Selasa, 12 September 2017

Home » , , » Halimah Yacob, Muslimah Melayu Pertama Jadi Presiden Singapura

Halimah Yacob, Muslimah Melayu Pertama Jadi Presiden Singapura

Mafaza-Online | Singapura punya presiden baru, yaitu Halimah Yacob (63). Dia menjadi orang dari minoritas melayu dan muslimah pertama yang menjadi presiden di negara maju kawasan Asia Tenggara tersebut. Sebelumnya, Halimah merupakan mantan ketua parlemen di negeri tersebut.

Halimah dilantik menjadi presiden pada hari Rabu (13/9), dan mulai mennempati kantor kepresidenan keesokan harinya. Ia memiliki hampir seluruh kriteria yang ditetapkan untuk mengikuti pemilihan.

Wanita melayu ini sebagai juru bicara di parlemen selama lebih dari tiga tahun. Ia mengalahkan empat kandidat lainnya yang mana  dua diantaranya mewakili etnis non-melayu dan dua lainnya tidak memenuhi kelayakan.

Tak lama setelah pengumuman tersebut, calon presiden Mohamed Salleh Marican dan Farid Khan mengkonfirmasi bahwa permohonan mereka telah ditolak. Halimah mengatakan Departemen Pemilihan (ELD) atau semacam Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan sertifikat kelayakan kepadanya, yang membuka jalan baginya untuk ikut serta dalam Pemilu Presiden.

"Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya berjanji untuk melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk melayani masyarakat Singapura dan itu tidak berubah apakah ada pemilihan atau tidak ada pemilihan," katanya kepada wartawan yang berkumpul di ELD.

Dengan terpilihnya Halimah Yacob maka lebih banyak lagi orang Melayu memegang jabatan politik, dan beberapa di antaranya dari kalangan dunia usaha. Masa jabatan enam tahun Presiden Tony Tan berakhir pada 31 Agustus 2017.

Orang Melayu terakhir yang memegang kursi kepresidenan adalah Yusof Ishak. Gambar dirinya menghiasi uang kertas negara tersebut. Yusof adalah presiden antara tahun 1965 dan 1970 atau pada awal-awal kemerdekaan Singapura, dimana kekuasaan eksekutif pemerintahan terletak pada Lee Kuan Yew selaku perdana menteri pertama negara tersebut.

Pemisahan Singapura dari Malaysia membuat etnis Melayu menjadi minoritas, sementara etnis Tionghoa membentuk mayoritas di Singapura. Namun, para pemimpin kedua negara mengakui bahwa perdamaian dan kemakmuran bergantung pada pelestarian harmoni antara kedua kelompok.

Halimah dulunya anggota Partai Aksi Rakyat (PAP), dia adalah Ketua Parlemen yang kesembilan, menjabat dari Januari 2013 sampai Agustus 2017. Dia adalah Anggota Parlemen (MP) yang mewakili Konstituensi Perwakilan Jurong Group antara tahun 2001 dan 2015, dan Konferensi Demokrasi Kelompok Marsiling-Yew Tee pada tahun 2015 dan 2017.

Halimah juga tercata aktif di Kongres Serikat Perdagangan Nasional pada 1978 dan mengasah kematangan berorganisasinya selama 30 tahun hingga memegang jabatan wakil sekretaris jenderal.
Istri Mohamed Abdullah Alhabshee yang juga ibu lima orang anak ini juga pernah terpilih sebagai Menteri Negara untuk Departemen Pengembangan Masyarakat, Pemuda, dan Olahraga pada 2011.  

Pada tanggal 7 Agustus 2017, dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai juru bicara parlemen dan dari keanggotaannya di PAP, untuk menjadi kandidat untuk pemilihan presiden Singapura 2017. Halimah memenangkan kursi kepresidenan setelah dinyatakan sebagai satu-satunya kandidat yang memenuhi syarat untuk jabatan tersebut.

Berbagai spekulasi muncul. Ini dianggap sebagai jalan Singapura untuk mengambil alih kepemimpinan kawasan Asean, dengan memberi contoh minoritas bisa jadi presiden, sekaligus meredam keresahan minoritas muslim melayu sejak maraknya genosida minoritas muslim rohingya di Myanmar.

"Dengan terpilihnya seorang wanita muslim dari etnik minoritas melayu, ini bisa jadi strategi Singapura memperkuat bangunan politik persatuan yang selama ini telah ditanamkan oleh Lee Kuan Yew, yaitu menghindari semaksimal mungkin terjadinya gesekan akibat dominasi mayoritas, yang bisa saja meletus karena terpicu oleh kejadian di negara lain," terang Ketua Bidang Propaganda Perisai Berkarya (organisasi sayap Partai Berkarya), Mahar Prastowo. 

Menurutnya, Singapura telah mengambil langkah tepat dengan memilih seorang melayu, apalagi wanita muslim, untuk menjadi presiden. Disamping untuk menghilangkan kecurigaan adanya kesenjangan yang terkondisi - yang mengemuka sejak 2013, juga untuk menghilangkan keresahan minoritas akibat peristiwa di negara tetangga, Myanmar.

"Kecurigaan dan keresahan minoritas ini terjadi sejak tahun 2013 dengan munculnya data kesenjangan di bidang ekonomi dan bidang-bidang lain seperti serapan tenaga kerja, pendidikan, pelarangan jilbab dan sebagainya. Sampai kemudian pemerintah Singapura merasa perlu berulangkali memutar film berjudul 1965, yang bercerita tentang bagaimana Lee Kuan Yew berjuang mempersatukan multi etnik menjadi satu, Singapura, ketika mereka bertekad mendirikan negara sendiri terpisah dari Malaysia," ungkap Mahar.

[re/ts/fn]

Share this article :

Posting Komentar