Hoofd Bestuur (Pengurus Besar) NU tahun 1938 mengedarkan seruan pada berbagai ormas dan Partai Islam seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, PSII untuk menunjukkan solidaritas pada Palestina
Oleh: Beggy Rizkyansyah*
![]() |
NU zaman dulu sangat tegas membela Palestina (ilustrasi: KH. Hasyim Asyari dalam Film Sang Kiai) |
PERINGATAN Isra Miraj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaiahi
Wassallam belum lama berlalu. Meskipun peristiwa Isra Miraj diperingati
di Indonesia secara khusus, namun pesan mendalam dari peristiwa tersebut
hendaknya tak menguap seiring berlalunya waktu. Selain tentang mukjizat, dan
salat, Isra Miraj juga mengungkapkan betapa istimewanya kedudukan Masjid Al
Aqsa dalam Islam. Namun keistimewaan itu tidak sejalan dengan nasibnya saat
ini. Di tengah penjajahan Israel atas tanah Palestina, Al Aqsa tampaknya tengah
dijauhkan dari umat Islam. Termasuk kebijakan Israel yang tidak membebaskan
umat Islam untuk beribadah di sana.
Isra Miraj yang diperingati di Indonesia mengingatkan kita agar tetap peduli
dengan nasib rakyat Palestina dan khususnya Masjid Al Aqsa.
Kepedulian ini bukanlah hal yang baru bagi bangsa kita. Bahkan sejak bangsa
ini belum merdeka dari penjajahan, rakyat Indonesia bersama tokoh-tokoh Islam
telah menunjukkan solidaritas mereka. Persaudaraan yang membentang melintas
lautan tak melunturkan kepedulian para pendahulu kita. Meskipun dengan
penuh keterbatasan, namun persoalan penderitaan rakyat Palestina yang terusir
serta teraniaya diketengahakan kepada umat Islam di Indonesia , baik oleh para
ulama maupun tokoh pemuda –pemuda Islam di masa silam.
Solidaritas kepada Palestina ditunjukkan dengan sangat gigih oleh Nadhlatul
Ulama. Hoofd Bestuur (Pengurus Besar) NU, pada tahun 1938 mengedarkan
seruan kepada berbagai ormas dan Partai Islam seperti Muhammadiyah, Al Irsyad,
PSII dan lainnya.
PBNU kala itu menyerukan kepada ormas dan partai Islam untuk bersikap tegas
atas apa yang dilakukan bangsa Yahudi dan bahu membahu membantu rakyat
Palestina dalam memperjuangkan agama dan kemerdekaan mereka dari kaum Zionis
penjajah.
PBNU menyerukan pula agar diadakannya Palestine Fonds (Dana
Palestina). Bahkan cabang-cabang NU di seluruh Indonesia diinstruksikan untuk
menjadikan tanggal 27 Rajab sebagai ‘Pekan Rajabiyah.’ Sebuah pekan yang
menggabungkan perayaan Isra Miraj dengan solidaritas terhadap perjuangan rakyat
Palestina merdeka. PBNU pun menyerukan kepada seluruh anggota NU dan umat Islam
untuk melakukan Qunut Nazilah pada setiap salat fardhu.
Atas seruan ini, pemerintah kolonial bereaksi keras. Hoofd Parket
(Kejaksaan Agung) memanggil KH Mahfudz Shiddiq, selaku ketua PBNU. Hoofd
Parket melarang Qunut Nazilah dan ‘Pekan Rajabiyah.’ Ulama
besar KH Hasyim Asy’ari, kemudian merespon reaksi pemerintah kolonial. Pada
Mukatamar ke -14 Nadhlatul Ulama di tahun 1939, saat memberikan khotbah
iftitah (pidato pembukaan), beliau mengungkapkan bahwa doa tersebut bukan
untuk menghina golongan lain, seperti yang dituduhkan, namun, semata-mata
sebuah kewajiban solidaritas sesama umat Islam dan perintah Nabi Besar Muhammad
Shallallahu ‘alaiahi Wassallam, kepada umatnya setiap menghadapi bencana. Hadratus
Syaikh ketika itu dalam bahasa Arab mengemukakan,
“Tetapi para pembesar pemerintah meilhatnya tidak seperti yang dilihat Nadhlatul Ulama, sebab itu, melarang kita mengerjakan hal-hal yang telah lalu, yang telah kita lewati selama ini.” (K.H. Saifuddin Zuhri; 2013)
Pembelaan tidak saja datang dari kalangan ulama, namun juga dari para pemuda
Islam yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Kelompok pemuda
yang digerakkan tokoh-tokoh seperti M. Natsir, Kasman Singodimedjo, Samsurizal
dan lain-lain ini, melakukan pembelaan terhadap Palestina. Bekerja sama dengan
Jamiat Al Khair di Mesir, mereka mendukung perjuangan rakyat Palestina, dan
menolak tembok ratapan yang berada di dekat Al Aqsha. Mereka melihat hal ini
merupakan sebuah ancaman terhadap Masjid Al Aqsha (Dardiri Husni; 1998). Tahun
1941, salah seorang tokoh JIB, M. Natsir kembali mengemukakan kepedulian
terhadap penderitaan rakyat Palestina yang tak kunjung selesai. Ia mengkritik
cacatnya perjanjian Balfour.
“Djanji Balfour tidak memberi penjelesaian; ia hanja menimbulkan soal, jang berkehendak kepada penjelasan. Lebih-lebih disaat ini, di saat berbagai basa jang beragama Islam turut berdjuang disamping Negara Serikat, di saat blok bangsa Arab penuh Simpati terhadap pihak serikat-, sungguh bukan suatu perbuatan bidjaksana, apabila orang merajakan 24 tahun lahirnja ‘Balfour Declaration’, jang oleh milliunan bangsa-bangsa jang beragama Islam terasa sebagai duri dalam daging itu.” (M. Natsir ; 1954)Gencarnya dukungan para ulama serta tokoh-tokoh Islam sejak lama, memberikan kesan yang begitu nyata. Bagi umat Islam di Palestina, meskipun dukungan tersebut terpisah sangat jauh, namun rupanya hal ini membuat mereka merasakan pula penderitaan rakyat Indonesia yang terjajah sekian lama. Maka ketika tersiar Mufti Besar Palestina, Amin Al Husaini, mengucapkan selamat atas ‘pengakuan Jepang’, untuk kemerdekaan Indonesia, hal ini turut menjadi dukungan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio Berlin berbahasa Arab tersebut, disebarluaskan oleh para mahasiswa Indonesia di Kairo untuk menggelorakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, sehingga kabar tersebut dimuat berbagai media di Mesir. (M. Zein Al Hassan; 1980)
Hubungan saling mendukung ini terus berlanjut, melintasi waktu. Bahkan
setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia secara khusus mendukung
eksistensi Masjid Al Aqsha. Tahun 1965, Presiden Sukarno, kala itu melalui
perantara menteri agama, KH Saifuddin Zuhri, turut membantu pemugaran Masjid Al
Aqsha. Indonesia menyumbang $ 18.000 yang disampaikan kepada Menteri Urusan
Waqaf Kerajaan Yordania. (KH. Saifuddin Zuhri,; 2013).
Bangsa Indonesia sejatinya memang menolak segala bentuk penjajahan, bahkan
ketika dirinya masih dalam keterbatasan akibat penjajahan. Penolakan atas
segala macam penjajahan yang dilandasi ukhuwah Islam mampu menjadi daya dorong
yang luar biasa. Kepedulian ulama serta tokoh-tokoh Islam, meskipun dirintangi
kebijakan kolonial, mampu mengatasi jarak yang membentang hingga ke timur
tengah. Berkaca dari sejarah para pendahulu kita dimasa silam, dukungan
terhadap rakyat Palestina, seharusnya menjadi semakin kuat dan gencar. Jika di
masa lalu saja, dengan segala keterbatasan, bangsa ini mampu memberikan
dukungan yang membuat penguasa kolonial resah, apalagi dimasa kini, saat kita
sudah mengecap nikmatnya kemerdekaan.
Fatwa ulama dan langkah ormas Islam tak disangkal mampu menggerakkan
masyarakat. Yang dibutuhkan kembali saat ini adalah kebijakan yang mampu
menyentuh masyarakat, contohnya, semacam Pekan Rajabiyah ala NU dahulu,
sehingga perayaan semacam Isra Miraj tak lagi sekedar peringatan belaka, namun
mampu memberikan langkah nyata bagi rakyat Palestina yang mengayun bersama
derap masyarakat kita.*
*Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Pustaka :
Hassan, M. Zein. 1980. Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri.
Bulan Bintang : Jakarta
Husni, Dardiri. 1998. Jong Islamieten Bond : A Study of A Moslem Youth In
Indonesia During The Colonial Era (1924-1942). Tesis M.A. Montreal Canada :
McGill University
Natsir, M. 1954. Djublium Balfour-Mac Mahon..! dalam Capita Selecta. W. Van
Hoeve : Bandung
Zuhri, KH Saifuddin. 2013. Berangkat dari Pesantren. LKiS : Yogyakarta.
Artikel
Sebelumnya:
Silakan
klik:
Lengkapi Kebutuhan Anda
Posting Komentar