Saber Mashhour, menulis sebuah artikel berjudul “Paus Al-Azhar, Seorang Sekular Bikinan Perancis”
Syeikhul Azhar, Ahmad Ath-Thayib (inet) |
Setelah tertekan dengan demonstrasi besar-besaran di Rab’ah, Nahdha, dan tempat-tempat yang lain, As-Sisi menggunakan kekuatan fatwa untuk membubarkannya. Mulai dari fatwa larangan mendemo pemerintah yang sah, hingga fatwa membolehkan membunuh para demonstran.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya, mengapa ulama sekaliber Syekhul Azhar dan mantan mufti bisa diperalat mereka? Saber Mashhour, seorang penulis dan peneliti bidang militer di Mesir, dalam situs Partai Buruh setempat, elsyaab.org, Ahad 25 Agustus 2013 menulis sebuah artikel berjudul “Paus Al-Azhar, Seorang Sekular Bikinan Perancis”
“Beliau juga digelari Syekh Akbar, tapi tidak pernah khutbah”
Di awal artikelnya, Mashhour mempertanyakan keanehan nama imam dan syekh bagi Dr. Ahmad Thayyib, “Beliau digelari imam akbar, tapi tidak pernah mengimami shalat. Beliau juga digelari syekh akbar, tapi tidak pernah khutbah. Oleh karena itu, sebenarnya syekh adalah seorang sekular yang diimpor dari Perancis lalu diberi pakaian Al-Azhar dan disebut sebagai seorang Syekhul Azhar.”
Mashhour juga mempertanyakan keberadaan Ath-Thayib di Perancis, “Ketika masih muda dan segar, beliau dikirim ke Perancis. Tinggal di rumah sebuah keluarga Perancis. Hanya Allah SWT. yang Tahu apakah keluarga itu baik-baik atau sebaliknya.”
Mashhour membuat sebuah analisis sederhana tentang belajar di negeri non Islam, Beliau belajar di Universitas Sorbonne. Yang mengajarinya tentang Islam adalah profesor-profesor Kristen dan atheis. Aku bertanya, bisakah seorang Kristen diajari agamanya oleh ulama muslim diangkat menjadi paus?
Bisakah seorang paus mengenal Kristen melalui pengajaran ulama muslim yang memang tidak mengimani akidah kristen mereka?
“Seperti itulah Ath-Thayib, mengenal Islam dari para pemikir Kristen, yang mereka menganggap Islam sebagai sebuah bid’ah hasil rekaan Muhammad,” ungkapnya.
Setelah itu, Mashhour menyinggung tentang gerak politik Ath-Thayib, “Beliau bergabung dengan Partai Nasional Demokrat, yang merupakan partai sekular. Beliau sama sekali tidak mengenakan pakaian kebesaran Al-Azhar sekembalinya dari Perancis. Tapi begitu didaulat menjadi seorang mufti, beliau langsung mengenakannya karena sekadar mempertimbangkan sisi kepantasan. Begitupun setelah dipindahkan menjadi pemimpin lembaga Al-Azhar, beliau langsung melepaskan kembali pakaiannya, dan melaporkan daftar panjang mahasiswa yang kontra dengan Mubarak.”
Terakhir, Mashhour mempertanyakan paradoksi fatwa politik Ath-Thayib, “Dimasa rejim Mubarak, beliau mengharamkan demonstrasi dan protes melawan Mubarak. Ketika Mubarak jatuh, beliau mengumumkan diri bersama revolusi. Di masa Presiden Mursi, beliau membolehkan demonstrasi melawan seorang pemimpin muslim yang dipilih oleh rakyatnya. Lalu memfatwakan bolehnya menggulingkan beliau untuk digantikan oleh seorang pemimpin sekular. Setelah kudeta dilakukan, beliau kembali mengatakan bahwa demonstrasi melawan pemerintah adalah haram.” (msa/dkw/elsyaab)
DAKWATUNA.COM
Ajari Anak-anakmu Berenang
Silakan klik:
Lengkapi Kebutuhan Anda
Posting Komentar