Perlu mengedepankan prinsip kehatian-hatian dan konservatisme dalam menjalankan transaksi. Khususnya jika Anda bertransaksi dengan "highprofile persons", yakni orang-orang yang karena jabatannya atau posisinya rentan dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Oleh: Oka Widana
Sosok Ahmad Fathanah (AF), jika sedikit kita melakukan riset di internet, ternyata bukan orang baru dalam dunia kejahatan (misalnya http://hukum.kompasiana.com/2013/02/05/kisah-bisnis-mantan-presiden-pks-dengan-olong-ahmad-530986.html ). Anehnya, AF bisa memiliki hubungan dekat dengan Lutfi Hasan Ishaq (LHI), yang tempo hari adalah Presiden PKS. Belakangan pak LHI dan AF terkena kasus suap pengadaan kuota sapi impor. Nah disinilah persoalan muncul.
Dalam hal ini, saya tak hendak mengevaluasi secara politik akibat hubungan AF, LHI dan PKS. Lagi gak berselera saya politik praktis semacam itu. Saya hanya akan menyoroti dialetika dan dilema yang barangkali dihadapi oleh kita, para praktisi keuangan.
Hasil pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK), uang yang terkait kasus diatas ternyata dipakai AS untuk membayar atau diberikan kepada berbagai pihak. Antara lain dipakai membeli mobil (yang kemudian diduga dihadiahkan atau diberikan kepada PKS dan teman-teman dekatnya), serta uang diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang lain (mungkin hadiah atau berdasarkan transaksi tertentu). Kabar terakhir bahkan uang itu diberikan atau dibayarkan kepada tak kurang 20 orang (kebetulan perempuan) kawan-kawan Fathanah.
Bahwa setiap transaksi (yang melibatkan uang, tentu saja) dalam dunia modern ini harus dilandasi sikap good faith dari pihak-pihak yang melakukan transaksi. Tak mungkin dalam melakukan transaksi kita bertanya kepada counter part kita, uang yang dipakai untuk membayar apakah legal atau ilegal, dengan alasan untuk menghindari masalah yang dapat saja terjadi dikemudian hari. Alangkah sulitnya jika itu harus dilakukan.
Sedikit lebih mudah, jika kita membeli sesuatu, masih mudah kita mendeteksi apakah barang yang akan dibeli legal atau tidak (misalnya, harga barang yang jauh lebih rendah dari harga normal, mungkin itu barang selundupan).
Kehati-hatian bahkan ketika menerima uang menjadi penting. Contoh transaksi AF kepada kawan-kawan wanitanya, yang kebetulan menerima uang dan barang. Di media tidak terungkap persis, apa yang menjadi underlying transaksi tersebut. Jika itu merupakan transkasi "normal" yang seharusnya didasarkan good faith tadi, sungguh apes pihak yang menjadi counter part AF. Produk/layanan sudah diberikan, uang harus dikembalikan. Dipanggil KPK pula, paling tidak untuk mengklarifikasi.
Kondisi ini semakin gawat, karena terkena kasus yang melibatkan KPK dan PPATK, maka Anda akan menerima vonis secara sosial, terlepas Anda bersalah ataupun tidak. Konsekwensinya bagi perusahaan dan apalagi individu, adalah soal reputasi. Contoh kembali kasus yang menimpa AF. Terlepas dari salah atau benar, moral atau imoral transaksi antara AF dan teman-temannya itu, vonis sosial sudah jatuh.
Dari segi hukum, AF kelihatannya akan dibidang dengan pidana korupsi dan pidana pencucian uang. Ibarat koin uang, korupsi dan pencucian uang, dua sisi yang sangat terkait erat.
Undang-undang UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mendefiniskan pencucian uang yaitu menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Undang-undang ini menyebut secara limitative yaitu sebanyak 25 jenis kejahatan sebagai sumber perolehan uang haram yaitu tindak pidana di bidang; korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Bahwa dalam definÃsi pidana pencucian uang dikualifikasikan sebagai penempatan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain. Maka adanya perbuatan korupsi tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup kalau ada pengetahuan atau dugaan bahwa uang haram tersebut berasal dari perbuatan korupsi, yaitu bila sudah terdapat bukti permulaan yang cukup.
Dalam UU 8/2010 diatas, di dalam Pasal 77 disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal ini prinsip pembuktian terbalik dimana terdakwa wajib membuktikan kehalalan hara yang diperolehnya bukan pihak penuntut yang membuktikan bahwa harta tersebut haram.
Lalu sebagai praktisi usaha dan bisnis yang selalu mendasarkan pelaksanaan transaksi secara good faith, apa yang bisa kita lakukan?
Mengedepankan prinsip kehatian-hatian dan konservatisme dalam menjalankan transaksi. Khususnya jika Anda bertransaksi dengan "highprofile persons", yakni orang-orang yang karena jabatannya atau posisinya rentan dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Siapa saja mereka?
Ini sulit memang. Akan tetapi kita bisa saksikan di media, yang sering bermasalah dengan KPK adalah para Pejabat Negara (Pemda, Anggota DPR, Petinggi Parpol, Menteri, Polisi, TNI). Catatan, bahwa SAYA TIDAK mengatakan atau bermaksud menuduh, mengeneralisir atau apapun bahwa seluruh pejabat negara koruptor atau nyuci uang. Ini benar-benar menurut pengamatan dari berita-berita di media. Saya juga tidak mendorong Anda untuk tidak bertransaksi dengan mereka-mereka itu. Transaksi jalan terus, kewaspadaan jangan melorot.
Toh saya bisa membayangkan anyway betapa sulitnya dan tidak enaknya posisi kita, ketika melakukan transaksi. Mosok ketika nerima duit, harus terlebih dahulu nanya "Bapak, ini duit hasil korupsi atau bukan?….lagian sebangsa AF, dia kan cuma makelar, bahkan anggota Parpol aja bukan. Gimana coba?
sumber: www.ahlikeuangan-indonesia.com
Nasi Jagung Manglie: Solusi untuk Penderita Diabetes
Oleh: Oka Widana
Sosok Ahmad Fathanah (AF), jika sedikit kita melakukan riset di internet, ternyata bukan orang baru dalam dunia kejahatan (misalnya http://hukum.kompasiana.com/2013/02/05/kisah-bisnis-mantan-presiden-pks-dengan-olong-ahmad-530986.html ). Anehnya, AF bisa memiliki hubungan dekat dengan Lutfi Hasan Ishaq (LHI), yang tempo hari adalah Presiden PKS. Belakangan pak LHI dan AF terkena kasus suap pengadaan kuota sapi impor. Nah disinilah persoalan muncul.
Dalam hal ini, saya tak hendak mengevaluasi secara politik akibat hubungan AF, LHI dan PKS. Lagi gak berselera saya politik praktis semacam itu. Saya hanya akan menyoroti dialetika dan dilema yang barangkali dihadapi oleh kita, para praktisi keuangan.
Hasil pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK), uang yang terkait kasus diatas ternyata dipakai AS untuk membayar atau diberikan kepada berbagai pihak. Antara lain dipakai membeli mobil (yang kemudian diduga dihadiahkan atau diberikan kepada PKS dan teman-teman dekatnya), serta uang diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang lain (mungkin hadiah atau berdasarkan transaksi tertentu). Kabar terakhir bahkan uang itu diberikan atau dibayarkan kepada tak kurang 20 orang (kebetulan perempuan) kawan-kawan Fathanah.
Bahwa setiap transaksi (yang melibatkan uang, tentu saja) dalam dunia modern ini harus dilandasi sikap good faith dari pihak-pihak yang melakukan transaksi. Tak mungkin dalam melakukan transaksi kita bertanya kepada counter part kita, uang yang dipakai untuk membayar apakah legal atau ilegal, dengan alasan untuk menghindari masalah yang dapat saja terjadi dikemudian hari. Alangkah sulitnya jika itu harus dilakukan.
Sedikit lebih mudah, jika kita membeli sesuatu, masih mudah kita mendeteksi apakah barang yang akan dibeli legal atau tidak (misalnya, harga barang yang jauh lebih rendah dari harga normal, mungkin itu barang selundupan).
Kehati-hatian bahkan ketika menerima uang menjadi penting. Contoh transaksi AF kepada kawan-kawan wanitanya, yang kebetulan menerima uang dan barang. Di media tidak terungkap persis, apa yang menjadi underlying transaksi tersebut. Jika itu merupakan transkasi "normal" yang seharusnya didasarkan good faith tadi, sungguh apes pihak yang menjadi counter part AF. Produk/layanan sudah diberikan, uang harus dikembalikan. Dipanggil KPK pula, paling tidak untuk mengklarifikasi.
Kondisi ini semakin gawat, karena terkena kasus yang melibatkan KPK dan PPATK, maka Anda akan menerima vonis secara sosial, terlepas Anda bersalah ataupun tidak. Konsekwensinya bagi perusahaan dan apalagi individu, adalah soal reputasi. Contoh kembali kasus yang menimpa AF. Terlepas dari salah atau benar, moral atau imoral transaksi antara AF dan teman-temannya itu, vonis sosial sudah jatuh.
Dari segi hukum, AF kelihatannya akan dibidang dengan pidana korupsi dan pidana pencucian uang. Ibarat koin uang, korupsi dan pencucian uang, dua sisi yang sangat terkait erat.
Undang-undang UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mendefiniskan pencucian uang yaitu menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Undang-undang ini menyebut secara limitative yaitu sebanyak 25 jenis kejahatan sebagai sumber perolehan uang haram yaitu tindak pidana di bidang; korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Bahwa dalam definÃsi pidana pencucian uang dikualifikasikan sebagai penempatan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain. Maka adanya perbuatan korupsi tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup kalau ada pengetahuan atau dugaan bahwa uang haram tersebut berasal dari perbuatan korupsi, yaitu bila sudah terdapat bukti permulaan yang cukup.
Dalam UU 8/2010 diatas, di dalam Pasal 77 disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal ini prinsip pembuktian terbalik dimana terdakwa wajib membuktikan kehalalan hara yang diperolehnya bukan pihak penuntut yang membuktikan bahwa harta tersebut haram.
Lalu sebagai praktisi usaha dan bisnis yang selalu mendasarkan pelaksanaan transaksi secara good faith, apa yang bisa kita lakukan?
Mengedepankan prinsip kehatian-hatian dan konservatisme dalam menjalankan transaksi. Khususnya jika Anda bertransaksi dengan "highprofile persons", yakni orang-orang yang karena jabatannya atau posisinya rentan dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Siapa saja mereka?
Ini sulit memang. Akan tetapi kita bisa saksikan di media, yang sering bermasalah dengan KPK adalah para Pejabat Negara (Pemda, Anggota DPR, Petinggi Parpol, Menteri, Polisi, TNI). Catatan, bahwa SAYA TIDAK mengatakan atau bermaksud menuduh, mengeneralisir atau apapun bahwa seluruh pejabat negara koruptor atau nyuci uang. Ini benar-benar menurut pengamatan dari berita-berita di media. Saya juga tidak mendorong Anda untuk tidak bertransaksi dengan mereka-mereka itu. Transaksi jalan terus, kewaspadaan jangan melorot.
Toh saya bisa membayangkan anyway betapa sulitnya dan tidak enaknya posisi kita, ketika melakukan transaksi. Mosok ketika nerima duit, harus terlebih dahulu nanya "Bapak, ini duit hasil korupsi atau bukan?….lagian sebangsa AF, dia kan cuma makelar, bahkan anggota Parpol aja bukan. Gimana coba?
sumber: www.ahlikeuangan-indonesia.com
Nasi Jagung Manglie: Solusi untuk Penderita Diabetes
Posting Komentar