Oleh Mufid Nur Hasyim /mufidnurhasyim
Deep Contemplation On Strategy | PR & Strategy Consultant | Strategic Thinker
Deep Contemplation On Strategy | PR & Strategy Consultant | Strategic Thinker
Ahok bersama Menteri Yasonna Laoly | Sumber: www.opinibangsa.id |
Narasi strategi periklanan atau pemasaran produk biasanya sangat sederhana, berbeda dengan narasi strategi politik. Unsur dalam narasi strategi politik lebih kompleks karena melibatkan banyak pihak, kepentingan, dan sarat akan friksi (kesenjangan antara ekspektasi dan realitas lapangan). Melalui pola peristiwa yang terjadi, saya menemukan setidaknya ada 4 tahap strategy yang digunakan oleh Tim Ahok yang ditujukan untuk membebaskan Ahok. Saya merangkum strategi tersebut:
Mendominasi Perhatian dan Emosi Seluruh Masyarakat
Tanpa dinasionalisasi secara sengaja, peristiwa Ahok telah mendominasi hampir seluruh perhatian masyarakat Indonesia. Itu artinya, medan pertempuran politik antara Pendukung Ahok dan masyarakat Indonesia (saya sengaja gunakan terma masyarakat Indonesia) beralih dari pertempuran lokal DKI Jakarta menuju pertempuran skala nasional.
Medan tempur nasional tentu harus dihadapi dengan strategi tempur nasional. Tim Ahok menyadari ini. Kita sudah melihat 'pertempuran nasional' melalui aksi balas aksi yang terjadi di akhir tahun 2016 lalu. Elit yang terpolar dan diperparah dengan media yang terpolar menciptakan masyarakat yang semakin terpolar pula.
Sebelum beranjak menuju strategi berikutnya, Tim Ahok lebih dahulu masuk kedalam relung emosi masyarakat Indonesia. Dalam upaya mendominasi emosi publik, telah banyak sekali manuver berisi pesan emosi yang dilancarkan oleh Tim Ahok dan ditayangkan kepada publik: kemarahan Ahok di Balai Kota, tangis di persidangan, saudara tiri Ahok, tangis pendukung Ahok, kisah keluarga Ahok, dan segala yang membangkitkan emosi publik. Dalam psikologi, pesan emosi terpatri dalam memori jangka panjang dan lebih mendominasi kesadaran. Emosi tersebut nantinya akan diaktifkan dan dimanipulasi dengan strategi lainnya.
Strategi Polaritas: Polarisasi Masyarakat Indonesia
Upaya polarisasi adalah upaya yang sengaja dilakukan oleh Tim Ahok. Hal ini sudah dilakukan sejak sebelum Pilkada. Namun, akhirnya polarisasi Tim Ahok ini justru sangat ekstrem, mirip seperti polarisasi yang dilakukan oleh George Bush melalui propaganda perang melawan teroris. Bush menggaungkan 'Anda bersama Kami atau Anda bersama Teroris' melalui berbagai saluran media. Tim Ahok juga melakukan hal serupa. Awalnya, Ahok digambarkan sebagai sosok representasi Bhinneka Tunggal Ika, kemudiam Tim Ahok menggaungkan 'Anda bersama Kami, atau Anda bersama orang-orang radikal, anti kebhinnekaan, anti pancasila, anti NKRI dan sebagainya. Berbagai instrumen digunakan untuk melancarkan strategi polarisasi ini, mulai dari kampanye sosial media, hingga iklan di media mainstream yang ditayangkan beberapa waktu sebelum Pilkada, yang menuai kontroversi dari masyarakat Muslim.
Pertanyaannya, mengapa diperlukan polarisasi? Pertama, polarisasi dilakukan untuk menyedot massa mengambang, yang belum bersikap atas kasus Ahok sehingga mereka mau bersikap dan mendukung Ahok. Persis seperti strategi Tatcher pada pemilu Inggris tahun 1979. Kedua, membuat ragu massa lawan dengan merusak citra lawan. Lawan yang dipropagandakan sebagai anti bhinneka, anti pancasila dan sebagainya, akan mendapatkan citra negatif.
Strategi Politik Simbol Dan Pseudo Event
Presiden Jokowi adalah pakarnya politik simbol. Ketika berkunjung ke kediaman Prabowo pada Oktober 2016 lalu, di akhir pertemuannya Jokowi meminta Prabowo untuk bertemu wartawan dengan menaiki kuda. Prabowo khawatir, namun tak kuasa menolak. Alhasil, Jokowi menemui wartawan dengan kuda. Setelah itu, Jokowi juga melakukan roadshow ke markas TNI dan kepolisian. Strategi ini juga diadopsi oleh Tim Ahok.
Semua sudah direncanakan oleh Tim Ahok: Menemui Raja Salman, naik satu mobil dengan Presiden Jokowi, meresmikan Masjid Daan Mogot, dipeluk dengan tangisan oleh saudara tiri yang Muslim, dan sebagainya. Konstruksi realitas dari simbol tersebut sangat jelas: Ahok juga pro-Islam, Ahok tidak bersalah, dan Ahok berkuasa. Lalu, untuk apa semua simbol itu? Tentu saja mendapatkan simpati rakyat. Kesan semu menipu yang dihasilkan oleh peristiwa simbolik seperti itu, ditambah dengan framing media, harapannya membuat rakyat simpati pada Ahok.
Awalnya, saya menduga dagelan simbol ini akan berakhir setelah Pilkada usai. Namun, kenyataannya tidak demikian. Simbol baru direkayasa untuk mempertahankan legitimasi dan citra Ahok. Bunga karangan, lilin, bunga mawar, tugu keadilan hingga badut Balai Kota, semuanya hanya simbol untuk menarik perhatian, simpati dan membangun opini bahwa Ahok tidak bersalah. Perhatian siapa? Perhatian masyarakat Indonesia dan perhatian komunitas Internasional. Tim Ahok ingin memperluas medan pertempurannya menjadi pertempuran tingkat nasional (saya bahas dalam poin berikutnya).
Setelah simbol, strategi berikutnya adalah pseudo-event atau acara palsu/semu yang direkayasa untuk mengundang perhatian media dan mengkonstruksi realitas baru. Hampir sama dengan politik simbol, namun yang ini lebih berbahaya. Para pemasar, termasuk saya, menggunakan ini untuk mendapatkan pemberitaan, mengiklankan secara gratis dan menjual barang. Dalam dunia pemasaran, para pemasar merekayasa instrumen pseudo-event seperti konferensi pers, 'bocoran' produk, 'demo' produk, dan sebagainya.
Tim Ahok melakukan pseudo-event dengan berbagai instrumen rekayasa: antrean pendukung Ahok yang mengular di Balai Kota, tangisan pendukung Ahok, saudara tiri Ahok, rekayasa perusakan karangan bunga, aksi massa pendukung Ahok saat dan pasca sidang Ahok, yang masih bertahan hingga tadi malam (10/5), aksi lilin di berbagai daerah, paduan suara di Balai Kota, hingga pengumpulan 1 juta KTP untuk menangguhkan penahanan Ahok. Tujuannya sama: Mendapat ekspos media, menyebar opini Ahok tidak bersalah, hingga mengkonstruksi realita palsu (pseudo reality) dalam benak publik bahwa Ahok masih didukung, diharapkan dan mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dari Festivalisasi Menuju Internasionalisasi
Hukum demokrasi adalah: rakyat memegang kekuasaan tertinggi. Saya menyadari betapa sulit posisi Ahok dan Timnya saat ini untuk melepaskan Ahok dari jerat hukum, meskipun Ahok di back-up oleh penguasa sekalipun. Namun, setelah mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk melakukan strategi polarisasi, politik simbol, pseudo-event dan strategi lainnya, kini Tim Ahok menyadari bahwa untuk membebaskan Ahok memerlukan daya upaya yang lebih besar daripada sekadar tekanan lokal. Tekanan internasional adalah jawabannya.
Pertama, Ahok melakukan festivalisasi melalui berbagai instrumen, termasuk aksi lilin yang digelar semalam (10/5) si NTT, Jogja, Manado, Papua, hingga Tugu Proklamasi. Merekayasa seakan-akan ada tekanan dari masyarakat berbagai daerah di Indonesia untuk membebaskan Ahok, membuat pemberitaan media dan framing yang dilakukan semakin tajam untuk membebaskan Ahok.
Kedua, isu-isu yang disampaikan melalui politik simbol dan pseudo-event tanpa henti yang dilakukan oleh Tim Ahok diarahkan secara khusus kepada masyarakat dan komunitas internasional dengan menggambarkan bahwa Ahok adalah minoritas yang diperlakukan secara tidak adil oleh hukum. Tujuannya, agar masyarakat dan komunitas internasional terlibat dalam pertempuran, sesuai dengan strategi Tim Ahok. Opini dan tekanan dari berbagai komunitas internasional nantinya akan mempengaruhi opini lokal, nasional, hingga kebijakan pemerintah. Nyatanya, kecaman telah datang dari berbagai negara seperti Belanda dan Inggris, yang terpancing dengan pseudo-event, framing pemberitaan media dan LSM yang direkayasa. Bahkan, beberapa pihak diketahui telah menekan PBB agar PBB menekan Indonesia untuk meninjau ulang UU pasal penistaan agama.
Dengan kolaborasi strategi lokal, nasional dan internasional, maka bukan tidak mungkin penangguhan hingga pembebasan Ahok dari jerat hukum akan terwujud. Namun, friksi yang terjadi selanjutnya, tidak akan ada yang tahu.
Sumber:
Silakan klik:
Dapatkan
produk tren terbaru dengan harga dan kualitas terbaik
Posting Komentar