Seorang pemimpin hendaknya bersikap tenang dalam situasi mencemaskan, bahkan genting sekalipun. Ketika pemimpin kalut, maka rakyat pun semakin bingung.
Mafaza-Online | Keberanian adalah sifat terpuji yang banyak diinginkan. Walaupun tidak semua orang memiliki keberanian. Berani tak melulu maju bergerak mengambil tindakan. Karena mengalah pun bisa menaklukkan.
Sulit kita temukan seseorang yang begitu sempurna. Bersifat santun dan lemah lembut, namun juga memiliki keberanian. Pemaaf juga memiliki ketegasan. Berkasih sayang sekaligus juga seorang pejuang di medan perang. Kalau ada orang yang mampu mengompromikan sifat-sifat yang terlihat bertentangan ini dengan sempurna, maka dialah Muhammad bin Abdullah ﷺ.
Kita mengenal Nabi Muhammad ﷺ dengan kesantunannya, dengan kerendahan hatinya, dengan kasih sayangnya, sekarang mari kita kenal juga beliau ﷺ dengan keberaniannya.
Keberanian di Medan Perang
Datang ke medan perang, sudah menunjukkan bagaimana kuatnya mental dan keberanian seseorang. Banyak kaki yang gemetar, hati-hati yang kokoh sekejap menjadi pudar, karena batas kehidupan dan kematian begitu dekat. Antara perisai dan sebilah pedang. Terlebih perang jarak dekat. Bertatap muka dengan musuh. Setiap kayuhan pedang musuh adalah kesempatan hidup atau jemputan ajal.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kuperhatikan diri kami saat Perang Badar. Kami berlindung pada Rasulullah ﷺ. Beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh dan orang yang paling banyak ditimpa kesulitan”. (Riwayat Ahmad 619 dan Ibnu Abi Syaibah 32614).
Dari Ibnu Ishaq, ada seseorang bertanya kepada al-Bara’ bin Azib radhillahu ‘anhu, “Apakah kalian lari dari sisi Rasulullah ﷺ di Perang Hunain?” al-Bara’ menjawab, “(Ya) Akan tetapi Rasulullah ﷺ tidak berlari mundur, walaupun orang-orang Hawazin adalah pemanah handal. Ketika menghadapi mereka, awalnya kami berhasil memukul mundur mereka.
Orang-orang pun berpaling menuju harta rampasan perang. Ternyata, mereka (suku Hawazin), dengan tiba-tiba menghujani kami dengan anak panah sehingga orang-orang (para sahabat) kalah. Aku menyaksikan Rasulullah ﷺ bersama Abu Sufyan bin Harits yang memegang tali kendali keledai putih beliau. Beliau meneriakkan,
أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبْ أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبْ
“Aku seorang nabi tidak dusta. Aku putra Abdul Muththalib.” (HR. al-Bukhari 2709 dan Muslim 1776).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya, “Ini adalah puncak keberanian yang sempurna. Dalam keadaan perang sengit, pasukan tengah terpukul mundur, dan hanya dengan menunggangi keledai, hewan yang tidak bisa berlari kencang, tidak mampu dipakai bergerak maju mundur untuk menyerang atau melarikan diri, beliau menerobos musuh sambil meneriakkan nama beliau.
Hal itu, agar orang yang tidak mau mengenal beliau sampai hari Kiamat sudah tahu tentang beliau…” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/357).
Ya, beliau sebut namanya di tengah keadaan sengit itu, seolah hendak menegaskan ‘Akulah nabi putra Abdul Muthalib yang kalian cari itu’. Sedikit pun beliau tidak gentar.
Menantang Tokoh-Tokoh Quraisy
Urwah bin az-Zubair bertanya kepada Abdullah bin Amr bin al-Ash, “Berapa sering engkau lihat orang-orang Quraisy mengintimidasi Rasulullah ﷺ karena ia menampakkan permusuhannya?” Abdullah bin Amr berkata, “Aku pernah melihat dalam sebuah majelis mereka, pada suatu hari pembesar-pembesar mereka berkumpul di Hijir Isma’il. Mereka memperbincangkan Rasulullah ﷺ.
Mereka berkata, “Kita tidak pernah melihat kesabaran kita dalam menghadapi sesuatu, lebih besar kecuali terhadap orang ini (Muhammad ﷺ). Ia menganggap bodoh orang-orang pintar kita, menghina bapak-bapak kita, mencela agama kita, memecah belah persatuan kita, dan mencela Tuhan-Tuhan kita. Sungguh kita telah sabar kepadanya atas suatu perkara yang besar,” atau, sebagaimana yang mereka katakan.
“Ketika mereka sedang berbincang-bincang seperti itu, muncullah Rasulullah ﷺ berjalan. Beliau mengusap rukun Yamani. Sambil mengelilingi Baitullah, beliau melewati mereka. Ketika mereka melihat Nabi ﷺ, lewat mereka menghinanya dengan kata-kata mereka.”
Abdullah bin Amr melanjutkan, “Aku mengetahui hal itu dari ekspresi wajah beliau. Kemudian beliau berlalu. Ketika beliau melewati mereka untuk kali kedua, mereka kembali mencelanya seperti semula. Dan aku bisa mengetahui hal itu dari wajahnya. Beliau tetap berlalu (tidak memperdulikannya). Lalu beliau melewati mereka untuk kali ketiga, mereka kembali mencelanya seperti semula. Maka Rasulullah ﷺ bersabda,
تَسْمَعُونَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، أَمَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِالذَّبْحِ
“Dengarlah wahai orang-orang Quraisy, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya, sungguh aku datang untuk menyembelih kalian!!”
Maka kata-kata itu menjadikan mereka ngeri. Sehingga, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali seakan-akan di atas kepalanya ada seekor burung yang hinggap”. (HR. Ahmad 6739).
Begitulah saking terdiamnya, burung pun bisa hinggap karena mengira mereka patung.
Keberanian Yang Menenangkan
Seorang pemimpin hendaknya bersikap tenang dalam situasi mencemaskan, bahkan genting sekalipun. Ketika pemimpin kalut, maka rakyat pun semakin bingung.
Suatu hari, ada suara gaduh menyentak Kota Madinah. Penduduknya pun terkejut, khawatir, dan bertanya-tanya apa gerangan yang menimpa kota.
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَشْجَعَ النَّاسِ وَلَقَدْ فَزِعَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَانْطَلَقَ نَاسٌ قِبَلَ الصَّوْتِ فَتَلَقَّاهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاجِعًا وَقَدْ سَبَقَهُمْ إِلَى الصَّوْتِ وَهُوَ عَلَى فَرَسٍ ِلأَبِي طَلْحَةَ عُرِيَ فِي عُنُقِهِ السَّيْفُ وَهُوَ يَقُولُ لَمْ تُرَاعُوا لَمْ تُرَاعُوا, قَالَ وَجَدْنَاهُ بَحْرًا أَوْ إِنَّهُ لَبَحْرٌ قَالَ وَكَانَ فَرَسًا يُبَطَّأُ
Dari Anas binMalik radhiyallahu ‘anhu,ia berkata: Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling berbudi tinggi, dermawan, dan pemberani. Pernah di suatu malam, penduduk Madinah dikejutkan oleh suara yang sangat dahsyat. Orang-orang kemudian berangkat menuju ke arah suara tersebut.
Rasulullah ﷺ bertemu mereka saat hendak kembali pulang. Ternyata beliau telah mendahului mereka menuju ke arah suara tersebut. Waktu itu beliau naik kuda milik Abu Thalhah, di lehernya terkalung sebuah pedang.
Beliau bersabda, ‘Kalian tidak perlu takut, kalian tidak perlu takut’.
Anas berkata, ‘Kami mendapatkan kuda tersebut cepat larinya padahal sebelumnya adalah kuda yang lambat berlari’.” (Shahih Muslim 2307-48).
Beliau orang terdepan yang melindungi rakyatnya dari ancaman bahaya. Kemudian menenangkan mereka di saat mereka takut dan kebingungan.
Silakan Klik
Lengkapi Kebutuhan Anda
Posting Komentar