Pertanyaan dari:
Mafaza-Online | Pertanyaan:Menurut peraturan perundangan yang berlaku di negara kita talak harus
diikrarkan di depan sidang pengadilan. Pada hal sering timbul pertanyaan
tentang masalah talak yang diucapkan suami di luar sidang pengadilan,
apakah talaknya jatuh? Mohon penjelasan dari Majelis Tarjih dan Tajdid.
Jawaban:
Menurut pasal 39 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan pasal 65 UU No.
9/1989 tentang Peradilan Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan setelah Pegadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian dapat terjadi
karena permohonan suami kepada Pengadilan untuk menyaksikan ikrar talak
yang disebut cerai talak atau karena gugatan isteri yang disebut cerai
gugat. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup.
Meskipun termasuk ke dalam wilayah hukum privat, persoalan cerai
sesungguhnya juga menyangkut kepentingan luas, yakni ketentraman rumah
tangga, nasib anak-anak yang orang tuanya bercerai, bahkan menyangkut
kepentingan lebih luas lagi, yaitu tentang kepastian dalam masyarakat
apakah suatu pasangan telah berpisah atau masih dalam ikatan perkawinan.
Oleh karena itu perceraian tidak dapat dilakukan secara serampangan.
Sebaliknya harus dilakukan pengaturan sedemikian rupa agar terwujud
kemaslahatan dan ketertiban di dalam masyarakat.
Dalam hadis Nabi saw dinyatakan bahwa perceraian itu adalah suatu hal
yang halal tetapi sangat dibenci oleh Allah. Nabi saw bersabda,
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إلى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
Artinya: Suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak [HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi].
Ini artinya perceraian jangan dianggap enteng dan dipermudah-mudah
karena peceraian itu sangat dibenci oleh Allah meskipun halal. Wujud
dari tidak mengenteng-entengkan perceraian itu adalah bahwa ia hanya
dapat dilakukan bila telah terpenuhi alasan-alasan hukum yang cukup
untuk melakukannya. Di samping itu harus dilakukan melalui pemeriksaan
pengadilan untuk membuktikan apakah alasannya sudah terpenuhi atau
belum. Oleh karena itulah ijtihad hukum Islam modern, seperti tertuang
dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (ps. 115) misalnya,
mewajibkan prosedur perceraian itu melalui pengadilan; dan bahwa
perceraian terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang Pengadilan (KHI, ps. 123).
Memang dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan
talak, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh
seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan
kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak
mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita
(isteri). Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian
harus diproses melalui pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan
hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun
menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan.
Perubahan
hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang
berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ [قواعد الفقه، ص 113].
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman [Qawaid al-Fiqh, hlm. 113].
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ
وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ [إعلام
الموقعين، 2: 3]
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3].
Para filosof syariah telah menyepakati bahwa tujuan syariah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan. Menurut asy-Syatibi, dasarnya adalah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالمين. [الأنبياء (21): 107]
Artinya: Tiadalah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam[QS. al-Anbiya’ (21): 107] [asy-Syatibi, al-Muwafaqat, Juz II, hlm. 142].
Dalam kaitan ini penjatuhan talak di depan sidang pengadilan bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap institusi
keluarga dan perwujudan kepastian hukum dimana perkawinan tidak dengan
begitu mudah diputuskan. Pemutusan harus didasarkan kepada penelitian
apakah alasan-alasannya sudah terpenuhi. Dengan demikian talak yang
dijatuhkan di depan pengadilan berarti talak tersebut telah melalui
pemeriksaan terhadap alasan-alasannya melalui proses sidang pengadilan.
K.H. Ahmad Azhar Basyir (mantan Ketua Majelis Tarjih dan Ketua PP Muhammadiyah), mengenai masalah ini, menyatakan:
Perceraian yang dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin
persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian, sebab sebelum
ada keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang apakah
alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami-istri.
Kecuali itu dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam
sebelum mengambil keputusan bercerai antara suami dan istri. [Hukum Perkawinan Islam, h. 83-84].
Pada bagian lain dalam buku yang sama K.H. Ahmad Azhar menjelaskan lebih lanjut,
Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi, dengan
pertimbangan “maslahat mursalah” tidak ada keberatannya apabila diambil
ketentuan dengan jalan undang-undang bahwa setiap perceraian apapun
bentuknya diharuskan melalui pengadilan. [Hukum Perkawinan Islam, h. 85].
Selain dari itu dapat pula ditegaskan bahwa penjatuhan talak di
luar sidang pengadilan, mengingat mudarat yang ditimbulkannya, harus
dilarang dan dinyatakan tidak sah berdasarkan prinsip sadduz-zari‘ah [menutup pintu yang membawa kepada kemudaratan].
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,
1) perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan
pengadilan: cerai talak dilakukan dengan cara suami mengikrarkan
talaknya di depan sidang pengadilan, dan cerai gugat diputuskan oleh
hakim;
2) perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah.
Wallahu a’lam bish-shawab. *sy)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail:
Posting Komentar