Tanah di sekitar kota Kuningan, Jawa Barat, masih basah oleh gerimis tadi malam. Dedaunan yang rimbun itu runduk karena diberati air hujan. Tunduk bak seorang sufi dalam tafakurnya. Tes, tes, tes begitu bunyinya ketika hujan menimpa batu. Merdu ibarat kidung shalawat yang dilantunkan seorang ibu ketika meninabobokan si Buah Hati tersayang. Simfoni maha dahsyat sedang digelar oleh sang Maha Pencipta.
“Kita jalan sekarang aja, yuk!” saranku pada Iyang.
“He-eh. Mumpung masih pagi. Seger,” jawabnya.
Tak lama kami sudah berada di dalam perut minibus tujuan Cirebon. Kulirik Iyang, si bungsu itu sedang asyik membentuk lingkaran halo dari embun yang masih menempel di kaca. Dari situ dia mengintip Ciremai, gunung tertinggi di provinsi Jawa Barat yang masih diselimuti kabut.
“Ada apa sih di puncak gunung, kok senang sekali naik turun gunung, Kak?” Tanya Iyang, setengah berteriak menandingi deru mesin. Atau, mungkin karena minibus ini berjalan di daerah pegunungan sehingga kuping kami jadi bindeng. Kuamati supir itu, dia melahap tikungan tajam dan menurun dengan kenikmatan full tiada tara. Kaca depan Jadi serasa dilayar PS (Play station)
“Ya karena gunung itu ada di sana,“ jawabku diplomatis.
Iyang nyengir bajing.
“George Mallory bilang "Because it's there",” kataku mengutip ucapan pendekar gunung, penakluk Everest, 8… mdpl gunung tertinggi di dunia.
“Ya kalau gunung itu ada di sini bukan gunung,” ujar Iyang sambil meninju bahuku. Keki.
Sepanjang jalan kami terus ngobrol tentang apa saja. Iyang terlihat begitu gembira, mungkin karena baru saja lepas dari rutinitas di pesantren.
Usai mendaki puncak Ciremai untuk kelima kalinya ini, aku sengaja memisahkan diri dari grupku. Bapak berpesan agar aku menyempatkan diri untuk mampir ke tempat adikku Iyang, yang sedang nyantri di Husnul khotimah, pondok pesantren modern di kaki gunung Ciremai, tepatnya di desa Manis Kidul.
Setengah jam kemudian, minibus masuk ke terminal Cirebon. Memang untuk sampai ke Jakarta kalau suasana liburan seperti ini jarang ada bis yang kosong. Alternatifnya, kita ke Cirebon dulu dengan minibus. Lalu nyambung dengan bis ke Jakarta.
Kami memilih bangku tengah yang berbaris tiga agar lebih leluasa. Kebetulan isi bis baru separuhnya. Setengah jam berlalu, tapi bis tetap tidak bergerak meskipun penumpang sudah cukup banyak dan mulai gelisah karena panas. Sopir bis yang kami tumpangi kelihatan cuek saja, bahkan asyik bercanda dengan mbakyu penjaja jamu gendong. Aduh, mangkelnya hati ini.
Setengah sadar aku merasakan seorang ibu tua berkerudung melintas di sampingku. Ibu itu mendapat tempat di atas kap mesin. Ternyata di belakang ibu itu menguntit seorang wanita. Refleks aku bangkit dan mempersilakannya agar duduk di paling pinggir dekat kaca.
Akhirnya bus pun berangkat ah..senangnya. iyang pun mulai berceloteh lagi. Entah bagaimana awalnya, kami membincangkan Cigugur, sebuah desa di kaki Ciremai yang menjadi perkampungan Kristen. Padahal tadinya warga Cigugur itu penganut animism-aliran Madrais- lalu beralih ke Kristen. Kenapa tidak ke Islam? Padahal penduduk Kuningan mayoritas muslim. Kemana da’i-da’inya ya?
Kami terus mengobrol. Kadang-kadang Iyang menggunakan bahasa Arab ketika bercerita. Alhamdulilah aku bisa meladeninya. Meskipun aku bukan anak pesantren, aku masih punya waktu untuk belajar bahasa Arab sambil kuliah.
Obrolan kami terhenti ketika sampai di Cikampek. Bis yang kami tumpangi berhenti untuk mengisi bahan bakar. Beberapa orang turun, termasuk wanita yang duduk di samping Iyang.
“Kak Imung, Iyang turun dulu ya. Mau pipis,”
“Jangan lama-lama. Nanti ketinggalan, lho.” Iyang hanya tertawa kecil.
Beberapa menit berlalu, tapi Iyang belum muncul juga. Aku mulai gelisah. Duh, kemana anak ini?
Aku segera turun dari bis, dan mulai celingak-celinguk. Tiba-tiba terdengar suara Iyang memanggilku. Aku berbalik. Kulihat Iyang berjalan tergesa ke arahku. Jilbab hijaunya berkibar tertiup angin. Begitu ia mendekat segera kulihat matanya basah. Tentu saja aku kaget.
“Kak, ibu itu…” ucap Iyang sambil menghapus air matanya.
“Kenapa?”
“Ibu itu ternyata mendengarkan semua obrolan kita. Dan ia ternyata bisa berbahasa Arab!”
“Ah, masa?!”
“Betul, Kak. Ternyata ia anak seorang ajengan,” kata Iyang dengan mimik serius. “Kakak mau tahu namanya. Namanya Christina!”
Aku melongo.
“Dulu namanya Komariyah. Tapi begitu pindah agama, namanya diganti,“ cerita Iyang tanpa kuminta. “Kira-kira tujuh tahun yang lalu, desanya kena musibah sehingga panen gagal. Lalu datang orang asing menawarkan bantuan. Tentu saja penduduk desa merasa senang. Bahkan orang itu bersedia masuk Islam. Dan ketika ia melamar ibu itu, semua orang merasa senang.”
“Lalu setelah menikah dan punya anak, orang itu murtad dan memaksa ibu itu pindah agama,” potongku cepat. Iyang mengiyakan.
Hhh, aku menghela nafas panjang. Cerita klasik. Bahkan ada yang menganggap isu, tapi kali ini aku menghadapi kenyataannya. Ludahku jadi terasa pahit.
“Ibu itu sekarang sedang ke Rumah Sakit Bekasi, ingin menengok anak tunggalnya. Sepekan yang lalu suami dan anaknya itu mengalami kecelakaan. Suaminya meninggal di tempat kejadian, sedangkan anaknya selamat. Dia ke Kuningan untuk ziarah ke makam ayahnya. Setelah ibu itu pindah agama, ajengan itu sakit-sakitan dan meninggal setahun yang lalu…”
Aku tertegun. Cerita Iyang membuat dadaku nyeri. Sejenak aku tidak berkata apa-apa. Pikiranku melayang-layang. Rumah Sakit Bekasi? Mengapa aku tidak ke sana saja? Semangat petualanganku muncul tiba-tiba. Aku harus mengambil keputusan sekarang. Ya, sekarang! Tapi, bagaimana dengan Iyang.
“Kasihan ya Kak, ibu itu. Andai kita bisa menolongnya,” kata Iyang pelan.
Kutoleh Iyang dengan seulas senyum. Dia membalas dengan anggukan cepat.
****
Tiga tahun berlalu.
Tanah di sekitar kota Kuningan masih basah oleh gerimis tadi malam. Dedaunan yang rimbun itu runduk karena diberati air hujan. Tunduk bak seorang sufi dalam tafakurnya. Tes, tes, tes begitu bunyinya ketika jatuh menimpa batu. Merdu ibarat kidung shalawat yang dilantunkan seorang ibu ketika meninabobokan si buah hati tersayang. Simponi maha dahsyat sedang digelar oleh Sang Maha Pencipta.
Kuningan, kurang lebih 350 kilometer timur Jakarta. Sebuah kota yang akrab dengan hal-hal yang berbau mistik, dan mantra. Kota ini kupilih untuk merintis sebuah pondok pesantren peternakan. Hal ini kuputuskan setelah aku meraih gelar insinyur. Dan Iyang pun sudah selesai nyantri.
Seorang perempuan berjilbab biru kelihatan asyik memberi pakan ayam. Ceria ia bersenandung, seolah-olah tidak mau kalah dengan kicau burung di pepohonan. Suara kotek ayam menjadi musik alami yang menyertai senandungnya. Di sini, dari tempatku berdiri, kutatap perempuan itu. Sadar diperhatikan perempuan itu menoleh dan tersenyum simpul. Aku pun bergembira melihat kegembiraan istriku itu. Ya, perempuan itu adalah istriku. Komariyah namanya.
Oleh: Eman Mulyatman
Kuningan, 1998
Kado ulang tahun buat Ibrahim, jundiku
“Kita jalan sekarang aja, yuk!” saranku pada Iyang.
“He-eh. Mumpung masih pagi. Seger,” jawabnya.
Tak lama kami sudah berada di dalam perut minibus tujuan Cirebon. Kulirik Iyang, si bungsu itu sedang asyik membentuk lingkaran halo dari embun yang masih menempel di kaca. Dari situ dia mengintip Ciremai, gunung tertinggi di provinsi Jawa Barat yang masih diselimuti kabut.
“Ada apa sih di puncak gunung, kok senang sekali naik turun gunung, Kak?” Tanya Iyang, setengah berteriak menandingi deru mesin. Atau, mungkin karena minibus ini berjalan di daerah pegunungan sehingga kuping kami jadi bindeng. Kuamati supir itu, dia melahap tikungan tajam dan menurun dengan kenikmatan full tiada tara. Kaca depan Jadi serasa dilayar PS (Play station)
“Ya karena gunung itu ada di sana,“ jawabku diplomatis.
Iyang nyengir bajing.
“George Mallory bilang "Because it's there",” kataku mengutip ucapan pendekar gunung, penakluk Everest, 8… mdpl gunung tertinggi di dunia.
“Ya kalau gunung itu ada di sini bukan gunung,” ujar Iyang sambil meninju bahuku. Keki.
Sepanjang jalan kami terus ngobrol tentang apa saja. Iyang terlihat begitu gembira, mungkin karena baru saja lepas dari rutinitas di pesantren.
Usai mendaki puncak Ciremai untuk kelima kalinya ini, aku sengaja memisahkan diri dari grupku. Bapak berpesan agar aku menyempatkan diri untuk mampir ke tempat adikku Iyang, yang sedang nyantri di Husnul khotimah, pondok pesantren modern di kaki gunung Ciremai, tepatnya di desa Manis Kidul.
Setengah jam kemudian, minibus masuk ke terminal Cirebon. Memang untuk sampai ke Jakarta kalau suasana liburan seperti ini jarang ada bis yang kosong. Alternatifnya, kita ke Cirebon dulu dengan minibus. Lalu nyambung dengan bis ke Jakarta.
Kami memilih bangku tengah yang berbaris tiga agar lebih leluasa. Kebetulan isi bis baru separuhnya. Setengah jam berlalu, tapi bis tetap tidak bergerak meskipun penumpang sudah cukup banyak dan mulai gelisah karena panas. Sopir bis yang kami tumpangi kelihatan cuek saja, bahkan asyik bercanda dengan mbakyu penjaja jamu gendong. Aduh, mangkelnya hati ini.
Setengah sadar aku merasakan seorang ibu tua berkerudung melintas di sampingku. Ibu itu mendapat tempat di atas kap mesin. Ternyata di belakang ibu itu menguntit seorang wanita. Refleks aku bangkit dan mempersilakannya agar duduk di paling pinggir dekat kaca.
Akhirnya bus pun berangkat ah..senangnya. iyang pun mulai berceloteh lagi. Entah bagaimana awalnya, kami membincangkan Cigugur, sebuah desa di kaki Ciremai yang menjadi perkampungan Kristen. Padahal tadinya warga Cigugur itu penganut animism-aliran Madrais- lalu beralih ke Kristen. Kenapa tidak ke Islam? Padahal penduduk Kuningan mayoritas muslim. Kemana da’i-da’inya ya?
Kami terus mengobrol. Kadang-kadang Iyang menggunakan bahasa Arab ketika bercerita. Alhamdulilah aku bisa meladeninya. Meskipun aku bukan anak pesantren, aku masih punya waktu untuk belajar bahasa Arab sambil kuliah.
Obrolan kami terhenti ketika sampai di Cikampek. Bis yang kami tumpangi berhenti untuk mengisi bahan bakar. Beberapa orang turun, termasuk wanita yang duduk di samping Iyang.
“Kak Imung, Iyang turun dulu ya. Mau pipis,”
“Jangan lama-lama. Nanti ketinggalan, lho.” Iyang hanya tertawa kecil.
Beberapa menit berlalu, tapi Iyang belum muncul juga. Aku mulai gelisah. Duh, kemana anak ini?
Aku segera turun dari bis, dan mulai celingak-celinguk. Tiba-tiba terdengar suara Iyang memanggilku. Aku berbalik. Kulihat Iyang berjalan tergesa ke arahku. Jilbab hijaunya berkibar tertiup angin. Begitu ia mendekat segera kulihat matanya basah. Tentu saja aku kaget.
“Kak, ibu itu…” ucap Iyang sambil menghapus air matanya.
“Kenapa?”
“Ibu itu ternyata mendengarkan semua obrolan kita. Dan ia ternyata bisa berbahasa Arab!”
“Ah, masa?!”
“Betul, Kak. Ternyata ia anak seorang ajengan,” kata Iyang dengan mimik serius. “Kakak mau tahu namanya. Namanya Christina!”
Aku melongo.
“Dulu namanya Komariyah. Tapi begitu pindah agama, namanya diganti,“ cerita Iyang tanpa kuminta. “Kira-kira tujuh tahun yang lalu, desanya kena musibah sehingga panen gagal. Lalu datang orang asing menawarkan bantuan. Tentu saja penduduk desa merasa senang. Bahkan orang itu bersedia masuk Islam. Dan ketika ia melamar ibu itu, semua orang merasa senang.”
“Lalu setelah menikah dan punya anak, orang itu murtad dan memaksa ibu itu pindah agama,” potongku cepat. Iyang mengiyakan.
Hhh, aku menghela nafas panjang. Cerita klasik. Bahkan ada yang menganggap isu, tapi kali ini aku menghadapi kenyataannya. Ludahku jadi terasa pahit.
“Ibu itu sekarang sedang ke Rumah Sakit Bekasi, ingin menengok anak tunggalnya. Sepekan yang lalu suami dan anaknya itu mengalami kecelakaan. Suaminya meninggal di tempat kejadian, sedangkan anaknya selamat. Dia ke Kuningan untuk ziarah ke makam ayahnya. Setelah ibu itu pindah agama, ajengan itu sakit-sakitan dan meninggal setahun yang lalu…”
Aku tertegun. Cerita Iyang membuat dadaku nyeri. Sejenak aku tidak berkata apa-apa. Pikiranku melayang-layang. Rumah Sakit Bekasi? Mengapa aku tidak ke sana saja? Semangat petualanganku muncul tiba-tiba. Aku harus mengambil keputusan sekarang. Ya, sekarang! Tapi, bagaimana dengan Iyang.
“Kasihan ya Kak, ibu itu. Andai kita bisa menolongnya,” kata Iyang pelan.
Kutoleh Iyang dengan seulas senyum. Dia membalas dengan anggukan cepat.
****
Tiga tahun berlalu.
Tanah di sekitar kota Kuningan masih basah oleh gerimis tadi malam. Dedaunan yang rimbun itu runduk karena diberati air hujan. Tunduk bak seorang sufi dalam tafakurnya. Tes, tes, tes begitu bunyinya ketika jatuh menimpa batu. Merdu ibarat kidung shalawat yang dilantunkan seorang ibu ketika meninabobokan si buah hati tersayang. Simponi maha dahsyat sedang digelar oleh Sang Maha Pencipta.
Kuningan, kurang lebih 350 kilometer timur Jakarta. Sebuah kota yang akrab dengan hal-hal yang berbau mistik, dan mantra. Kota ini kupilih untuk merintis sebuah pondok pesantren peternakan. Hal ini kuputuskan setelah aku meraih gelar insinyur. Dan Iyang pun sudah selesai nyantri.
Seorang perempuan berjilbab biru kelihatan asyik memberi pakan ayam. Ceria ia bersenandung, seolah-olah tidak mau kalah dengan kicau burung di pepohonan. Suara kotek ayam menjadi musik alami yang menyertai senandungnya. Di sini, dari tempatku berdiri, kutatap perempuan itu. Sadar diperhatikan perempuan itu menoleh dan tersenyum simpul. Aku pun bergembira melihat kegembiraan istriku itu. Ya, perempuan itu adalah istriku. Komariyah namanya.
Oleh: Eman Mulyatman
Kuningan, 1998
Kado ulang tahun buat Ibrahim, jundiku
Posting Komentar