisiknya.
Sayyid Quthb tenggelam dalam penderitaan hati. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaaan itu. Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzan terhadap takdir Allah. Tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar kepada sang Pemilik takdir
“Apakah dunia tidak menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”
Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, beliau tersadarkan untuk menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya. Zat yang cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah. Ia pun wafat dengan kondisi terhormat di tiang gantungan demi membela Dzat yang dicintainya.
Maka konsekuensi dari rasa keimanan menuntut nilai cinta serta kecemburuan. Iman tidaklah sebatas pengakuan dalam hati dan lisan semata. Harus ada ketergerakan hati dalam bentuk tindakan serta amalan. Nilai keimanan senantiasa akan memadukan hati, jiwa dan fisik.
Tak Perlu Menunggu Dirimu Sempurna
Cinta pada Allah SWT dibuktikan dengan mengamalkan dan membela ajarannya. Senantiasa berdakwan dan mengagungkan ajaran Islam.
Seorang salafus Shalih yang bernama Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata:
Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya."
Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat.
Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya.
Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan.
Maka terus meneruslah berada pada mejelis-mejelis dzikir (mejelisilmu), semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi ada satu kata yang terdengar dan kata itu merendahkan diri kita namun sangat bermanfaat bagi kita. Bertaqwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Mawai’zhlil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal.185-187)
Sementara itu disisi lain dalam haditsnya Rasulullah saw mengingatkan kepada kita bagaimana ketidakpekaan serta diamnya kita akan adanya nilai-nilai bertentangan dengan aturan syariat, merupakan awal dari pertanda sebuah keburukan sebuah masa, maka cintailah Allah SWT daan ajarannya jauh dari rasa cinta kita kepada yang lainnya.
Sabda nabi saw menyatakan kepada kita:
“Sesungguhnya kekurangan yang mula-mula dialami oleh kaum Bani Israil ialah bilamana seorang lelaki bertemu dengan lelaki lain (dari kalangan mereka), maka ia berkata kepadanya, "Hai kamu, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah dosa yang kamu lakukan itu, sesungguhnya perbuatan itu tidak halal bagimu."
Namun ketika ia berjumpa keesokan harinya, tidak mencegahnya (dari dosa) bahkan, menjadi teman makan, teman minum, dan teman duduknya. Setelah mereka melakukan hal tersebut, maka Allah memecahbelah hati mereka, sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain.
Kemudian Rasulullah saw. Membacakan firmanNya: “Telah dilaknati orangorang kafir dari Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam.” (AlMaidah: 78) sampai dengan firmanNya: “orang-orang yang fasik.” (AlMaidah: 81).
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Tidak, demi Allah, kamu harus amarma'ruf dan nahi munkar, dan kamu harus mencegah perbuatan orang yang zalim, membujuknya untuk mengikuti jalan yang benar atau kamu paksa dia untuk mengikuti jalan yang benar. (HR. Bukhari)
Wallahu A’lamu bisshawab...
Oleh: Ridwan, Lc
Sa'ad bin Ubadah berkata: "Seandainya aku menemukan seorang laki-laki bersama isteriku tentu aku tebas ia dengan pedang, bukan dengan lempengnya tetapi dengan mata pedangnya." Maka Rasulullah saw bersabda: "Apakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa'ad? Sesungguhnya aku lebih cemburu dibanding dia, dan Allah lebih cemburu di banding aku." (Muttafaq 'alaih)
Mencintai sesuatu akan menuntut adanya kepemilikan secara utuh. Manusia, ketika dirinya menyukai lawan jenisnya, tentunya bukan tampilan fisik semata yang ia inginkan namun, juga keterikatan jiwa. Cinta lahir batin yang merupakan prioritas utama.
Adakalanya ketika cinta kandas diperjalanan, boleh jadi ada sebuah ungkapan hati yang terurai. Ungkapan demi menghibur jiwanya yang merana: “Karena Cinta tidak selalu menuntut untuk memiliki”.
Pada sebagian pemabuk cinta acapkali terucap “Biarlah fisiknya dimiliki orang lain, namun jiwanya adalah milikku seorang sebab, makna cinta tidak selalu menuntut adanya pertemuan kontak fisik semata, namun persemaian jiwa menjadi bumbu hati para pecinta yang utama.”
Perasaan merana akan kandasnya cinta, boleh jadi akan menimpa siapa saja termasuk seorang hamba yang shalih. Perasaan tersebut mungkin akan sama terasa pedihnya. Namun, begitu efek dari perasaan tersebut tidaklah akan sama ketika kondisi itu hinggap pada manusia-manusia yang sadar kepada siapa cinta agungnya tersebut seharusnya dilabuhkan. Ada saatnya perasaan perih itu dihempaskan dan dipalingkan dari hatinya.
Ibnu Qayyim menceritakan Kisah Sang Imam Muhammad Bin Daud Al-Zhahiri —pendiri mazhab Zhahiriyah— beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk beliau. Namun, ternyata Sang Imam justru mencurahkan isi hatinya kepada sang kawan tentang kisah kasihnya yang tak sampai.
Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya. Tapi, entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak tersambung jadi kenyataan dan tidak pernah diucapkannya. Maka, curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum wafatnya. Namun, hal ini tidak memalingkan dari cintanya pada Allah SWT.
Kisah Sayyid Quthb bahkan lebih tragis. “Dua kali ia jatuh cinta, dua kali pula ia patah hati,” kata DR. Ab’dul Fattah AI-Khalidi yang menulis tesis master dan disertasi doktornya tentang Sayyid Quthb.
Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthb pergi ke Kairo untuk belajar. Sayyid menangisi peristiwa itu.
Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, “Gadis itu tidak termasuk cantik,” kata Sayyid. Namun, “Ada gelombang yang unik yang menyirat darisorot matanya,” katanya menjelaskan pesona sang kekasih.
Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan. Sambil menangis, gadis itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid, karena ia memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya perawan pada fisiknya.
Sayyid Quthb tenggelam dalam penderitaan hati. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaaan itu. Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzan terhadap takdir Allah. Tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar kepada sang Pemilik takdir
“Apakah dunia tidak menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”
Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, beliau tersadarkan untuk menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya. Zat yang cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah. Ia pun wafat dengan kondisi terhormat di tiang gantungan demi membela Dzat yang dicintainya.
Maka konsekuensi dari rasa keimanan menuntut nilai cinta serta kecemburuan. Iman tidaklah sebatas pengakuan dalam hati dan lisan semata. Harus ada ketergerakan hati dalam bentuk tindakan serta amalan. Nilai keimanan senantiasa akan memadukan hati, jiwa dan fisik.
Tak Perlu Menunggu Dirimu Sempurna
Cinta pada Allah SWT dibuktikan dengan mengamalkan dan membela ajarannya. Senantiasa berdakwan dan mengagungkan ajaran Islam.
Seorang salafus Shalih yang bernama Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata:
”Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian.
Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya."
Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat.
Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya.
Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan.
Maka terus meneruslah berada pada mejelis-mejelis dzikir (mejelisilmu), semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi ada satu kata yang terdengar dan kata itu merendahkan diri kita namun sangat bermanfaat bagi kita. Bertaqwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Mawai’zhlil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal.185-187)
Sementara itu disisi lain dalam haditsnya Rasulullah saw mengingatkan kepada kita bagaimana ketidakpekaan serta diamnya kita akan adanya nilai-nilai bertentangan dengan aturan syariat, merupakan awal dari pertanda sebuah keburukan sebuah masa, maka cintailah Allah SWT daan ajarannya jauh dari rasa cinta kita kepada yang lainnya.
Sabda nabi saw menyatakan kepada kita:
“Sesungguhnya kekurangan yang mula-mula dialami oleh kaum Bani Israil ialah bilamana seorang lelaki bertemu dengan lelaki lain (dari kalangan mereka), maka ia berkata kepadanya, "Hai kamu, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah dosa yang kamu lakukan itu, sesungguhnya perbuatan itu tidak halal bagimu."
Namun ketika ia berjumpa keesokan harinya, tidak mencegahnya (dari dosa) bahkan, menjadi teman makan, teman minum, dan teman duduknya. Setelah mereka melakukan hal tersebut, maka Allah memecahbelah hati mereka, sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain.
Kemudian Rasulullah saw. Membacakan firmanNya: “Telah dilaknati orangorang kafir dari Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam.” (AlMaidah: 78) sampai dengan firmanNya: “orang-orang yang fasik.” (AlMaidah: 81).
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Tidak, demi Allah, kamu harus amarma'ruf dan nahi munkar, dan kamu harus mencegah perbuatan orang yang zalim, membujuknya untuk mengikuti jalan yang benar atau kamu paksa dia untuk mengikuti jalan yang benar. (HR. Bukhari)
Wallahu A’lamu bisshawab...
Silakan di Klik:
✽̶ M-STORE LengkapiKebutuhanAnda ♈̷̴✽̶⌣̊
Posting Komentar