Oleh Edy Mulyadi*
Para pejabat publik kita sering memaknai besarnya utang yang diperoleh sebagai tingginya kepercayaan kreditor kepada Indonesia. Paradigma seperti inilah yang menjadi penyebab utama kian menggelembungnya utang Indonesia. Majalah The Economist menulis sampai September 2012 saja, total utang negeri ini mencapai US$218,75. Dengan kurs Rp9.500/US$, jumlah ini setara dengan Rp2.078 triliun. Jumlah penduduk Indonesia kini sekitar 247 jiwa. Maka utang per kapita kita lebih dari Rp8,4 juta. Artinya, tiap penduduk Indonesia, termasuk bayi yang baru lahir, sudah harus menanggung utang yang mereka sama sekali tidak tahu-menahu Rp8,4 juta!
Pertanyaannya, benarkah banyaknya utang mengindikasikan besarnya kepercayaan seperti yang diklaim para pejabat publik kita? Ini adalah simplifikasi. Penyederhanaan masalah! Bicara soal utang dan kepercayaan memang menjadi sangat relatif. Kita harus lihat dulu berapa ‘harga’ atau dalam bahasa ekonominya cost of money utang itu. ‘Harga’ utang diukur dengan besarnya bunga yang dibayar. Semakin tinggi bunganya, maka semakin mahal cost of money-nya. Begitu juga sebaliknya.
Bunga supermahal dianggap prestasi
Pada kasus Indonesia, jangan buru-buru berpendapat besarnya utang terjadi karena besarnya kepercayaan negara-negara atau lembaga-lembaga kreditor. Tapi hal itu lebih banyak disebabkan tingginya bunga yang dibayarkan pemerintah kita. Ketika Sri Mulyani Indrawati (SMI) jadi Menteri Keuangan, misalnya, dia rajin mencari pinjaman dengan menawarkan bunga supertinggi.
Pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond di New York sebesar US$2 miliar dengan tenor 10 tahun. Bunga yang diberikan 6,95%. Ini bunga obligasi negara tertinggi yang diberikan oleh negara ASEAN. Sebagai perbandingan, suku bunga global bond yang diterbitkan Malaysia waktu itu cuma 3,86%, Thailand 4,8%. Bahkan Filipina, yang selama ini dikenal sebagai The Sick Man in Asia, bunganya hanya 6,51%.
Yang lebih hebat lagi, pada 2009, untuk menambal defisit APBN, Sri Mulyani kembali menerbitkan global bond senilai US$3 miliar. Global bond itu terbagi dua; US$2 miliar berjangka waktu 10 tahun dengan bunga 11,75% dan US$1 miliar berjangka waktu 5 tahun berbunga 10,5%. Pada saat yang sama, Filpina menangguk dana dari pasar internasional sebesar US$1,5 miliar dengan bunga 8,5% saja! Bunga obligasi Indonesia hanya kalah oleh Pakistan --negara yang kerap diguncang ledakan bom-- yang 12,5%.
Penjualan obligasi dengan bunga supertinggi itu tentu saja laris-manis. Investor asing giat memburu obligasi Indonesia. Menurut data Asia Bond Online yang dirilis Asian Development Bank (ADB), Indonesia tertinggi dalam hal komposisi dana asing dalam bentuk obligasi di ASEAN. Data itu menjukkan, aliran dana asing yang masuk ke Indonesia mencapai 29,65%. Posisi kedua dan ketiga masing-masing ditempati Malaysia (28%) dan Thailand (15%). Sedangkan Korsel justru turun dari 11% menjadi 10%. Sementara Jepang komposisi penguasaan asing atas obligasi negaranya hanya 9%.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan malah lebih mengerikan lagi. Sampai pertengahan maret 2013, porsi asing di pasar surat berharga negara (SBN) telah mencapai Rp285 triliun atau 33% dari total SBN senilai Rp854 triliun. Gampang ditebak, terus menggelembungnya komposisi asing dalam penguasaan obligasi Indonesia adalah karena bunga yang ditawarkan memang amat menggiurkan. Sebalinya, alasan melorotnya komposisi asing di Korsel dan Jepang, karena bunga yang pemerintah ditawarkan relatif rendah.
Bunga obligasi yang supertinggi itu jelas sangat merugikan negara. Bunganya pasti membebani APBN, dan juga memaksa korporasi Indonesia membayar bunga obligasi yang lebih tinggi lagi karena obligasi negara merupakan benchmark.
Disukai ‘pasar’
Tingginya bunga obligasi yang ditawarkan membuat surat utang pemerintah Indonesia laris dibeli asing. Sri Mulyani pun dipuji-puji investor asing. Berbagai penghargaan pun mengalir deras kepadanya. Salah satu penghargaan itu adalah, Menkeu Terbaik Asia diberikan harian ekonomi Emerging Markets pada 2008. Majalah Euromoney bahkan mengganjar SMI sebagai Menkeu Terbaik Dunia. Setiap tahun Emerging Markets memang selalu memberi penghargaan bertepatan dengan sidang tahunan IMF dan Bank Dunia. Responden yang menjadi sumber penilaiannya adalah para bankir, analis, dan investor.
Menurut Emerging Markets, salah satu alasan utama SMI dipilih sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia karena dia merupakan figur utama yang mendorong reputasi Indonesia sebagai outstanding borrower of the year untuk kawasan Asia. Dilihat dari nara sumber yang jadi responden dan kriteria penilaian yang ditetapkan, Sri Mulyani menyandang Menkeu Terbaik Asia/Dunia karena bisa ”menyenangkan” pasar. Bukan karena pertimbangan bagi perbaikan dan kemajuan ekonomi Indonesia.
Pujian dan penghargaan pasar tidak jatuh kepada Menkeu yang sukses membawa ekonomi negaranya terbang ke langit. China, misalnya, hanya dalam tempo 20 tahun telah menjadi raksasa ekonomi terdahsyat dengan jumlah cadangan devisa mencapai US$3,2 triliun. Tapi, tidak seorang pun Menkeu China yang meraih ‘anugrah’ sebagai Menkeu terbaik Asia, apalagi dunia. Begitu juga dengan para Menkeu yang berhasil membawa rakyat mereka menjadi sejahtera. Jepang, Korsel, atau Malaysia, misalnya. Bahkan, jangan pernah berharap penghargaan serupa akan jatuh kepada Menkeu Brazil, Venezuela atau Bolivia yang garang terhadap kepentingan kapitalisme global namun sukses mendongkrak kesejahteraan rakyatnya. Padahal, Brazil mampu mengerek perekonomiannya hanya dalam tempo delapan tahun!
Masih ingat dengan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles? Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Belanda yang berkuasa tahun 1800an ini sukses menaklukkan raja-raja di Nusantara tanpa harus mengerahkan pasukan dan peralatan tempur yang dahsyat. Dia cukup membanjiri para raja tersebut dengan berbagai hadiah dan penghargaan alias gelar. Setiap berkunjung ke kerajaan tertentu, dia membawa hadiah-hadiah berupa kain sutera, porselin indah, dan pelbagai cinderamata kelas satu lainnya. Dia juga mengobral gelar dan anugrah kepada para raja, lengkap dengan medali yang disematkan di baju kebesaran mereka. Setelah itu, apa pun yang Inggris minta, raja-raja Nusantara itu dengan rela memberikan.
Sukses ini pula yang belum lama ini diulang kembali. Saat berkunjung ke Inggris November 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat gelar Knight Grand Cross in the Order of Bath dari Elizabeth II. Setelah itu, proyek LNG Tangguh pun diberikan ke British Petrolium (BP), milik perusahaan Inggris.
Jadi, jangan terkecoh dengan pujian dan penghargaan yang diobral negara-negara kapitalis-liberal. Karena sejatinya, berbagai pujian dan penghargaan itu memang sengaja diberikan, agar pejabat publik kita menuruti semua keinginan mereka. Tidak peduli kalau tindakan itu harus mengorbankan kepentingan rakyat. Lewat pujian dan bermacam anugrah yang mereka berikan, kapitalisme asing bisa memperoleh pelbagai konsesi dan keistimewaan untuk terus menjarah sumber daya alam (SDA) Indonesia. (*)
Jakarta, 17 Maret 2013
* Edy Mulyadi
Mantan Wakil Pemimpin Redaksi sebuah majalah ekonomi
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Suzuki Ertiga Irit, Solusi Kenaikan BBM
Para pejabat publik kita sering memaknai besarnya utang yang diperoleh sebagai tingginya kepercayaan kreditor kepada Indonesia. Paradigma seperti inilah yang menjadi penyebab utama kian menggelembungnya utang Indonesia. Majalah The Economist menulis sampai September 2012 saja, total utang negeri ini mencapai US$218,75. Dengan kurs Rp9.500/US$, jumlah ini setara dengan Rp2.078 triliun. Jumlah penduduk Indonesia kini sekitar 247 jiwa. Maka utang per kapita kita lebih dari Rp8,4 juta. Artinya, tiap penduduk Indonesia, termasuk bayi yang baru lahir, sudah harus menanggung utang yang mereka sama sekali tidak tahu-menahu Rp8,4 juta!
Pertanyaannya, benarkah banyaknya utang mengindikasikan besarnya kepercayaan seperti yang diklaim para pejabat publik kita? Ini adalah simplifikasi. Penyederhanaan masalah! Bicara soal utang dan kepercayaan memang menjadi sangat relatif. Kita harus lihat dulu berapa ‘harga’ atau dalam bahasa ekonominya cost of money utang itu. ‘Harga’ utang diukur dengan besarnya bunga yang dibayar. Semakin tinggi bunganya, maka semakin mahal cost of money-nya. Begitu juga sebaliknya.
Bunga supermahal dianggap prestasi
Pada kasus Indonesia, jangan buru-buru berpendapat besarnya utang terjadi karena besarnya kepercayaan negara-negara atau lembaga-lembaga kreditor. Tapi hal itu lebih banyak disebabkan tingginya bunga yang dibayarkan pemerintah kita. Ketika Sri Mulyani Indrawati (SMI) jadi Menteri Keuangan, misalnya, dia rajin mencari pinjaman dengan menawarkan bunga supertinggi.
Pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond di New York sebesar US$2 miliar dengan tenor 10 tahun. Bunga yang diberikan 6,95%. Ini bunga obligasi negara tertinggi yang diberikan oleh negara ASEAN. Sebagai perbandingan, suku bunga global bond yang diterbitkan Malaysia waktu itu cuma 3,86%, Thailand 4,8%. Bahkan Filipina, yang selama ini dikenal sebagai The Sick Man in Asia, bunganya hanya 6,51%.
Yang lebih hebat lagi, pada 2009, untuk menambal defisit APBN, Sri Mulyani kembali menerbitkan global bond senilai US$3 miliar. Global bond itu terbagi dua; US$2 miliar berjangka waktu 10 tahun dengan bunga 11,75% dan US$1 miliar berjangka waktu 5 tahun berbunga 10,5%. Pada saat yang sama, Filpina menangguk dana dari pasar internasional sebesar US$1,5 miliar dengan bunga 8,5% saja! Bunga obligasi Indonesia hanya kalah oleh Pakistan --negara yang kerap diguncang ledakan bom-- yang 12,5%.
Penjualan obligasi dengan bunga supertinggi itu tentu saja laris-manis. Investor asing giat memburu obligasi Indonesia. Menurut data Asia Bond Online yang dirilis Asian Development Bank (ADB), Indonesia tertinggi dalam hal komposisi dana asing dalam bentuk obligasi di ASEAN. Data itu menjukkan, aliran dana asing yang masuk ke Indonesia mencapai 29,65%. Posisi kedua dan ketiga masing-masing ditempati Malaysia (28%) dan Thailand (15%). Sedangkan Korsel justru turun dari 11% menjadi 10%. Sementara Jepang komposisi penguasaan asing atas obligasi negaranya hanya 9%.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan malah lebih mengerikan lagi. Sampai pertengahan maret 2013, porsi asing di pasar surat berharga negara (SBN) telah mencapai Rp285 triliun atau 33% dari total SBN senilai Rp854 triliun. Gampang ditebak, terus menggelembungnya komposisi asing dalam penguasaan obligasi Indonesia adalah karena bunga yang ditawarkan memang amat menggiurkan. Sebalinya, alasan melorotnya komposisi asing di Korsel dan Jepang, karena bunga yang pemerintah ditawarkan relatif rendah.
Bunga obligasi yang supertinggi itu jelas sangat merugikan negara. Bunganya pasti membebani APBN, dan juga memaksa korporasi Indonesia membayar bunga obligasi yang lebih tinggi lagi karena obligasi negara merupakan benchmark.
Disukai ‘pasar’
Tingginya bunga obligasi yang ditawarkan membuat surat utang pemerintah Indonesia laris dibeli asing. Sri Mulyani pun dipuji-puji investor asing. Berbagai penghargaan pun mengalir deras kepadanya. Salah satu penghargaan itu adalah, Menkeu Terbaik Asia diberikan harian ekonomi Emerging Markets pada 2008. Majalah Euromoney bahkan mengganjar SMI sebagai Menkeu Terbaik Dunia. Setiap tahun Emerging Markets memang selalu memberi penghargaan bertepatan dengan sidang tahunan IMF dan Bank Dunia. Responden yang menjadi sumber penilaiannya adalah para bankir, analis, dan investor.
Menurut Emerging Markets, salah satu alasan utama SMI dipilih sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia karena dia merupakan figur utama yang mendorong reputasi Indonesia sebagai outstanding borrower of the year untuk kawasan Asia. Dilihat dari nara sumber yang jadi responden dan kriteria penilaian yang ditetapkan, Sri Mulyani menyandang Menkeu Terbaik Asia/Dunia karena bisa ”menyenangkan” pasar. Bukan karena pertimbangan bagi perbaikan dan kemajuan ekonomi Indonesia.
Pujian dan penghargaan pasar tidak jatuh kepada Menkeu yang sukses membawa ekonomi negaranya terbang ke langit. China, misalnya, hanya dalam tempo 20 tahun telah menjadi raksasa ekonomi terdahsyat dengan jumlah cadangan devisa mencapai US$3,2 triliun. Tapi, tidak seorang pun Menkeu China yang meraih ‘anugrah’ sebagai Menkeu terbaik Asia, apalagi dunia. Begitu juga dengan para Menkeu yang berhasil membawa rakyat mereka menjadi sejahtera. Jepang, Korsel, atau Malaysia, misalnya. Bahkan, jangan pernah berharap penghargaan serupa akan jatuh kepada Menkeu Brazil, Venezuela atau Bolivia yang garang terhadap kepentingan kapitalisme global namun sukses mendongkrak kesejahteraan rakyatnya. Padahal, Brazil mampu mengerek perekonomiannya hanya dalam tempo delapan tahun!
Masih ingat dengan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles? Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Belanda yang berkuasa tahun 1800an ini sukses menaklukkan raja-raja di Nusantara tanpa harus mengerahkan pasukan dan peralatan tempur yang dahsyat. Dia cukup membanjiri para raja tersebut dengan berbagai hadiah dan penghargaan alias gelar. Setiap berkunjung ke kerajaan tertentu, dia membawa hadiah-hadiah berupa kain sutera, porselin indah, dan pelbagai cinderamata kelas satu lainnya. Dia juga mengobral gelar dan anugrah kepada para raja, lengkap dengan medali yang disematkan di baju kebesaran mereka. Setelah itu, apa pun yang Inggris minta, raja-raja Nusantara itu dengan rela memberikan.
Sukses ini pula yang belum lama ini diulang kembali. Saat berkunjung ke Inggris November 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat gelar Knight Grand Cross in the Order of Bath dari Elizabeth II. Setelah itu, proyek LNG Tangguh pun diberikan ke British Petrolium (BP), milik perusahaan Inggris.
Jadi, jangan terkecoh dengan pujian dan penghargaan yang diobral negara-negara kapitalis-liberal. Karena sejatinya, berbagai pujian dan penghargaan itu memang sengaja diberikan, agar pejabat publik kita menuruti semua keinginan mereka. Tidak peduli kalau tindakan itu harus mengorbankan kepentingan rakyat. Lewat pujian dan bermacam anugrah yang mereka berikan, kapitalisme asing bisa memperoleh pelbagai konsesi dan keistimewaan untuk terus menjarah sumber daya alam (SDA) Indonesia. (*)
Jakarta, 17 Maret 2013
* Edy Mulyadi
Mantan Wakil Pemimpin Redaksi sebuah majalah ekonomi
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Suzuki Ertiga Irit, Solusi Kenaikan BBM
Posting Komentar