Nelayan | (Foto: Panoramic.com) |
Oleh: Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MS
Orientasi pembangunan daerah khususnya daerah pesisir sudah saatnya menjadikan sektor kelautan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Daerah-daerah ini hendaknya mempertimbangkan dan menjadikan potensi kelautan sebagai salah satu pintu pembangunan ekonomi.
Sebagaimana yang terjadi sejak lebih dari tiga dekade yang lalu, pemerintah daerah terkesan mengesampingkan potensi pesisir dan kelautan. Mereka lebih memprioritaskan perhatiannya pada sektor-sektor lain. Padahal catatan sejarah menunjukkan bahwa dalam beberapa abad lamanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan peradaban yang berada di wilayah Nusantara ini memiliki kekuatan ekonomi dan politik dengan berbasis pada sumberdaya kelautan. Pada saat itu, laut telah menjadi media hubungan nasional dan internasional, serta menjadi kawasan penting secara politik, ekonomi dan keamanan.
Sejumlah kerajaan seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Demak pernah berjaya di bumi Nusantara dengan mernbangun basis ekonomi dan politik di wilayah pesisir.
Sampai sekarang sisa-sisa dari budaya berbasis bahari ini masih terlihat di beberapa suku bangsa Indonesia. Bahkan Suku Laut, sebuah komunitas masyarakat yang hidup di wilayah perairan Riau, umpamanya, keberadaannya tetap tak terlepas dari laut. Komunitas ini tidak saja menggantungkan hidup dari hasil laut sebagaimana nelayan pada umumnya, tapi justru menyatu dengan laut. Selama berabad-abad mereka mampu tetap eksis dengan bertumpu pada hasil laut.
Namun dalam perjalanan sejarahnya, melalui proses sosial politik yang panjang, kemudian terjadilah pergeseran perhatian dari laut ke darat. Dari negara maritim ke negara agraris. Ketika Indonesia mulai menapaki kemerdekaannya, pemerintah menerapkan garis kebijaksanaan pembangunan yang agraris-minded. Kebijaksanaan itu terus berlanjut dan bahkan kian kental di masa pernerintahan Orde Baru.
Sebagai konsekuensi dari orientasinya yang agraris-minded, menjadikan laut terlupakan dan kehilangan maknanya. Karenanya tidak heran kalau pada masa Orde Baru, soal-soal kelautan, pesisir dan perikanan berada dalam sub bidang dalam satu program pembangunan. Justru di sinilah ironisnya, bahwa selama lebih dari tiga dasa warsa pelaksanaan pembangunan nasional, sektor kelautan masih diabaikan. Kelautan dianggap sebagai sektor pinggiran
Baru kemudian di era reformasi, kesadaran untuk menjadikan pembangunan berbasis sumberdaya kelautan merupakan arus utama pembangunan nasional kita, mulai mendapatkan perhatian yang lebih baik. Ini tercermin dari keputusan politik bangsa sebagaimana tercanturn dalam Garis-garis Besar haluan Negara (GBHN) tahun 1999. Keputusan politik bangsa tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Departbmen Kelautan dan Perikanan yang bertanggungjawab atas bidang kelautan dan perikanan.
Berbasis Kelautan
Tuntutan pembangunan berbasis sumberdaya kelautan dijadikan arus utama dalam pembangunan bangsa kita merupakan suatu hal yang wajar dan relevan. Dari sisi sosial dan budaya, pembangunan berbasis kelautan merupakan penemuan kembali (reinventing) aspek kehidupan yang pernah secara dominan ada dalam budaya dan tradisi kita sebagai bangsa.
Konsep pembangunan berbasis kelautan selain merupakan tuntutan kebijaksanaan pembangunan nasional, juga sekaligus menjadi tuntutan pembangunan daerah selaras dengan era otonomi daerah. Berdasar paradigma ini, pembangunan daerah hendaknya memberi arahan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan daerah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi (kemakmuran), pemerataan kesejahteraan (keadilan sosial), dan terpeliharanya daya dukung ekosistem pesisir dan lautan secara seimbang.
Untuk mengimplementasikan paradigma pembangunan ini pada tataran praktis (kebijakan dan program) pembangunan, maka ada prasyarat-prasyarat keharusan (necessary conditions), yakni: prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan pembangunan kelautan; penataan ruang dan prioritas pembangunan di wilayah pesisir dan lautan; agenda kebijakan pembangunan industri dan jasa kelautan; pengembangan sumberdaya kelautan non-konvensional; dan pengembangan SDM dan iptek kelautan.
Pencapaian hasil pembangunan di sektor yang berbasis kelautan selama ini memberikan gambaran yang beragam. Dari subsektor yang dapat digolongkan sebagai lapangan-lapangan usaha di sektor kelautan yaitu perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, industri maritim, angkutan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan, tampak hanya sektor pertambangan dan energi saja yang telah memberikan hasil dan sumbangan yang nyata terhadap perekonomian bangsa. Sementara sektor-sektor lainnya walaupun secara potensial sangat besar, hasil-hasil yang dicapai masih jauh dari harapan.
Belum optimalnya pencapaian sektor kelautan disebabkan pengelolaannya sejauh ini sangat diwarnai oleh regim yang bersifat open access (siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan berapa saja boleh mengeksploitasi sumberdaya alam kelautan). Ciri lainnya bersifat sentralistik (top-down); dan seragamisasi, kurang atau tidak memperhatikan keragaman biofisik alam dan sosial-kultural masyarakat lokal (daerah). Lebih jauh, antara kelompok pelaku pembangunan kelautan besar dan komersial (sektor modern) dengan kelompok usaha kecil dan subsistem (sektor tradisional) yang jumlahnya jauh lebih besar, kurang terjadi sinergi bahkan cenderung saling mematikan.
Apabila kenyataan seperti itu tidak segera diperbaiki, maka harapan untuk menjadikan pembangunan berbasis sumberdaya kelautan sebagai arus utama (mainstream) pembangunan bangsa untuk keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan dan sekaligus menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang maju, makmur, mandiri dan berkeadilan, akan sia-sia. Sebaliknya, kita akan mewariskan kepada generasi penerus ekosistem pesisir dan lautan dengan kekayaan alam terkuras dan kemampuan untuk mendukung pembangunan yang jauh menurun atau habis. Oleh karenanya reorientasi pembangunan berbasis sumberdaya kelautan harus berdasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (sustainable development).
Sejalan dengan era otonomi daerah dimana sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999, terjadi pergeseran kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya yang ada dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dalam hal ini daerah menjadi lebih berperan. Perubahan tersebut membawa konsekuensi tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola wilayah* kelautannya, yang merupakan bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Pintu Ekonomi
Pengalaman krisis ekonomi yang melanda Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan pertumbuhan ekonomi dengan mengambil strategi pembangunan industri melalui substitusi impor, ternyata menjadi bumerang bagi Indonesia. Langkah pembangunan itu selain membutuhkan biaya mahal dan ketergantungan besar terhadap investasi, teknologi dan bahan baku, juga menciptakan ketergantungan politik kepada negara-negara industri maju.
Industri dengan titik berat pada usaha mengejar pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan menjadi prioritas Pemerintah Orde Baru. Sektor-sektor industri seperti tekstil elektronika, baja dan mesin otomotif, dibangun melalui kebijakan industrialisasi padat rtiodal dengan memanfaatkan keunggulan tenaga kerja dalam negeri yang murah. Agar proses produksi dapat berjalan maka kelangkaan bahan baku industri dipenuhi dengan mengimpor dari luar, termasuk produk atau komoditas pertanian.
Strategi pembangunan ekonomi di Indonesia mengikuti kecenderungan tersebut ternyata memerosokkan Indonesia dalam krisis ekonomi. Belajar dari kasus tersebut pemerintah hendaknya menerapkan strategi baru dengan berusaha melepaskan diri dari ketergantungan-ketergantungan tersebut. Dalam kaitan ini pemerintah perlu meningkatkan kemampuan produksi nasional melalui pelebaran kapasitas produksi yang bersumber dari sektor-sektor baru, termasuk sektor kelautan dan perikanan.
Sektor ini merupakan salah satu sektor unggulan baru di Indonesia yang realitis mengingat potensi produksi yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditi atau produk kelautan perikanan yang terus meningkat.
Optimalisasi sektor pertumbuhan baru itu akan lebih strategis dan efektif bila berbasis pada potensi daerah. Artinya, Pemerintah Pusat dan Daerah bekerjasama mengembangkan kawasan-kawasan ekonomi yang berbasis kelautan-perikanan. Dalam hal ini daerah-daerah pesisir perlu mengoptimalkan pendayagunaan potensi kelautan sebagai salah satu pintu pengembangan ekonomi daerah. Sejumlah daerah di Indonesia seperti Maluku, Sulawesi Selatan, Riau, NTT, Jawa Timur, merupakan daerah-daerah yang potensial mengembangkan ekonomi dengan basis kelautan.
Sementara itu peranan sumberdaya kelautan sendiri meliputi beberapa aspek seperti ekonomi, ekologis, pertahanan dan keamanan, serta pendidikan dan penelitian. Secara ekonomis, sumberdaya kelautan merupakan kegiatan ekonomi atau yang menunjang kegiatan ekonomi yang dilakukan di wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian ruang lingkup kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya kelautan sangat luas dan beragam, termasuk di antaranya sektor perikanan tangkap dan budidaya, industri pengolahan, bioteknologi, pertambangan dan energi, perhubungan laut, industri kapal, bahan bioaktif, mikoflora dan fauna laut, jasa kelautan, wisata bahari, hutan pantai, pulau-pulau kecil, benda-benda berharga, dan sebagainya. Semuanya itu bila dapat dimanfaatkan secara optimal dapat bernilai ekonomis yang sangat besar.
Dari kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya kelautan yang sangat luas dan beragam sebenarnya potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dan disumbangkan bagi pembangunan bangsa sangat luar biasa besarnya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa dalam tahun 1998 kontribusi PDB menurut lapangan usaha adalah pertanian 12,62%, pertambangan dan penggalian 4,21%, industri manufaktur 19,92%, jasa-jasa 41,12% dan sumbangan kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya kelautan 20,06% (Kusumastanto, 2001).
Fakta tersebut menunjukkan bahwa sumbangan kegiatan ekonomi berbasis kelautan masih kecil dengan potensi yang dimilikinya. Apalagi bila dibandingkan dengan negara lainnya yang memiliki sumberdaya kelautan lebih kecil dari Indonesia yaitu Cina dan Jepang dimana kontribusi ekonomi berbasis kelautannya sebesar 48,40% dan 54%. Fakta ini juga semakin menegaskan bahwa memang selama ini pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya kelautan masih belum diperhatikan selayaknya.
Kini sudah saatnya Pemerintah Daerah dituntut agar mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan kekayaan laut dan pesisir guna mendukung pembangunan daerah. Dengan kata lain, daerah-daerah di kawasan pesisir sudah seharusnya meletakkan dasar pembangunannya dengan basis kelautan. Lebih dari itu, hendaknya mereka mampu memanfaatkan segenap potensi kelautan-perikanan sebagai salah satu pintu pengembangan ekonomi daerah.
Sebelumnya: Sektor Kelautan sebagai Pintu Ekonomi Daerah ( bagian 1)
Silakan diklik:
Kesederhanaan, kesantunan,
dan keteguhan dalam memegang prinsip dari para tokoh Partai Masjumi bisa
menjadi teladan bagi para aktifis Islam yang berjuang di lapangan politik
Posting Komentar