Perempuan seringkali hanya dipersepsikan pada tugas seputar: dapur, kasur dan sumur (masak, macak dan manak)
Oleh: Siti Banatun Nafiah*
Siti Banatun Nafiah |
Betapa banyak permasalahan yang memperlihatkan perempuan dalam posisi tanpa daya seperti kasus-kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW), Pembantu Rumah Tangga (PRT), buruh perempuan, eksploitasi perempuan dalam berbagai hal termasuk pada bisnis, profesi dan sebagainya. Hal ini memaksa perempuan harus memiliki peran di ranah politik. Berperan dalam politik adalah bagaimana seseorang memperjuangkan kepentingannya. Namun, seperti apa kepentingan yang harus diperjuangkan itulah yang memerlukan alasan yang otentik dan mendasar. Diharapkan agenda-agenda politik tidak malah menjebak masyarakat pada pengertian yang asal-asalan. Berpikir jernih, “Mengapa harus berpolitik dan apa akar permasalahan dari terjadinya sebuah kasus” adalah sikap arif yang sangat penting.
Sebagaimana kita ketahui dari masa ke masa perbincangan tentang perempuan (dan politik) tidak surut. Seolah perempuan adalah peran utama dalam pewayangan dunia, sehingga layak menjadi topik utama dalam setiap aspek kehidupan. Pada tiap masa, masyarakat memiliki persepsi sendiri tentang sosok perempuan. Persepsi tersebut sangat dipengaruhi pola pikir masyarakat pada tiap masa. Pada sebagian kelompok masyarakat menengok “kodrat” perempuan hanya akan membelenggu kiprah perempuan untuk mendapatkan rangsangan bagi pertumbuhan kepribadiannya. Perempuan seringkali hanya dipersepsikan pada tugas seputar: dapur, kasur dan sumur (masak, macak dan manak).
Ironisnya pemikiran ini diterima secara luas, baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Sebenarnya jika merunut latar belakangnya, pemikiran tersebut di atas muncul secara berangsur-angsur dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak mendasari cara berfikirnya dengan ilmu melainkan hanya mengikuti pandangan-pandangan yang sudah umum. Masyarakat menilai sosok perempuan hanya berdasarkan tampilan fisik saja. Perempuan memang diciptakan indah, lembut dan emosional. Namun bukan berarti mudah untuk dieksploitasi. Hal ini yang sering mengakibatkan banyak permasalahan-permasalahan seperti diatas muncul. Permasalahan TKW, PRT, buruh perempuan, eksploitasi seksual dan sebagainya.
Seandainya saja masyarakat atau bahkan perempuan itu sendiri mau mendudukkan persoalan “kodrat” itu pada posisi yang benar sebagaimana ada dalam Al-Qur’an, sudah tentu pola pikir yang terbentuk akan terarah dan justru akan menuju pada kemuliaan perempuan itu sendiri.
Sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah SWT pada surat Al Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Selanjutnya, pada surah Al-Nahl ayat 97: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Pada kedua ayat di atas, sama sekali tidak menunjukkan perbedaan seksual, melainkan menunjuk manusia untuk berbuat baik. Jadi pada prinsipnya laki-laki perempuan boleh melakukan apa saja selagi dalam koridor kebaikan. Berbagai kondisi perempuan yang bersifat fisik dan karakter hanyalah pijakan bagi perempuan untuk melakukan sebuah kebaikan sesuai keadaan fisik yang sudah dikodratkan. Dan kondisi seperti ini tidak bisa diubah.
Pada kenyataannya jika perempuan berdalih ingin bebas berpakaian sebagaimana laki-laki, maka itu akan mengundang perilaku menyimpang dari laki-laki yang memang dikodratkan tertarik kepada keindahan perempuan, jika perempuan berdalih tidak ingin memiliki anak atau tidak mengasuh anak maka realitanya dititik akhir perempuan akan sangat merindukan membelai anak karena kodratnya mereka memiliki kasih sayang yang lebih dibanding laki-laki. Jika perempuan berdalih dia cukup kuat untuk hidup sendiri dengan menanggung seluruh nafkah hidupnya pada kenyataannya perempuan sangat menyukai diperlakukan seperti ratu oleh laki-laki.
“Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama”
Jadi fakta-fakta tentang kodrat ini sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Tinggal bagaimana perempuan harus melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan penghargaan orang lain terhadap dirinya meningkat dengan segala kelebihan kodrat yang dimilikinya. Perempuan harus cerdas, maka memperjuangkan kepentingan meningkatkan ruang pendidikan hingga ranah politik sangat penting, sehingga tidak perlu perempuan menunjukkan ketidakberdayaannya sampai menuntut kuota dalam parlemen karena hal itu akan berjalan dengan sendirinya apabila kualitas perempuan lebih ditunjukkan ketimbang hal-hal yang bersifat fisik. Pada koridor inilah sebaiknya perempuan berpolitik.
Perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang sama dalam penciptaan, pengaturan, dan perbaikan masyarakat. Lebih dari itu pada dasarnya perempuan dan laki-laki merupakan pondasi masyarakat dan keduanya akan memperoleh buah dari amal baiknya dan juga merasakan dampak perbuatan buruknya di mayarakat.
Sebagaimana dalam teori klasik Aristoteles, “Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.” Maka berpolitiknya perempuan bisa diawali dari bagaimana memperbaiki citra diri dengan kembali kepada fitrahnya. Melakukan segala kebaikan untuk masyarakat luas dengan tetap menyesuaikan keadaan diri sesuai kodratnya. Dan ini adalah kepentingan yang sangat perlu diperjuangkan.
*Ketua Biro Kajian Perempuan dan Anak
Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) DPD PKS Kota Magelang
PKS - KotaMagelang
Silakan klik:
Lengkapi Kebutuhan Anda
Posting Komentar