Senin, 12 Juni 2017

Home » » The Greatest Fadhillah of I’tikaf

The Greatest Fadhillah of I’tikaf

Ibadah adalah upaya cerdas untuk meloloskan diri dari  perangkap waktu

Oleh : Solikhin Abu Izzuddin*  

Ustadz Solikhin Abu Izzuddin
Mafaza
-Online |
Ibadah adalah sarana tarbiyah yang sangat efektif untuk membina kemulian.  Salah satu tarbiyah terindah di bulan Ramadhan adalah ibadah sunnah I’tikaf. Allah Azza wa Jalla berfirman:Allah Azza wa Jalla berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-Baqarah [02] : 183).

Tarbiyah Ramadhan selama satu bulan merupakan memontum untuk membentuk karakter kepribadian umat Islam : pribadi muttaqin. Namun, mengapa seringkali selepas Ramadhan tidak ada bekas yang khas, tidak ada kesan yang mendalam sebagai lulusan akademi Ramadhan? Yang tersisa adalah alumni yang lupa ilmunya setelah diwisuda di hari raya.

Agar kesalahan tidak terulang, mari kita maknai ibadah Ramadhan khususnya i’tikaf yang merupakan sunnah muakkad sebagai tarbiyah dosis tinggi untuk menginteraksikan jiwa kepada tujuan mulia.

Menurut Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud, tarbiyah adalah “cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara  langsung (berupa kata-kata) maupun secara tidak langsung (berupa keteladanan, sesuai dengan sistem dan perangkatnya yang khas), untuk memroses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.” (DR. Ali Abdul Halim Mahmud)

Dalam i’tikaf kita niatkan sebagai tarbiyah Islamiyah berarti proses mempersiapkan orang dengan persiapan yang menyentuh seluruh aspek kehidupannya meliputi: ruhani, jasmani dan akal pikiran. Ia bersifat integral dan komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan yang rinci dan detail.

Tarbiyah Islamiyah adalah proses penyiapan manusia yang shalih, yakni agar tercipta keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan dan tindakannya secara keseluruhan. Ada tiga aspek tarbiyah Ramadhan yang bisa kita wujudkan dalam I’tikaf khususnya.


  • Tarbiyatul Iradah, pendidikan kehendak. Kitalah yang mendidik kehendak kita untuk mulia atau hina. Selama Ramadhan kita dididik untuk meninggalkan yang halal –makan, minum dan segala membatalkan puasa termasuk hubungan suami istri di siang hari-- demi meraih ridha Allah. Bila terhadap yang halal kita mampu menahan diri dan meninggalkannya, logikanya kita akan lebih mudah meninggalkan yang haram. Insya Allah.
  • Taqwiyatul ihtimal, penguatan kemampuan untuk memikul beban. Puasa dan berbagai ibadah individual yang pahalanya langsung menjadi hak prerogratif Allah mendidik pribadi mukmin agar nilai muttaqiinnya benar-benar nyata karena merasa dalam pengawasan Allah. Ini merupakan kekuatan dahsyat untuk bisa memikul beban sebagai juru dakwah pewaris kejayaan Islam.
  • Tazkiyatun nafs, pembersihan jiwa yakni selama Ramadhan kita dididik untuk membersihkan dari segala keburukan dan menghiasi dengan kemuliaan, membersihkan dari akhlak tercela dan memperindah dengan akhlak mulia. Tazkiyah menurut Syaikh Muhammad al-Ghazaly adalah inti dari tarbiyah. Sehingga keberhasilan tarbiyah kita tergantung kemampuan kita dalam membersihkan diri.

Secara khusus ibadah I’tikaf ditegaskan dalam Al Qur’an sebagai bentuk kesempurnaan puasa, Dalam Surat al-Baqarah ayat 187 Allah SWT menegaskan,

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa." (QS Al Baqarah: 187)

Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf, khusus-nya 10 hari terakhir di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang disyari’atkan oleh Rasulullah saw. Beliau senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Aisyah ra. Ibnu Umar ra. dan Anas ra. meriwayatkan, “Adalah Rasulullah saw beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (HR Bukhari Muslim)

Hal ini beliau lakukan hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian juga para sahabat melakukan ibadah agung ini sebagai cara untuk meneladani Rasulullah secara sempurna dan membangun kepribadian yang utuh.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i’tikaf bukan sunah”.

Insya Allah begitu banyak hikmah (the greatest fadhillah of i’tikaf) yang bisa kita petik dari pelaksanaan ibadah I’tikaf selama sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan di antaranya :

1. Mengejar ketertinggalan dalam beribadahOrang yang gagal merencanakan sesungguhnya dia sedang merencanakan kegagalan. Yang sudah punya rencana dan target saja bisa gagal dan meleset bagaimana dengan yang tidak punya target? Nah, bila kita belum bisa maksimal dalam mengerjakan amaliyah ibadah Ramadhan selama sepuluh hari yang pertama dan kedua Ramadhan karena kesibukan atau kelalaian kita, sehingga pada sepuluh hari yang terakhir ini kita berusaha untuk mengejar ketertinggalan kita. Di mana dengan i’tikaf kita bisa beribadah lebih optimal.
Catatannya, kita mesti komitmen dan konsisten agar memaksimalkan I’tikaf serta tidak menyia-nyiakan momentum I’tikaf. Jangan jatuh ke dalam kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

2. Merealisasikan tolok ukur keberhasilanPepatah Arab mengatakan, “al-ibrah fin nihayah”, yang dijadikan sebagai tolok ukur adalah akhirnya. Jika di awal dan pertengahan Ramadhan kita bisa maksimal dalam beribadah, namun di sepuluh hari terakhir justru kita menjadi loyo dan tidak bersemangat lagi untuk beribadah maka bisa dikatakan kita termasuk orang yang gagal dalam meraih berkah dan pahala Ramadhan.
Namun,  bila di awal dan pertengahan Ramadhan kita kurang maksimal lalu di sepuluh hari terakhir kita bisa meningkatkan amal ibadah kita secara membang-gakan maka bisa dikatakan kita termasuk orang yang telah berhasil mendapatkan berkah dan pahala Ramadhan.
Oleh karena itu, Ibnul Qayyim berkata, “Seorang pekerja yang cerdik akan mengakhiri pekerjaannya dengan yang terbaik”, dan i’tikaf memberikan peluang yang besar bagi kita untuk mewujudkan hikmah ini. Karenanya maksimalkan I’tikaf untuk mendidik kedispilinan diri. Catatannya, “Orang yang bersantai-santai saat bekerja maka dia akan menyesal saat pembagian upah.”

3.Melawan nafsu untuk senantiasa taat dan mendekatkan diri kepada Allah sebagai persiapan setelah RamadhanSeringkali kita mampu melaksanakan amaliyah ibadah Ramadhan dengan begitu mudah dan ringan, namun setelah bulan puasa ini lewat tenyata semangat dan ta’abbudiyah kita pun ikut lewat bersamanya. Kita mudah melakukan berbagai bentuk ibadah selama bulan Ramadhan karena pada waktu itu setan-setan dibelenggu oleh Allah sehingga mereka tidak leluasa menggoda dan menyesatkan kita, dan kita merasa berat mengerjakan berbagai bentuk ibadah di luar bulan Ramadhan karena memang pada bulan-bulan itu setan-setan telah dibebaskan kembali dari belenggu mereka sehingga mereka dengan leluasa menggoda dan menyesatkan kita.
 
Oleh karena itu, kita butuh persiapan dan penempaan khusus untuk menghadapi bulan-bulan setelah Ramadhan, dan i’tikaf selama sepuluh hari terakhir merupakan peluang yang paling kondusif untuk melakukan persiapan dan penempaan diri secara intensif.
Kiatnya adalah tahan nafsu, tinggalkan perkara sia-sia agar hidup kita mulia. “Kita mulia bukan karena dimuliakan orang lain namun karena menjaga kemuliaan dan menjauhi perkara yang menimbulkan kehinaan.”

4. Membiasakan nafsu kita agar bisa merasa cukup dengan batas minimal dari kebutuhan hidup kitaKebinasaan seseorang seringkali karena ia tidak mampu mengendalikan ambisi dan keinginan syahwatnya, sehingga dari hari ke hari ia selalu menuntut yang lebih, baik itu dalam hal makanan, minuman, atau keperluan hidup yang lain. Akibatnya, ia nekad melakukan berbagai bentuk kemaksiatan hanya untuk memenuhi keinginan nafsu syahwatnya.
 
I’tikaf selama sepuluh hari di masjid ini akan menyadarkannya bahwa sebenar-nya ia masih bisa hidup dengan sehat dan sejahtera meski dengan menu makanan yang sederhana,  minum ala kadarnya, pakaian apa adanya, dan  tidur hanya beralaskan sajadah. Tarbiyah diri selama i’tikaf ini akan memberikan pelajaran dan pembiasaan bagi dirinya sehingga ia lebih mampu mengendalikan nafsu syahwatnya di luar bulan Ramadhan. Rasulullah saw bersabda,
 
“Diantara kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna baginya.” (HR Muslim)

5. Menautkan hati kita dengan masjidSalah satu hikmah i’tikaf adalah agar hati kita semakin terpaut dengan masjid, sehingga apapun kesibukan kita saat adzan telah dikumandangkan hati kita senantiasa tergerak  untuk bergegas melaksanakan shalat, di manapun kita berada seakan-akan kita sedang berada di masjid sehingga sangat berat untuk melakukan kemaksiatan, karena kita merasa dekat dengan Allah dan merasa diawasi oleh-Nya sehingga segan untuk berbuat maksiat. Sangatlah pantas bila orang  seperti ini termasuk dalam  tujuh golongan  yang mendapatkan naungan dari Allah pada hari Kiamat nanti. Rasulullah saw. bersabda,
“Ada tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah dengan naungan-Nya pada di mana tidak ada naungan apapun kecuali naungan-Nya; pemimpin yang adil dan seorang lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid …”. (HR Bukhari)

6. Mendapatkan keutamaan menunggu shalat
Selama I’tikaf dan fokus ibadah di masjid maka kesempatan kita untuk mendapatkan shalat wajib berjamaah lima waktu sangat besar. Bahkan menunggu nunggu datangnya shalat wajib berjamaah tersebut terhitung sebagai shalat berjamaah. Sungguh luar biasa. Maka bagi yang tahu keutamaan ini sungguh tidak akan mudah untuk melewatkannya.
Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah saw pada suatu malam mengakhirkan shalat Isya’ sampai pertengahan malam. Kemudian seusai shalat beliau menghadap kami dengan wajahnya seraya bersabda,
“Orang-orang telah shalat dan tidur, sedang kamu sekalian senantiasa tetap dalam shalat sejak kalian menunggunya.” (HR Bukhari)
 
Apalagi penantian mulia ini merupakan pengagungan terhadap perintah Nabi maka fadhillah ini mesti menggerakkan inspirasi, motivasi, dan aksi untuk berlomba-lomba meraih pahala. Menunggu shalat berjamaah di awal waktu itu lebih utama sebab hal itulah yang senantiasa dipelihara oleh Rasulullah saw sepanjang hayatnya.
 
Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda,
“Diantara kamu tetap berada dalam (keutamaan) shalat sepanjang yang menahannya adalah shalat, tidak ada yang menghalanginya pulang ke keluarganya kecuali shalat.” (Muttafaqun ‘alaih).

7. Mendapatkan peluang yang lebih besar untuk meraih malam kemuliaan (lailatul Qadr)
Para ulama berpendapat bahwa pahala shalat, tilawah, zikir, dan amal kebaikan yang kita lakukan pada malam lailatul qadar jauh lebih besar dari pahala semua amal kebaikan itu yang kita kerjakan selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadar di dalamnya. Jadi, kemuliaan lailatul qadar itu bisa kita raih dengan ibadah yang maksimal, sedang jatuhnya malam lailatul qadar itu tidak bisa diketahui dengan pasti pada malam tertentu.
Rasulullah saw. hanya mengatakan bahwa lailatul qadar itu jatuh pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari yang terakhir, dan sekarang ini kita seringkali berselisih pendapat mengenai penentuan awal Ramadhan sehingga kita juga akan berbeda-beda dalam menentukan malam-malam ganjil sehingga menjadi tidak jelas mana malam yang ganjil dan mana malam yang genap.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan malam lailatul qadar kita harus memaksimalkan ibadah selama i’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir tanpa harus membedakan antara malam genap dan malam ganjil.

8. Mendapatkan kesempatan yang sangat kondusif untuk refleksi dan evaluasi diri
Evaluasi merupakan aktivitas paling penting bagi keberhasilan hidup kita di dunia ini, baik dalam aspek keduniaan maupun aspek keakhiratan. Kita perlu melakukan evaluasi harian, pekanan, bulanan dan tahunan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan dan kegagalan kita dalam menjalankan kewajiban-kewajiban hidup di dunia. Umar bin Khathab ra. berkata, “Koreksilah dirimu sebelum engkau dihisab di hari kiamat”.
Jadi kita harus selalu memperhitungkan semua amal perbuatan kita selama hidup di dunia sebelum kita menghadapi perhitungan amal di akhirat, dan I’tikaf merupakan waktu yang kondusif sekali untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri apakah kita telah maksimal atau justru bersikap teledor dan lalai dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kita sebagai hamba Allah di dunia ini.

9. Menyadarkan kepada kita, setiap waktu memiliki ibadah yang spesifik
Kita melihat bahwa di siang hari Ramadhan kita dituntut untuk berpuasa, di malam hari kita disunnahkan untuk tarawih, di saat maghrib kita diserukan untuk berbuka, di saat menjelang fajar kita diperintahkan untuk bersahur, dan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan kita diperintahkan untuk beri’tikaf.
Semua ini menyadarkan kepada kita bahwa kewajiban itu berkaitan erat dengan waktu-waktu yang telah ditentukan sehingga kita tidak boleh mengerjakan ibadah-ibadah tersebut di luar waktu yang telah ditentukan untuknya.

Abu Bakar ra berkata,
“Sesungguhnya Allah memiliki hak atas kamu di siang hari yang mana Ia tidak akan menerimanya di malam hari dan Allah memiliki hak atas kamu di malam hari yang mana  Ia tidak akan menerimanya di siang hari”. 

Dengan I’tikaf kita bisa menumbuhkan pada diri kita komitmen untuk mengerjakan kewajiban pada waktu yang telah ditentukan, dan menumbuhkan kesadaran untuk senantiasa memperhatikan waktu agar bisa mengabdikan diri kepada Allah dengan bentuk-bentuk ibadah tertentu yang dikehendaki oleh Allah.
 
Itulah beberapa hikmah I’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, di mana hikmah dan target ini tidak bisa kita realisasikan bila kita tidak bersungguh-sungguh dalam mengisi hari-hari I’tikaf ini dengan berbagai bentuk ibadah yang disunnahkan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang mengurangi keutamaan I’tikaf atau bahkan menggugurkannya.
 
Sebagai uzlah syu’uriyah (upaya meloloskan diri dari perangkap waktu) I’tikaf akan mengantarkan kita kepada kemuliaan dan pencapaian target Ramadhan insya Allah. Yakni menjadi hamba Allah yang sebenar-benar menghamba hanya kepada Allah. 

Hati manusia ibarat mesin penggiling yang terus berputar dan mengolah apa saja yang dimasukkan ke dalamnya. Apabila yang dimasukkan adalah biji gandum berkualitas tinggi, niscaya hasil yang dikeluarkannya berupa gandum yang berkualitas tinggi. Namun jika yang dimasukkan adalah gandum berkualitas buruk, atau yang dimasukkan sekadar kerikil atau pasir, maka Anda akan membayangkan sendiri bagaimana hasil keluarannya. (al-Fawaaid, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, hal.360)

*Penulis Zero to Hero
Menulis untuk Majalah Gesit

Sebelumnya: 


Silakan klik:
                                                         Lengkapi Kebutuhan Anda
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Mafaza Online: The Greatest Fadhillah of I’tikaf . All Rights Reserved