Tidak tercapainya target RPJMN Tahun 2014 secara umum disebabkan karena pemerintah belum mampu memanfaatkan besarnya potensi ekonomi domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional
MafazaOnline-JAKARTA-Anggota DPR RI Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam menilai pertumbuhan ekonomi tahun 2014 dalam rentang 6,4-6,9 persen yang ditetapkan pemerintah jauh lebih rendah dibanding target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 sebesar 7-7,7 persen.
“Tidak tercapainya target RPJMN Tahun 2014 secara umum disebabkan karena pemerintah belum mampu memanfaatkan besarnya potensi ekonomi domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Peran konsumsi modal pemerintah yang terus menurun telah menghambat pencapaian pertumbuhan yang lebih baik”, paparnya saat menyampaikan pandangan Fraksi PKS atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2014 dalam Paripurna DPR RI.
Ecky menekankan kedepan pemerintah perlu mencari terobosan agar konsumsi modal pemerintah mampu menjadi stimulus pertumbuhan. Pemerintah perlu memperbaiki eksekusi belanja modal yang selalu dibawah 80 persen. Kedepan pemerintah juga perlu terus menjaga dan mengoptimalkan investasi atau pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) sebagai sumber pertumbuhan penting.
“Semakin membaiknya kinerja kedua sumber pertumbuhan tersebut akan memberikan nilai tambah yang lebih besar dalam perekonomian terutama untuk penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan. Hal ini juga sangat penting mengingat pertumbuhan ekonomi yang terlalu bergantung pada konsumsi masyarakat, bersifat autopilot, cenderung bersifat jangka pendek dan tidak berkualitas,” tegasnya.
Untuk menjaga Investasi atau PMTDB, Ecky menyampaikan, pemerintah perlu memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia yang terus merosot. Laporan The Global Competitiveness Report 2012-2013 yang disusun oleh World Economic Forum menyatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global dari peringkat ke 44 tahun 2011, menjadi peringkat 46 tahun 2012 dan menurun lagi menjadi peringkat ke 50 pada 2013.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Bank Dunia, di mana peringkat kemudahan bisnis di Indonesia terus mengalami penurunan. Peringkat doing business tahun 2013 kembali menurun ke posisi 129 dari posisi tahun 2012 pada peringkat 128, dan 2011 pada peringkat 126.
“Kondisi penurunan daya saing ini harus diatasi secara sungguh-sungguh”, tambahnya.
Sementara itu terkait dengan dua komponen permintaan lainnya yaitu, ekspor dan impor, dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang cenderung melemah dalam beberapa tahun terakhir, permintaan produk akan turun sehingga kontribusi ekspor juga akan melemah. Karena itu, dalam kebijakan ekspor, pembangunan industri nasional harus diprioritaskan terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai tambah produksi yang dihasilkan.
“Disisi lain pemerintah juga harus memfokuskan kebijakan pada peningkatan kemampuan industri nasional untuk memenuhi permintaan domestik, sehingga tercapai kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan impor,” lanjutnya.
Selain itu pertumbuhan ekonomi nasional cenderung bertumpu pada sektor-sektor ekonomi yang bersifat non tradable perlu diperbaiki. Sedangkan sektor tradable, yaitu sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan, belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal ketiga sektor tersebut bersifat padat karya dan merupakan kontributor terbesar perekonomian.
“Sejak beberapa tahun terakhir, pertumbuhan sektor tradable selalu berada di bawah pertumbuhan PDB. Hal ini juga menjadi penyebab pemerintah sulit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik,” tegasnya.
Dakwah dari Gn Merapi Hingga NTT
MafazaOnline-JAKARTA-Anggota DPR RI Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam menilai pertumbuhan ekonomi tahun 2014 dalam rentang 6,4-6,9 persen yang ditetapkan pemerintah jauh lebih rendah dibanding target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 sebesar 7-7,7 persen.
“Tidak tercapainya target RPJMN Tahun 2014 secara umum disebabkan karena pemerintah belum mampu memanfaatkan besarnya potensi ekonomi domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Peran konsumsi modal pemerintah yang terus menurun telah menghambat pencapaian pertumbuhan yang lebih baik”, paparnya saat menyampaikan pandangan Fraksi PKS atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2014 dalam Paripurna DPR RI.
Ecky menekankan kedepan pemerintah perlu mencari terobosan agar konsumsi modal pemerintah mampu menjadi stimulus pertumbuhan. Pemerintah perlu memperbaiki eksekusi belanja modal yang selalu dibawah 80 persen. Kedepan pemerintah juga perlu terus menjaga dan mengoptimalkan investasi atau pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) sebagai sumber pertumbuhan penting.
“Semakin membaiknya kinerja kedua sumber pertumbuhan tersebut akan memberikan nilai tambah yang lebih besar dalam perekonomian terutama untuk penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan. Hal ini juga sangat penting mengingat pertumbuhan ekonomi yang terlalu bergantung pada konsumsi masyarakat, bersifat autopilot, cenderung bersifat jangka pendek dan tidak berkualitas,” tegasnya.
Untuk menjaga Investasi atau PMTDB, Ecky menyampaikan, pemerintah perlu memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia yang terus merosot. Laporan The Global Competitiveness Report 2012-2013 yang disusun oleh World Economic Forum menyatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global dari peringkat ke 44 tahun 2011, menjadi peringkat 46 tahun 2012 dan menurun lagi menjadi peringkat ke 50 pada 2013.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Bank Dunia, di mana peringkat kemudahan bisnis di Indonesia terus mengalami penurunan. Peringkat doing business tahun 2013 kembali menurun ke posisi 129 dari posisi tahun 2012 pada peringkat 128, dan 2011 pada peringkat 126.
“Kondisi penurunan daya saing ini harus diatasi secara sungguh-sungguh”, tambahnya.
Sementara itu terkait dengan dua komponen permintaan lainnya yaitu, ekspor dan impor, dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang cenderung melemah dalam beberapa tahun terakhir, permintaan produk akan turun sehingga kontribusi ekspor juga akan melemah. Karena itu, dalam kebijakan ekspor, pembangunan industri nasional harus diprioritaskan terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai tambah produksi yang dihasilkan.
“Disisi lain pemerintah juga harus memfokuskan kebijakan pada peningkatan kemampuan industri nasional untuk memenuhi permintaan domestik, sehingga tercapai kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan impor,” lanjutnya.
Selain itu pertumbuhan ekonomi nasional cenderung bertumpu pada sektor-sektor ekonomi yang bersifat non tradable perlu diperbaiki. Sedangkan sektor tradable, yaitu sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan, belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal ketiga sektor tersebut bersifat padat karya dan merupakan kontributor terbesar perekonomian.
“Sejak beberapa tahun terakhir, pertumbuhan sektor tradable selalu berada di bawah pertumbuhan PDB. Hal ini juga menjadi penyebab pemerintah sulit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik,” tegasnya.
Dakwah dari Gn Merapi Hingga NTT
Posting Komentar