Pembuatan arak di pabrik Goan Soen di Djembatan Senti di Batavia, 1904. | Foto KITLV. |
Pemerintah membatasi peredaran minuman keras. Alasannya
moral, juga ekonomi
Mafaza-Online.Com | WISATA KULINER - Setiap menjelang puasa,
polisi dan ormas Islam merazia warung dan tempat-tempat yang menyediakan
minuman keras. Alasannya untuk menjaga ketertiban dan ketenangan selama
Ramadan. Tindakan sporadis ini tentu saja tak akan mampu menghentikan peredaran
minuman keras.
Kecemasan akan meluasnya peredaran minuman keras juga
dirasakan masyarakat di masa kolonial. Sejumlah organisasi politik angkat
suara. Pemerintah Hindia Belanda pun bertindak, kendati melihatnya bukan semata
alasan moral tapi juga ekonomi. Departemen Keuangan Hindia Belanda berambisi
meningkatkan pungutan cukai impor minuman keras. Tak heran jika minuman keras
ilegal atau arak gelap jadi sasaran pembasmian oleh pemerintah.
“Arak gelap dapat berarti arak yang dibuat secara tidak sah
menurut ketentuan hukum,” tulis Kasijanto dalam penelitiannya Industri Rumah
Tangga di Sekitar Pabrik: Penyulingan Arak di Beberapa Kota di Jawa sekitar
1870-1925, “dapat pula berarti arak selundupan, termasuk dalam hal ini arak yang
digelapkan dari sebagian arak legal.”
Sarekat Islam memasukkan ihwal minuman keras dalam agenda kongres pada 1915. Mereka menyerukan pemerintah membuat undang-undang yang melarang “anak negeri”, bahkan bila mungkin “sekalian bangsa”, meminum minuman keras. “Organisasi itu tampak terpukul sebab dikabarkan terdapat sejumlah haji yang ikut berbisnis minuman keras itu,” tulis Kasijanto.
Pada tahun yang sama, Muhammadiyah mengusulkan agar
pemerintah memberlakukan monopoli perdagangan minuman keras. Budi Utomo menekan
pemerintah agar membatasi tempat penjualan dan menaikkan harga minuman keras.
Budi Utomo juga menghimbau masyarakat agar memilih pejabat atau pemimpin yang
“bebas alkohol”.
Perhimpunan bupati Sedya Mulya mendirikan suatu perkumpulan
antialkohol. Organisasi ini menetapkan syarat unik bagi anggotanya: anggota tak
akan dipungut iuran jika mengharamkan minuman keras, dan akan dikenai iuran
kalau minum bir dan anggur, tapi tak meminum brendi dan sopi (sejenis arak).
Organisasi spiritual Jawa, Mimpitu, memandang minuman keras
sebagai satu dari “tujuh kejahatan dalam diri manusia” dan kewajiban manusia
untuk menaklukkannya. Mimpitu menetapkan syarat bagi anggotanya untuk berikrar
“satu tahun lamanya saya (anggota) tidak akan minum arak, atau bir, atau anggur,
atau lain-lain minuman yang dapat memabukkan.”
Sebagai respons, sejak 1914, pemerintah membuat peraturan
yang memperketat usaha rumah-rumah minum (herbergkeur), dari kedai kopi hingga
warung pinggiran, yang hanya boleh menjual minuman keras tiga liter setiap jam
buka dan harus memperoleh izin dari polisi. Rumah-rumah minum harus tutup pukul
satu dini hari –di Bogor lebih cepat,
pukul sebelas malam. Pemerintah juga melarang penjualan di jalan besar dan
permukiman.
Empat tahun kemudian, pemerintah membentuk komisi
penanggulangan alkohol (alcoholbestrijding commisie), yang beranggotakan unsur
pemerintah dan masyarakat. “Komisi ini ditugasi untuk ‘memerangi’
masalah-masalah yang timbul sebagai dampak dari penggunaan (terutama
penyalahgunaan) alkohol di Hindia Belanda,” tulis Kasijanto.
Dalam laporannya, komisi menilai penggunaan minuman keras
telah meluas dari berbagai kalangan, dari perkampungan sampai kota. Kawasan
prostitusi tidak salah lagi menjadi tempat penjualan minuman keras ilegal atau
arak gelap. Namun komisi memperoleh kesan bahwa agen polisi yang ditugaskan di
daerah “gelap” tersebut lemah dan cenderung malas menjalankan tugas.
“Repotnya lagi seringkali para pemilik atau pengunjung kedai
‘kenal’ dengan agen-agen polisi yang bertugas di daerah itu. Dalam keadaan
seperti itu bukan tidak mungkin akan terjadi sikap ‘tahu sama tahu’.”
Selama 1900-1925, upaya membasmi peredaran minuman keras
ilegal terus dilakukan. Namun, tulis Kasijanto, “arak gelap ini ibarat
‘penyakit kronis’ yang dibunuh satu, muncul yang lain.” (ARYONO/historia.co.id)
+ komentar + 1 comment
Posting Komentar