Supaya tidak memiliki jalan yang berbeda, maka perlu penyamaan persepsi
Mafaza-Online.com | SURABAYA - Menteri Agama Suryadharma Ali kini mengemban tugas berat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia diminta mendamaikan dua kelompok masyarakat di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Sampang, Madura, yang berseteru sejak setahun lalu. Sebagian warga yang berpaham Sunni menyerang permukiman warga yang Syiah di sana. Sejak itu, puluhan keluarga Syiah di Sampang terusir dari kampung halamannya sendiri.
Berkat desakan internasional, Presiden SBY berjanji pengungsi Syiah bisa kembali ke kampungnya untuk merayakan Lebaran tahun ini. Artinya, Menteri Suryadharma punya waktu sekitar dua pekan untuk merealisasikan janji itu.
Usai pertemuan perdana antara warga Syiah dan Sunni yang diprakarsai Rektor IAIN Sunan Ampel, Abdul A’la, di Surabaya, Kamis, 25 Juli 2013, Suryadharma meluangkan waktu untuk berbicara pada wartawan. Berikut ini petikannya:
Apa hasil dari pertemuan perdana antara kelompok Sunni dan Syiah di Sampang ini?
Pertemuan tadi sangat bagus karena para kiai sangat terbuka dengan perdamaian. Keterbukaan mereka dasarnya kuat. Dasarnya adalah kasih sayang. Karena mereka ini juga sebenarnya guru-guru. Ada sayang guru kepada muridnya. Ada juga yang keluarga. Seperti Kiai Ali Karar dengan Iklik itu hubungannya paman dan keponakan. Ada kasih sayang karena ikatan kekeluargaan, guru dengan murid. Mereka bukan orang asing. Mereka terbuka sekali dengan perdamaian.
Apa saja yang sudah dibicarakan?
Kami membicarakan soal kasih sayang. Supaya terbuka dialog-dialog. Apa maksud kasih sayang? Bentuknya, mereka sangat menyayangi tetangganya, adiknya, keluarganya, yang punya pandangan berbeda. Mereka menyayangkan, kok, pemahamannya berbeda. Murid, anak, kok, memiliki jalan yang lain. Supaya tidak memiliki jalan yang berbeda, maka perlu penyamaan persepsi.
Jadi, dengan kata lain, pemerintah minta pengungsi Syiah bertobat?
Saya sengaja tidak menggunakan kata "tobat". Saya gunakan kata-kata "penyamaan persepsi". Di sini perlu kehati-hatian, jangan sampai kemudian upaya ini berantakan di tengah jalan. Lebih baik terlambat tapi sukses, daripada buru-buru tapi risiko gagalnya tinggi.
Oleh karena itu, kita sepakat agar mereka "dicerahkan" dulu baru pulang. Kita dahulukan "pencerahan" dulu, tidak mesti langsung 100 persen. Di pengungsian (Syiah) kan ada 69 keluarga, mungkin ada dua keluarga sudah "dicerahkan" lalu pulang. Nanti ada 10 lagi yang "dicerahkan", mereka juga pulang. Syukur-syukur bisa sekaligus. Intinya lebih cepat lebih baik. Syukur-syukur sebelum Lebaran.
Jadi, tidak ada hambatan lagi untuk memulangkan pengungsi Syiah ke Sampang?
Para kiai akan menerima mereka pulang. Tetapi supaya pulangnya mulus, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka diperlukan persamaan persepsi. Dalam rangka penyamaan persepsi, perlu ada "pencerahan". Caranya ada dua: (1) "dicerahkan" dulu baru pulang, atau (2) dipulangkan dulu baru "dicerahkan".
Sebenarnya, peran pemerintah untuk mendorong rekonsiliasi ini seperti apa?
Kami minta agar persoalan ini menjadi persoalan yang sangat lokal, untuk memudahkan penyelesaian. Semua pihak diharapkan memberi kepercayaan penuh. Lepas tangan dulu, deh. Serahkan pada pemerintah lokal dan kiai, yang kita lihat sangat terbuka untuk rekonsiliasi.
Apa maksud Anda?
Ini kan persoalan Sampang. Serahkan pada Sampang. Masalah Sampang serahkan pada ulama Sampang. Paling luas ulama Madura. Sudah di situ saja, jangan sampai keluar dulu.
Mengapa?
Karena merekalah yang mengerti budaya dan karakteristik masyarakat Sampang. Kebanyakan yang di luar itu menggeneralisir saja, berpikir di tataran yang ideal. Padahal, kalau yang ideal dibawa ke tataran sosial, hasilnya mentok.
Memang betul setiap warga punya hak tinggal di mana saja, betul. Juga berhak memperoleh keamanan, betul. Tetapi begitu masuk pada tataran realitas, tidak seindah apa yang dikatakan.
Jadi, apa peran pemerintah pusat kalau masalah Sampang dilokalisir?
Pemerintah berperan sebagai fasilitator. Diplomasi bolak-balik. Tentu saja pemerintah akan terus jadi pendukung utama, tapi pelaku utama adalah pemerintah daerah. Lebih khusus lagi kita harapkan tokoh informal seperti yang saya sebutkan tadi itu, para ulama. Mereka berpengaruh.
Apakah ulama dari Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra) cukup representatif mewakili seluruh ulama Madura?
Selama ini yang terlibat langsung adalah Bassra. Bagi saya Bassra ini merepresentasikan ulama Madura.
Bagaimana soal permintaan ulama Bassra, yang mensyaratkan rekonsiliasi harus diawali "pertobatan" kelompok Syiah?
Saya tidak memakai kata "tobat". Saya mengubahnya jadi "penyamaan persepsi". Dalam penyamaan persepsi ada proses dialog, yang mudah-mudahan dari situ lahir pemahaman yang sama.
Apakah ada indikasi kelompok Syiah di Sampang ingin "dicerahkan"?
Itu sudah kesepakatan. Kalau kesepakatan berarti ada keinginan. Tadi saya mengawali pertemuan dengan mengatakan bahwa tidak mugkin ada konflik kalau tidak ada perbedaan tajam. Lalu pihak Syiah mengatakan: Kami tidak berbeda, Tuhan kami sama, Allah sama, Al-Quran sama. Nah, kalau sama kan bagus. Kalau sama, ya tinggal membuktikan bagaimana persamaan itu. Ulama juga langsung menyambut baik. Itu artinya sudah makin dekat.
Apakah menurut pemerintah Syiah itu sesat?
Pemerintah tidak pernah memandang masalah ini sebagai konflik Syiah-Sunni. Pandangan itu perlu agar masalah ini tidak meningkat ke skala nasional. Kalau sampai terjadi konflik seperti itu ya repot. Jadi, ini bukan masalah Syiah-Sunni. Ini masalah penistaan agama. Tolong jangan benturkan Syiah-Sunni.
Kalau dibawa ke urusan agama, apa pandangan Anda?
Itu ada kajian sendiri. Nanti kajiannya saya kasih.
Siapa yang membuat kajian itu?
Ulama di sini.
Ulama anggota Bassra di Madura?
Iya. Ulama Madura melakukan kajian. Lalu diikat lagi dengan kesepakatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur
Dari pemerintah sendiri tidak ada?
Kementerian tidak punya kewenangan dari sisi ajaran. Kementerian tidak punya kompetensi untuk mengatakan ini sesat atau tidak. Jadi, ulama yang menentukan itu.
Apa salah satu kesimpulan kajian ulama Madura soal itu?
Saya kira tak perlu dieksposlah.
Tadi, Anda menilai ulama Bassra cukup representatif untuk menyelesaikan konflik ini. Apakah Anda berpandangan demikian karena ada Bassra berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)?
Jangan ke situ dong, ah. Gimana ente ini.
Tapi dilihat dari sejarah pembentukannya pada 1990-an, Bassra jelas terkait dengan PPP…
Begini. Dulu itu cuma ada tiga partai: PPP, Golkar, dan PDI. Untuk Bassra, ya sudah, hanya ada PPP. Jadi, kemana pun melangkah, pasti ada PPP. Karena konteksnya dulu hanya ada PPP. Jangan dong dikait-kaitkan, ah. Jangan diperluas dong.
Apa tidak ada opsi mengembalikan kelompok Syiah ke Sampang tanpa harus mengubah keyakinannya dan menjaga mereka agar bisa hidup berdampingan?
Siapa pun bisa kembali selama paham mereka tidak berbenturan dengan paham yang ada. Sederhana. Selama tidak berbenturan, saya kira tidak ada masalah.
Jadi kelompok Syiah ini harus "dicerahkan" dulu?
Iya.
Posting Komentar