Biasanya pejuang HAM getol menyuarakan hak-hak minoritas. Tapi pembelaan itu tak pernah dirasakan oleh etnis paling sedikit di dunia, Rohingya, termasuk dari seorang Aung San Suu Kyi, Sang peraih Nobel Perdamaian
Mafaza-Online.Com | INTERNASIONAL- Menjadi seorang minoritas sungguh suatu hal menyiksa. Di pelbagai belahan bumi mana pun, minoritas kerap mendapat perlakuan tidak adil, diejek, dihina, dikucilkan, tak dianggap, meski demikian banyak pihak mencoba menjadi perantara mereka terhadap mayoritas. Tapi pembelaan itu tak pernah dirasakan oleh etnis paling sedikit di dunia, Rohingya.
Rohingya sejak dulu hidup penuh rasa takut di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Ironisnya tak satu pun dari dua negara ini mau mengakui mereka. Warga seluruhnya muslim itu hidup di kamp pengungsian dibangun ala kadarnya di pinggiran Kota Rakhine, wilayah asal pecah konflik Buddha-Islam. Mereka yang beruntung bisa sukses punya bisnis di kota-kota namun perlakuan diskriminatif pun tak hilang.
Paling nahas bagi Rohingya, perhatian tak kunjung ada dari kelompok hak asasi di sekitar mereka. Padahal Myanmar rumah bagi seorang pejuang kemanusiaan paling tersohor sejagat, Aung San Suu Kyi. Sang peraih Nobel Perdamaian, dipandang sebagai pembela kemanusiaan, dan penjaga moral seperti dilansir stasiun televisi CNN (15/4).
Namun itu semua sirna lantaran hingga kini dia masih saja bungkam soal penderitaan Rohingya. Tak ada yang mengerti mengapa Suu Kyi yang pernah populer lantang membicarakan kemanusia tiba-tiba menjadi macan ompong sakit gigi yang ogah bicara dan cenderung menghindari publik jika ingin mengetahui pendapatnya soal Rohingya.
"Dia sudah berubah. Dia sudah sangat mengecewakan," ujar peneliti senior kelompok hak asasi Human Right Watch (HRW) David Mathieson.
Penderitaan demi penderitaan muslim Rohigya seolah hanya menjadi tontonan bagi Suu Kyi. Direktur Eksekutif HRW Kennneth Roth mengatakan mereka yang pernah menjadi korban pelanggaran hak asasi belum tentu bisa membela hak asasi.
Meski tak ada jaminan namun banyak orang berharap Suu Kyi sedikit bersuara, komentar apa saja, atau melakukan sesuatu yang bisa menghentikan pertumpahan darah. Namun ini tidak dilakukannya. Dia mengecewakan bukan hanya warga Rohingya namun juga dunia.
Padahal jelas, menurut kelompok pembela hak asasi Fortify Rights pemerintah Myanmar melakukan diskriminasi dan mereka memiliki dokumen atas tindakan itu. Mereka punya data dan fakta pemerintah Burma justru sengajar menyiarkan kebencian pada muslim Rohingya.
Ada sekitar selusin dokumen sejak 1993 menyebutkan pemerintah Myanmar telah membatasi kebebasan dasar Rohingya di Rakhine. "Termasuk membuat kelompok, menikah, melahirkan, perbaikan rumah, dan pembangunan tempat ibadah semua harus sesuai persetujuan pemerintah," demikian laporan itu menuliskan.
Laporan itu juga menyebutkan muslim Rohingya menikah dilarang memiliki lebih dari dua anak. Pada laporan lain disebutkan mereka bahkan harus mengajukan izin jika ingin menikah.
Larangan-larangan itu sudah lama didengar tapi yang baru-baru ini diungkapkan adalah larangan itu dikampanyekan oleh pemerintah lokal di Rakhine. Di sana warga Buddha khawatir jika populasi muslim Rohingya suatu hari akan menjadi mayoritas.
Apa pun bentuknya penindasan atas hak asasi tentu merupakan kejahatan, namun lebih jahat mereka yang mengetahui kejahatan tetapi tak bertindak apa pun untuk mengubahnya. Nampaknya Nobel Perdamaian Suu Kyi harus dianulir.
MERDEKA.COM
Silakan klik:
Rumah Dijual di Alamanda Regency Bekasi
Posting Komentar