Selain di pengolahan sarang burung walet, anak-anak Muara Angke yang masih di bawah umur juga banyak dipekerjakan sebagai pengupas kerang. Sebagian lainnya menjadi korban trafficking dan dikirim sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri, terutama Taiwan. Eksploitasi seksual juga dialami oleh sebagian anak
(Foto: Istimewa/FB Mahmud Hasibuan) |
Mahmud Hasibuan, Ketua Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Anak (LPPA) Muara Angke mengatakan air bersih memang susah didapat di pemukiman yang berada persis di seberang Cagar Alam Muara Angke tersebut. Seperti dalam foto lusuh di dinding tripleks tersebut, air bersih kadang harus diambil dari limbah.
"Memanfaatkan air limbah saja. Diambil, dimasukkan wadah lalu ditunggu mengendap. Itu biasanya untuk mandi dan cuci piring, kalau untuk masak sih beli," kata Mahmud saat dijumpai di Sekretariat LPPA Muara Angke, Jakarta Utara baru-baru ini, seperti ditulis Senin (22/7/2013).
Padahal, rumah-rumah di pemukiman tersebut umumnya tidak punya saluran pembuangan limbah sendiri. Buruknya sanitasi tampak dari sarana MCK (Mandi Cuci Kakus) yang tidak punya saluran sendiri, sehingga buang air besar pun langsung ke air yang menggenang di bawah rumah.
(Foto: Istimewa/FB Mahmud Hasibuan) |
Selain di pengolahan sarang burung walet, anak-anak Muara Angke yang masih di bawah umur juga banyak dipekerjakan sebagai pengupas kerang. Sebagian lainnya menjadi korban trafficking dan dikirim sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri, terutama Taiwan.
Eksploitasi seksual juga dialami oleh sebagian anak, meski Mahmud mengaku tidak tahu persis angkanya. Beberapa anak yang menjadi pekerja seks di daerah Mangga Besar Jakarta Pusat misalnya, umumnya langsung mengambil jarak, sehingga Mahmud kesulitan merangkulnya kembali untuk didampingi.
Salah seorang relawan LPPA Muara Angke, Daniri (22 tahun) juga membenarkan bahwa anak-anak di daerah tersebut rentan menjadi korban perdagangan manusia. Ia sendiri bahkan mengaku punya pengalaman hampir dijual saat dirinya masih duduk di bangku SMP.
"Waktu itu agen datang nawarin kerja di luar dengan gaji gede katanya. Nah ibu saya kan aslinya dari Indramayu. Di sana, kerja di luar negeri itu image-nya pasti cepat kaya. Makanya waktu itu ibu saya mikir, kenapa saya nggak ikut seperti itu saja," tutur Daniri.
Andai waktu itu Daniri menurut saja, mungkin ia tak akan pernah menikmati duduk di semester 6 Fakultas Ekonomi Universitas Bung Karno seperti sekarang ini. Beruntung, ia bisa meyakinkan ibunya bahwa yang ia paling butuhkan pada waktu itu adalah pendidikan.
Bersama Mahmud dan rekan-rekannya yang lain di LPPA Muara Angke, Daniri kini berjuang agar anak-anak dari kampung nelayan yang kumuh itu tumbuh sehat dan bisa mengenyam pendidikan seperti yang selama ini ia dapatkan. Sedikitnya ada 358 anak yang kini menjadi bimbingannya.
Sebagian relawan LPPA Muara Angke: Ridwan, Asrof, Mahmud, Daniri (Foto: Uyung/detikcom) |
"Ini rumah sementara, swadaya dari warga. Kemarin, jembatan bambu di depan itu lapuk dan sering ada yang jatuh ke lumpur. Waktu kita komunikasikan, warga pun gotong royong membantu memperbaiki," kata Mahmud tentang sekretariat sementaranya yang dibangun setelah sekretariat lama ludes saat kebakaran hebat melanda pemukiman tersebut pada 2011.
DETIK.COM | PPNSI.Org
Silakan klik:
Posting Komentar