Senin, 18 Maret 2013

Home » » Terjadi Lompatan Harga Produk Pangan Sehingga Merugikan Rakyat

Terjadi Lompatan Harga Produk Pangan Sehingga Merugikan Rakyat

Rizal Ramli: Hapus Sistem Kuota Impor
Melambungnya harga berbagai bahan pangan akhir-akhir ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki strategi dan kebijakan yang jelas di sektor pangan. Hal ini diperparah lagi dengan adanya sistem kuota impor yang tidak transaparan, sehingga memicu terjadinya pat gulipat antara pejabat dan pengusaha penerima lisensi kuota impor yang merugikan rakyat.
“Kalau sistem kuota dihapuskan dan diganti dengan sistem tarif, dipastikan impor kita akan lebih kompetitif. Harga bahan pangan akan lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil. Saat ini, yang terjadi bukan kenaikan harga, tapi telah lompatan harga atau price jump, pada harga kebutuhan pangan,” kata Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli saat mengunjungi pasar induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (18/3).

Dalam beberapa waktu terakhir sejumlah kebutuhan pangan mengalami lompatan harga. Daging, misalnya, harganya berkisar Rp 80.00-90.000/kg, atau dua kali lebih mahal dibandingkan harga di luar negeri. Begitu juga dengan gula, kedelai, beras, dan lainnya. Bahkan harga bawang putih dan bawang merah sempat menembus Rp 100.000/kg. Kondisi ini tidak hanya membuat pusing ibu rumah tangga selaku konsumen, tapi juga para pedagang di pasar karena sulit menjual akibat terlalu mahal.

Menurut tokoh nasional yang dinobatkan sebagai calon presiden alternatif versi The President Centre ini, lompatan harga yang kini terjadi disebabkan bisnis pangan di Indonesia diatur dengan sistem kuota yang tidak transparan dan kompetitif. Pada praktiknya, pembagian kuota impor ini juga terjadi karena pat gulipat antara pejabat dan pengusaha. Hal ini menjadi sumber pendapatan pejabat dan untuk kepentingan politik. Akibatnya negara dirugikan karena tidak memperoleh penerimaan yang semestinya. Sedangkan rakyat dirugikan karena harus membayar harga pangan lebih mahal daripada harga di luar negeri.

Rizal yang mantan Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog) manyatakan kebijakan pengendalian pasok (demand management) yang selama ini diterapkan pemerintah terbukti tidak efektif. Sebaiknya digantikan dengan sistem pengendalian pasokan (supplay management). Selain itu, pemerintah harus all out memberikan insentif untuk menaikkan produksi.

Sehubungan dengan itu, selaku Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP), Rizal meminta Menteri Perdagangan untuk mengumumkan secara transaparan para penerima kuota impor, besarnya kuota yang diterima, dan keuntungan yang mereka peroleh yang selama ini mereka jadikan bancakan dengan para pejabat dan para politisi. Mereka juga harus menjelaskan mengapa harga pangan di dalam negeri dua kali lebih mahal dibandingkan harga di luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Mendag juga harus mengganti sistem kuota yang merugikan negara dan rakyat, dengan sistem tarif yang lebih transparan dan efisien.

“Sedangkan kepada Menteri Pertanian, saya minta segera mempertanggungjawabkan anggaran sektor pertanian yang dari tahun ke tahun terus naik, tapi tidak diikuti dengan kenaikan produksi. Mentan juga harus segera mengumumkan rencana tiga tahunan agar Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Rencana itu harus disertai dengan target-target kuantitatif dan jadwal pencapaian yang jelas. Ganti para penyuluh yang bergaya birokrat dan politisi dengan petugas penyuluh pertanian secara profesional,” ujar Rizal yang menjadi ikon tokoh perubahan nasional.

Dia juga minta agar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan investigasi dugaan adanya praktik kartel. Hal ini bisa dimulai dari penelusuran sistem pengalokasian kuota impor pangan yang telah merugikan rakyat. Jika memang terbukti ada praktik kartel, maka KPPU harus menjatuhkan sanksi tegas. Sedangkan bagi pejabat yang terbukti melakukian pat gulipat dalam alokasi kuota, harus diproses sesuai hukum yang berlaku.

Mantan Menkeu ini juga menyoroti rendahnya indeks pembangunan manusia (human development index/HDI) di Indonesia. Dari 187 negara yang dinilai, Indonesia berada di urutan 121. Posisi ini menempatkan Indonesia di bawah Thailand dan Filipina.  Sedangkan Malaysia jauh meninggalkan Indponesia di posisi 64. Bahkan Singapura dan Brunei Darussalam menduduki peringkat 18 dan 30.

Pertumbuhan ekonomi sekitar 6% ternyata tidak berdampak bagi perbaikan kesejahteraan sebagian besar rakyat Indonesia. Selain itu, pertumbuhan yang berkali-kali diklaim sebagai keberhasilan pemerintah, ternyata lebih banyak disebabkan naiknya harga komoditi (commodity booming) di pasar dunia yang lebih panjang daripada biasanya.  Fakta ini jelas menunjukkan pertumbuhan ekonomi terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. Tanpa dorongan konsumsi di dalam negeri dan commodity booming, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sekitar 4-4,5%.


Suzuki Ertiga Irit, Solusi Kenaikan BBM
Share this article :

Posting Komentar