Kalau saja sebagai pendisain
APBN Ani punya keberpihakan kepada rakyat Indonesia, tentu dia tidak akan
mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk membayar cicilan pokok dan
bunga utang
Oleh Edy Mulyadi*
Edy Mulyadi |
Paragraf di atas saya kutip
dari penjelasan panjang lebar Nufransa Wira Sakti di salah satu grup whats
up. Si penulis bukanlah orang sembarangan. Dia Kepala Biro Komunikasi &
Layanan Informasi Kementerian Keuangan. Jabatan Eselon 2 yang lumayan
mentereng.
Dengan tulisan itu Nufransa
menjawab Iramawati Oemar yang bertanya kepada Menkeu tentang utang negara, dana
haji, dan gaji PNS. Sebagai pejabat Humas, wajar saja kalau dia menjadi Jubir
bosnya, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI)
Setahu saya, Irmawati Oemar
adalah pegiat media sosial. Beberapa waktu belakangan dia banyak mengkritisi
kebijakan pemerintah, khususnya Menteri Keuangan. Tulisan Irmawati yang
dimaksud Nufransa dalam jawabannya itu berjudul “Sudahlah Bu Sri,
Berterusterang Sajalah Pada Rakyat.”
Di artikel tersebut,
Irmawati mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas Sri yang tidak mampu
menjelaskan untuk apa saja utang negara saat saat raker dengan DPR. Rupanya
artikel yang menjadi viral ini mengusik ketenangan Jeng Sri. Itulah mungkin
sebabnya Nufransa menulis sepertti tadi.
Sebetulnya apa yang ditulis
Irma bisa disebut mewakili pernyataan dan pertanyaan publik.
Dengan angle sedikit
berbeda, pada 26 Juli saya juga menulis tema serupa dengan judul, “Pajak dan Utang yang Memiskinkan.” Benang merah kedua tulisan itu sama-sama cemas
akan utang negara yang terus ditimbun pemerintah yang kian lama kian menjulang
dan mengkhawatirkan.
Dahsyatnya Rp1 triliun
Kembali ke alinea awal
tulisan ini, Nufransa menjelaskan betapa berharganya tiap triliun rupiah yang
dialokasikan untuk membangun infrastruktur. Membaca kalimat ini, awalnya saya
sempat rada bingung juga. Benarkah tiap triliun bisa digunakan untuk membangun
3.451m jembatan, 155km jalan, 11.900 rumah prajurit TNI, 50 rumah sakit, 6.765
kelas dan lain-lain? Sedahsyat itu kah?
Dengan kalkulator, saya jadi
tahu kalau rumah prajurit TNI bisa dibangun dengan biaya Rp84 juta/unit (Rp 1
triliun dibagi 11.900 rumah). Ini masuk akal. Dari sini, saya kemudian
menyimpulkan, mungkin maksud Nufransa adalah Rp 1triliun bisa untuk membangun
3.451m jembatan, atau 155km jalan, atau 11.900 rumah prajurit TNI, atau 50
rumah sakit, dan atau 6.765 kelas dan lain-lain.
Jadi, ada tambahan kata
“atau” untuk jeda tiap aktivitas pembangunan infrastuktur dengan dana Rp 1
triliun. Hal ini sepertinya sepele. Namun jika tidak ditambahkan kata “atau”
maka kesannya Rp 1 triliun bisa untuk membangun 3.451m jembatan, dan 155km
jalan, dan 11.900 rumah prajurit TNI, dan 50 rumah sakit, dan 6.765 kelas
secara akumulatif.
Itu soal penempatan kata
depan (dan/atau) yang bisa mengubah makna namun diabaikan oleh Nufransa. Agak
memprihatinkan juga sebetulnya. Bagaimana mungkin seorang pejabat eselon dua
yang bertanggungjawab dalam hal komunikasi di kementeriannya kok bisa-bisanya
abai untuk urusan sevital itu.
Lalu, jika angka-angka versi
Nufransa itu benar, mestinya tidak ada lagi prajurit TNI yang tidak punya
rumah. 11.900 unit rumah itu banyak, lho. Di APBN 2017, anggaran infrastruktur
menempati peringkat ketiga setelah bayar utang dan pendidikan. Jumlahnya mencapai
Rp387,3 triliun. Dengan uang ini, maka bisa
dibangun lebih dari 4,6 juta unit rumah untuk prajurit. Berdasarkan data Forbes,
pada 2016 jumlah pasukan aktif TNI kita hanya sekitar 676.500 personal. Jumlah
itu sudah mencakup seluruh angkatan, baik AD, AU, maupun AL. Dari prajurit dua
hingga jenderal bintang empat.
Hehehe… tentu saja, Pemerintah tidak mungkin mengalokasikan seluruh
anggaran infrastruktur untuk membangun rumah prajurit TNI. Tapi yang mau saya
sampaikan adalah, betapa sangat berartinya dana Rp 1 triliun kalau digunakan
untuk membangun infrastruktur. Dengan ‘hanya’ mengalokasikan Rp10 triliun saja,
maka dalam tempo lima tahun seluruh prajurit TNI sudah punya rumah. Lumayan
sejahteralah mereka.
Berbekal tulisan Nufransa, dengan anggaran Rp387,3 triliun, kita bisa
membangun 60.032 km jalan, atau 31.336.572 m jembatan, atau 19.365 rumah
sakit, atau 2.620.085 kelas. Sungguh luar biasa.
Silakan pemerintah membagi
duit yang Rp387,3 triliun anggaran itu untuk keperluan pembangunan infrastruktur apa saja berdasarkan prioritas
dan proporsional. Saya yakin, hasilnya tetap luar biasa. Anda bisa
membayangkan, betapa hiruk pikuknya pembangunan yang terjadi untuk menghabiskan
dana yang Rp387,3 triliun itu.
Sekarang mari kita
berandai-andai. Di APBN 2017, prioritas pertama belanja adalah pembayaran
utang. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp486 triliun. Dari jumlah
itu, Rp221 triliun di antaranya untuk membayar bunga utang. Ingat, hanya untuk
membayar bunga utang (dengan huruf tebal).
Kalau saja sebagai pendisain
APBN Ani punya keberpihakan kepada rakyat Indonesia, tentu dia tidak akan
mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk membayar cicilan pokok dan
bunga utang. Di saat ekonomi lesu, bukankah sebaiknya dia memompa anggaran bagi
kebutuhan domestik untuk membuka lapangan kerja, menggenjot konsumsi,
mendongkrak ekspor? Sekadar informasi saja, konsumsi publik menyumbang 56%
pertumbuhan ekonomi, lho.
Ilusi dan halusinasi?
Akan sangat elok, bila
setengah saja atau Rp243 triliun dari anggaran bayar utang yang Rp486 triliun
tadi digelontorkan ke dalam negeri. Maka kita akan bisa membangun 2.176.165 m
jembatan, atau 97.697 km jalan, atau lebih dari 7,5 juta rumah prajurit TNI,
atau 36.515 rumah sakit, atau 4.263.980 kelas dan lain-lain. Wuih… dahsyat
sekali!
Sayangnya, angka-angka tadi
cuma ilusi atau halusinasi. Pertama, karena faktanya sampai kini benar-tidaknya
anggaran infrastruktur digunakan sesuai yang dianggarakan masih gelap gulita.
Kedua, faktanya Ani tetap mementingkan pembayaran utang. Buat Menkeu pejuang
neolib sejati seperti dia, memenuhi kewajiban kepada kreditor adalah hal utama
dan pertama. Persoalan untuk itu dia harus memotong berbagai anggaran sosial
dan rakyat kian tercekik hidupnya, itu perkara lain.
Ketiga, adalah hal yang
nyaris mustahil dia mau memotong anggaran bayar utang dan menggerojok ke dalam
negeri untuk memompa ekonomi. Keempat, jangan-jangan anggaran untuk
infratruktur pun sebagian dia geser untuk bayar utang agar para kreditor tetap happy.
Who knows?
Dengan
berbagai pertimbangan tersebut, biarkan kami rakyat Indonesia sekali lagi
bertanya; kemana kamu alokasikan uang pajak dan utang kami, Sri?
Jakarta, 7 Agustus 2017
*Direktur
Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Artikel lainnya:
Silakan klik:
Lengkapi Kebutuhan Anda
+ komentar + 1 comment
Apalah daya, pemerintah nya tak tahu malu.
Terimakasih Akhi atas Komentarnya di Kemana Larinya Pajak dan Utang Kami, Sri?Posting Komentar