Mafaza-Online | Setiap kali Abdurrahman mengunjungi masing-masing wilayah, tak lupa beliau mengadakan pertemuan dengan para pimpinan angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh masyarakat. Beliau memperhatikan dan mencatat pandangan dan usul-usul mereka. Beliau lebih banyak mendengarkan tanggapan dalam pertemuan-pertemuan itu daripada berbicara.
Pertemuan serupa juga digelar untuk para pemuka zhimmi yang terikat perjanjian dengan muslimin. Tak jarang dia bertanya sampai mendetail hal ihwal negeri dan pimpinan mereka.
Abdurrahman al-Ghafiqi pernah mengundang seorang zhimmi keturunan Prancis yang terikat perjanjian. Di antara isi perbincangan tersebut adalah sebagai berikut.
Abdurrahman bertanya, “Mengapa raja kalian, Syarl tidak turun untuk membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan kami?” Zhimmi itu menjawab, “Wahai gubernur, Anda telah menepati janji-janji kepada kami. Anda berhak kami percayai dan kami akan menjawab dengan jujur segala yang Anda tanyakan.
Sesungguhnya panglima besar Anda, Musa bin Nushair telah berhasil menguasai seluruh Spanyol. Kemudian dia ingin melintasi pegunungan Pyrenees yang memisahkan Spanyol dengan negeri kami yang indah.
Maka raja-raja kecil dan para rahib itu menghadap raja kami dan berkata: “Kehinaan apa yang akan menimpa kita, wahai maha raja? Kami mendengar tentang kaum muslimin dan mengira mereka akan datang dari arah Timur, namun ternyata mereka muncul dari arah Barat dan langsung menguasai Spanyol.
Padahal negeri ini memiliki persenjataan dan pertahanan yang kuat. Kini mereka mulai merayap di gunung-gunung yang membatasi Spanyol dengan negeri kita. Sebenarnya jumlah mereka kecil, persenjataan sedikit dan kebanyakan tidak memiliki pakaian perang yang bisa melindungi tubuh dari sabetan pedang atau kuda-kuda gagah untuk ditunggangi di medan tempur.”
Silakan Klik:
Hanya dengan Rp 50.000 Anda sudah ikut berdakwah
Kemudian maha raja berkata, “Masalah ini sudah saya pikirkan secara mendalam dan saya mengira untuk saat ini kita tidak perlu menghadapi mereka secara langsung. Mereka orang-orang bermental baja, bagaikan gelombang besar yang menyapu semua penghalang dan mencampakkannya kemana dia suka.
Selain itu, mereka adalah kaum yang memiliki akidah yang kokoh sehingga tak menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka punya iman dan kejujuran yang jauh lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian perang atau kuda. Oleh karena itu, lebih baik kita membiarkan mereka, kaum muslimin terus menumpuk harta dan ghanimah, lalu membangun rumah dan gedung-gedung serta melipatgandakan jumlah budak laki-laki dan perempuan dan lihatlah, mereka pasti akan berebut kekuasaan. Pada saat itu kita bisa menaklukkan mereka dengan mudah tanpa banyak pengorbanan..”
Tersentaklah Abdurrahman al-Ghafiqi, sedih rasanya mendengar berita itu. Dia menghela nafas dalam-dalam kemudian membubarkan majelis seiring dengan masuknya waktu shalat.
Dua tahun penuh Abdurrahman al-Ghafiqi mempersiapkan diri untuk menyongsong perang besar itu. Beliau membentuk kesatuan-kesatuan prajurit dan tak henti-hentinya membakar gelora jihad mereka. Di samping itu, beliau juga meminta bantuan kepada para pemimpin Islam di Afrika untuk mengirim prajurit-prajurit mereka yang memiliki nyali jihad dan rindu syahid.
Setelah itu, beliau mengutus Utsman bin Abi Nus’ah amir penajga perbatasan untuk menyibukkan musuh dengan serangan-serangan sporadis sambil menunggu pasukan inti yang dipimpin oleh Abdurrahman al-Ghafiqi tiba di medan perang.
Akan tetapi, ternyata pilihan Abdurrahman al-Ghafiqi keliru. Utsman bin Abi Nus’ah adalah orang yang ambisius tetapi berwatak lemah. Jarak yang jauh dari pemimpinnya membuka peluang baginya untuk melakukan langkah-langkah yang bisa mengangkat namanya tanpa mempedulikan persoalan lainnya. Dia bahkan menculik putri Duke Octania bernama Minin, seorang putri yang amat jelita. Dalam dirinya terkumpul kecantikan, kebangsawanan, usia belia, dan kekayaan sebagai penghuni istana.
Tak heran bila Utsman bin Abi Nus’ah akhirnya tergila-gila padanya dan memberikan perhatian berlebih dibanding kepada seorang istri. Putri itu mengusulkan agar Utsman bin Abi Nus’ah mengadakan perjanjian damai dengan Duke Octania disertai jaminan bahwa ayah Minin itu aman dari serangan prajurit Islam.
Begitulah, tatkala tiba perintah Abdurrahman al-Ghafiqi untuk menyerbu wilayah kekuasaan Duke Octania, rasa bimbang menyelimuti hati Ibnu Abi Nus’ah. Dia tak tahu harus berbua apa, tapi kemudian dia membujuk agar Abdurrahman al-Ghafiqi membatalkan perintahnya. Dia benar-benar tak sanggup mengkhianati janjinya terhadap ayah mertuanya sebelum habis masanya.
Bukan main berangnya Abdurrahman al-Ghafiqi begitu mengetahui duduk perkaranya. Melalui utusan, beliau berpesan kepada Utsman bin Abi Nus’ah. “Perjanjian yang Anda lakukan tanpa seizin pemimpin adalah tidak sah, maka tak ada keharusan bagi prajurit Islam untuk mematuhinya. Sekarang laksanakan perintahku segera, seranglah musuh sekarang juga!”
Ibnu Abi Nus’ah merasa putus asa karena gagal melunakkan sikap gubernurnya. Dia bersegera mengirim utusan kepada ayah metuanya untuk memberitahukan apa yang terjadi dan memperingatkan agar waspada terhadap pasukan kaum muslimin.
Namun sayang, mata-mata Abdurrahman al-Ghafiqi yang selalu mengawasi gerak-geriknya mengetahui hal itu dan melaporkan hubungan Utsman bin Abi Nus’ah dengan musuh kepada Abdurrahman al-Ghafiqi. Segera setelah itu, al-Ghafiqi mengirimkan pasukan khususnya yang tangguh di bawah komando Mujahid untuk membawa Utsman bin Abi Nus’ah, hidup atau mati.
Serangan dilakukan secara mendadak. Operasi itu nyaris berhasil, namun Utsman bin Abi Nus’ah berhasil meloloskan diri dari kepungan. Dia lari ke gunung disertai beberapa orang, demikian pula dengan Minin, istri cantiknya yang tak bisa lagi dipisahkan darinya.
Hal itu tidak membuat prajurit Islam patah arang. Mereka terus mengejar dan akhirnya berhasil menyudutkan pengkhianat itu di suatu tempat. Akhirnya, Utsman bin Abi Nus’ah mempertahankan diri habis-habisan. Dia tewas karena banyaknya tusukan tombak dan sabetan pedang yang melukai tubuhnya. Mayatnya segera dikirim kepada Abdurrahman al-Ghafiqi bersama istrinya.
Begitu melihat Minin, Abdurrahman al-Ghafiqi segera memalingkan wajahnya. Wanita itu memang cantik luar biasa. Selanjutnya dia dikirim ke Damaskus untuk diserahkan kepada khalifah. Maka tamatlah riwayat wanita Prancis itu di istana Umawiyah di Damaskus.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009 | Kisah Muslim
Bagian 1 👇
ABDURRAHMAN AL GHAFIQI TABIIN GUBERNUR ANDALUSIA Komandan yang Muncul dari Pertempuran (1)
Silakan Klik
Lengkapi Kebutuhan Anda
Posting Komentar