Krisis politik yang terjadi di Suriah dewasa ini nampaknya sudah mencapai anti klimaks, terutama dengan semakin meningkatnya kontak senjata antara pemerintah Basyar Asad dengan kubu pemberontak di beberapa kota. Sejak meletusnya revolusi puluhan ribu orang tewas serta ribuan lainnya harus mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Turki, Yordania dan Lebanon. Sampai saat ini baik PBB, OKI maupun Liga Arab belum mengambil sikap tegas terkait kekejaman rezim al-Asad bahkan terkesan terombang ambing oleh kebijakan Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS) yang selama ini dinilai sarat kepentingan baik politik maupun ekonomi.
Dilema Demokratisasi
Sama halnya dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, Suriah merupakan negara yang juga terimbas badai revolusi. Sudah setahun revolusi yang dimotori para aktivis pro-perubahan tersebut berlalu. Namun, situasi politik di Suriah belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Bahkan Basyar Asad bersikeras akan tetap mempertahankan kekuasaannya walaupun harus menggunakan jalur kekerasan. Sikap otoriter rezim Basyar Asad tersebut akhirnya memunculkan gelombang demonstrasi yang menuntut Presiden Basyar Asad mundur dari jabatannya. Para demonstran tersebut menuntut Presiden Basyar Asad untuk melakukan langkah-langkah terkait reformasi politik dan pelaksanaan Pemilu dalam waktu dekat.
Tuntutan para demonstran tersebut dijawab pemerintah dengan merombak struktur parlemen dan pemerintahan, namun rakyat tetap menolak karena mereka menganggap struktur pemerintahan masih dijabat orang-orang lama yang tidak lain adalah sekutu dekat Asad. Suhu politik di Suriah pun semakin memanas setelah pemerintah melakukan operasi militer di beberapa kota termasuk di wilayah Khalidiyah provinsi Homs yang telah menewaskan ribuan orang. Kekejaman yang dilakukan pemerintah pemerintah Suriah tersebut mendorong PBB melalui dewan keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi terhadap Suriah. Namun, resolusi tersebut gagal setelah Cina dan Rusia menolaknya.
Sementara itu, negara-negara Barat seperti AS, Perancis dan Inggris menyatakan bahwa pemerintah Suriah tidak lagi sah dan menuntut Presiden Asad melepaskan jabatannya. Reaksi internasional tersebut ditanggapi oleh pihak oposisi di Suriah dengan membentuk Dewan Nasional Suriah sebagai wadah pemersatu bagi gerakan oposisi Suriah termasuk gerakan oposisi terbesar Ikhwanul Muslimin. Guna menandingi kekuatan militer rezim Al-Asad dan melindungi para demonstran, Riyadh Al-Asad yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin angkatan udara Suriah membentuk Tentara Pembebasan (Al-Jays Al-Hurr) Pembentukan Tentara Pembebasan tersebut jelas semakin memperuncing konflik antara pendukung rezim Al-Asad dengan kubu oposisi.
Dewan Nasional Suriah yang sejak semula bertujuan untuk menggalang aspirasi kelompok oposisi belum sepenuhnya berfungsi malah semakin menemui banyak rintangan baik dalam tataran nasional, regional maupun internasional. Di dalam negeri pemerintah Basyar Asad yang didukung Rusia dan Cina terus melakukan penyerangan terhadap kelompok oposisi di beberapa daerah. Rusia dan Cina merupakan dua negara yang mempunyai kepentingan di Suria. Kota Latakia dan Tartus merupakan basis armada laut Rusia. Karenanya, baik Rusia mapun Cina tidak menginginkan jika hegemoni AS dengan demokrasi Liberalnya masuk ke Suriah yang dapat mengganggu kepentingan Rusia.
Sementara itu Israel yang merupakan sekutu dekat AS sangat diuntungkan dengan berlarutnya konflik yang terjadi di Suriah. Dengan berlarutnya konflik, Israel dapat leluasa menyerang Hamas di Jalur Gaza yang selama ini mendapat bantuan dari negara-negara Arab seperti Suriah dan Jordania. Senada dengan Israel, AS yang pada mulanya mendukung revolusi Suriah justru semakin khawatir jika kelompok Islam memimpin Suriah seandainya revolusi berhasil, karena jelas akan menghambat kepentingan AS di Timur Tengah terutama dalam mendukung Israel. Terdapat beberapa alasan mengapa selama ini AS terkesan membiarkan krisis yang terjadi di Suriah.
Pertama, kondisi politik dalam negeri Suriah yang sedang dilanda konflik dianggap tidak menguntungkan bagi kepentingan politik AS.
Kedua, menguatnya pengaruh gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin di beberapa negara Timur Tengah pasca Arab Spring menjadi kendala tersendiri bagi AS untuk menyerang dan meruntuhkan rezim Basyar Asad yang didukung kelompok Syiah.
Ketiga, krisis ekonomi yang melanda negara-negara Eropa mendorong AS untuk mengurangi operasi militernya. Sebagaimana dimaklumi bahwa AS tengah memangkas anggaran militernya akibat krisis finansial yang melanda negeri adidaya tersebut.
Pada akhirnya strategi politik yang dimainkan negara-negara seperti AS, Rusia dan Cina dapat menghambat proses demokratisasi dan perdamaian di Suriah yang jika dibiarkan akan mengarah pada perang kawasan yang jelas sangat berbahaya bagi perkembangan sosial, politik dan ekonomi di Timur Tengah.
Akar Konflik
Suriah merupakan negara di wilayah Syam yang berbatasan langsung dengan Turki di sebelah utara, Palestina dan Jordania di sebelah selatan, Lebanon dan Laut Tengah di Barat dan Irak di Timur. Karenanya secara geografis dapat dikatakan bahwa Suriah adalah penghubung antara dua benua, Asia dan Afrika. Letak yang strategis tersebut menjadikan Suriah sebagai wilayah yang diperebutkan berbagai unsur kekuatan global. Pada mulanya Suriah merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Namun, pada tahun 1918 dengan dukungan dari Inggris, akhirnya Suriah memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyah dan pada tahun 1920 membentuk negara Republik Arab Suriah (Al-Jumhuriyyah Al-Arabiyyah As-Suriyah).
Pada tahun 1958-1961 Suriah bergabung dalam pan-Arabisme setelah akhirnya memisahkan diri akibat kudeta militer yang dipimpin oleh Abdul Karim Nahlawy yang tidak lain adalah pengikut Syiah Alawiyah. Pasca kudeta militer, peta politik di Suriah dikuasai oleh Partai Sosialis Ba’ats (Hizb Al-Ba’ats Al-Isytiraki) yang mayoritas anggotanya berasal dari kalangan Syiah Alawiyah. Melalui partai Ba’ats inilah kelompok Syiah Alawiyah berhasil menguasai peta politik Suriah. Hal tersebut tidak terlepas dari dukungan militer yang sejak semula didominasi Syiah. Kelompok ini berhasil memperluas kekuatan militer serta membentuk undang-undang guna membatasi pergerakan kelompok oposisi yang sebagian besar bermazhab Sunni dibawah kendali Ikhwanul Muslimin.
Sementara itu dibidang ekonomi, kelompok Syiah Alawiyah yang merupakan minoritas dengan jumlah sekitar 15 persen dari 26 juta penduduk, mampu menguasai berbagai sektor perekonomian di Suriah. Struktur ekonomi Suriah yang berbasis pada sektor perminyakan pun sebagian besar dikuasai oleh keluarga, pejabat partai Ba’ats dan pihak militer. Sikap diskrimanisi yang dilakukan rezim Asad tersebut menimbulkan kecemburuan sosial dari kalangan Sunni hingga berujung pada berbagai macam bentuk perlawanan di beberapa wilayah.
Sejak Syiah Alawiyah berhasil menguasai Partai Ba’ats pada 1955 sentimen anti Sunni pun mengemuka di Suriah. Operasi militer kerap dilakukan pemerintah di beberapa wilayah seperti di Hama pada Februari 1982 yang mayoritas penduduknya Sunni. Perkembangan terakhir pada Februari 2012, pemerintah Asad telah melakukan hal yang sama dengan memborbardir kota Hama hingga mengakibatkan tewasnya ribuan orang di kota tersebut. Dunia internasional seolah menutup mata terhadap kekejaman rezim Asad yang menurut catatan Gerakan Perubahan Nasional Suriah, tentara Assad telah membunuh lebih dari 15.000 orang di beberapa provinsi Suriah. Nampaknya, sulit memprediksi kapan konflik di Suriah akan berakhir dan menyusul keberhasilan “Arab Spring” di Tunisia, Mesir dan Libya yang telah mampu melakukan reformasi sistem pemerintahan.
Masa Depan Revolusi
Maraknya pelanggaran HAM yang terjadi di Suriah menimbulkan tanda tanya besar bagi masa depan revolusi di Suriah. Apakah revolusi yang dimulai dengan “Hari Kemarahan Suriah” akan berakhir dengan konflik atau akan menghasilkan demokratisasi layaknya di Tunisia dan Mesir. Nampaknya, sulit diprediksi kapan konflik yang terjadi di Suriah akan berakhir. Kendati demikian, pihak-pihak yang bersengketa di Suriah dituntut untuk melakukan dialog guna mencari sosuli konflik yang kian hari semakin akut tersebut.
Baik rezim Asad maupun kubu oposisi harus mengakhiri konflik yang telah mengakibatkan tewasnya puluhan ribuan orang. Bila rakyat Suriah bersatu untuk mensukseskan demokratisasi, maka konflik sektarian yang melanda Suriah yang terjadi sejak lama tersebut akan surut.
Disamping itu presiden Assad –sebagai pemegang otoritas- diharapkan mampu mengadakan perundingan damai dengan pihak yang bersengketa sehingga bisa terhindar dari perang saudara yang selama ini dikhawatirkan berbagai pihak. Disisi lain, intervensi yang melibatkan kekuatan militer seyogyanya harus dapat dihindari. Sebab dengan adanya campur tangan militer justru menambah kerugian bagi rakyat sipil yang selama revolusi kerap menjadi sasaran pihak militer. (Muhammad Fakhry Ghafur)
Sumber: Pusat Penelitian Politik (LIPI)
Kesabaran Rakyat Gaza, Teladan Pembinaan Karakter Siswa
Dilema Demokratisasi
Sama halnya dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, Suriah merupakan negara yang juga terimbas badai revolusi. Sudah setahun revolusi yang dimotori para aktivis pro-perubahan tersebut berlalu. Namun, situasi politik di Suriah belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Bahkan Basyar Asad bersikeras akan tetap mempertahankan kekuasaannya walaupun harus menggunakan jalur kekerasan. Sikap otoriter rezim Basyar Asad tersebut akhirnya memunculkan gelombang demonstrasi yang menuntut Presiden Basyar Asad mundur dari jabatannya. Para demonstran tersebut menuntut Presiden Basyar Asad untuk melakukan langkah-langkah terkait reformasi politik dan pelaksanaan Pemilu dalam waktu dekat.
Tuntutan para demonstran tersebut dijawab pemerintah dengan merombak struktur parlemen dan pemerintahan, namun rakyat tetap menolak karena mereka menganggap struktur pemerintahan masih dijabat orang-orang lama yang tidak lain adalah sekutu dekat Asad. Suhu politik di Suriah pun semakin memanas setelah pemerintah melakukan operasi militer di beberapa kota termasuk di wilayah Khalidiyah provinsi Homs yang telah menewaskan ribuan orang. Kekejaman yang dilakukan pemerintah pemerintah Suriah tersebut mendorong PBB melalui dewan keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi terhadap Suriah. Namun, resolusi tersebut gagal setelah Cina dan Rusia menolaknya.
Sementara itu, negara-negara Barat seperti AS, Perancis dan Inggris menyatakan bahwa pemerintah Suriah tidak lagi sah dan menuntut Presiden Asad melepaskan jabatannya. Reaksi internasional tersebut ditanggapi oleh pihak oposisi di Suriah dengan membentuk Dewan Nasional Suriah sebagai wadah pemersatu bagi gerakan oposisi Suriah termasuk gerakan oposisi terbesar Ikhwanul Muslimin. Guna menandingi kekuatan militer rezim Al-Asad dan melindungi para demonstran, Riyadh Al-Asad yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin angkatan udara Suriah membentuk Tentara Pembebasan (Al-Jays Al-Hurr) Pembentukan Tentara Pembebasan tersebut jelas semakin memperuncing konflik antara pendukung rezim Al-Asad dengan kubu oposisi.
Dewan Nasional Suriah yang sejak semula bertujuan untuk menggalang aspirasi kelompok oposisi belum sepenuhnya berfungsi malah semakin menemui banyak rintangan baik dalam tataran nasional, regional maupun internasional. Di dalam negeri pemerintah Basyar Asad yang didukung Rusia dan Cina terus melakukan penyerangan terhadap kelompok oposisi di beberapa daerah. Rusia dan Cina merupakan dua negara yang mempunyai kepentingan di Suria. Kota Latakia dan Tartus merupakan basis armada laut Rusia. Karenanya, baik Rusia mapun Cina tidak menginginkan jika hegemoni AS dengan demokrasi Liberalnya masuk ke Suriah yang dapat mengganggu kepentingan Rusia.
Sementara itu Israel yang merupakan sekutu dekat AS sangat diuntungkan dengan berlarutnya konflik yang terjadi di Suriah. Dengan berlarutnya konflik, Israel dapat leluasa menyerang Hamas di Jalur Gaza yang selama ini mendapat bantuan dari negara-negara Arab seperti Suriah dan Jordania. Senada dengan Israel, AS yang pada mulanya mendukung revolusi Suriah justru semakin khawatir jika kelompok Islam memimpin Suriah seandainya revolusi berhasil, karena jelas akan menghambat kepentingan AS di Timur Tengah terutama dalam mendukung Israel. Terdapat beberapa alasan mengapa selama ini AS terkesan membiarkan krisis yang terjadi di Suriah.
Pertama, kondisi politik dalam negeri Suriah yang sedang dilanda konflik dianggap tidak menguntungkan bagi kepentingan politik AS.
Kedua, menguatnya pengaruh gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin di beberapa negara Timur Tengah pasca Arab Spring menjadi kendala tersendiri bagi AS untuk menyerang dan meruntuhkan rezim Basyar Asad yang didukung kelompok Syiah.
Ketiga, krisis ekonomi yang melanda negara-negara Eropa mendorong AS untuk mengurangi operasi militernya. Sebagaimana dimaklumi bahwa AS tengah memangkas anggaran militernya akibat krisis finansial yang melanda negeri adidaya tersebut.
Pada akhirnya strategi politik yang dimainkan negara-negara seperti AS, Rusia dan Cina dapat menghambat proses demokratisasi dan perdamaian di Suriah yang jika dibiarkan akan mengarah pada perang kawasan yang jelas sangat berbahaya bagi perkembangan sosial, politik dan ekonomi di Timur Tengah.
Akar Konflik
Suriah merupakan negara di wilayah Syam yang berbatasan langsung dengan Turki di sebelah utara, Palestina dan Jordania di sebelah selatan, Lebanon dan Laut Tengah di Barat dan Irak di Timur. Karenanya secara geografis dapat dikatakan bahwa Suriah adalah penghubung antara dua benua, Asia dan Afrika. Letak yang strategis tersebut menjadikan Suriah sebagai wilayah yang diperebutkan berbagai unsur kekuatan global. Pada mulanya Suriah merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Dinasti Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Namun, pada tahun 1918 dengan dukungan dari Inggris, akhirnya Suriah memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyah dan pada tahun 1920 membentuk negara Republik Arab Suriah (Al-Jumhuriyyah Al-Arabiyyah As-Suriyah).
Pada tahun 1958-1961 Suriah bergabung dalam pan-Arabisme setelah akhirnya memisahkan diri akibat kudeta militer yang dipimpin oleh Abdul Karim Nahlawy yang tidak lain adalah pengikut Syiah Alawiyah. Pasca kudeta militer, peta politik di Suriah dikuasai oleh Partai Sosialis Ba’ats (Hizb Al-Ba’ats Al-Isytiraki) yang mayoritas anggotanya berasal dari kalangan Syiah Alawiyah. Melalui partai Ba’ats inilah kelompok Syiah Alawiyah berhasil menguasai peta politik Suriah. Hal tersebut tidak terlepas dari dukungan militer yang sejak semula didominasi Syiah. Kelompok ini berhasil memperluas kekuatan militer serta membentuk undang-undang guna membatasi pergerakan kelompok oposisi yang sebagian besar bermazhab Sunni dibawah kendali Ikhwanul Muslimin.
Sementara itu dibidang ekonomi, kelompok Syiah Alawiyah yang merupakan minoritas dengan jumlah sekitar 15 persen dari 26 juta penduduk, mampu menguasai berbagai sektor perekonomian di Suriah. Struktur ekonomi Suriah yang berbasis pada sektor perminyakan pun sebagian besar dikuasai oleh keluarga, pejabat partai Ba’ats dan pihak militer. Sikap diskrimanisi yang dilakukan rezim Asad tersebut menimbulkan kecemburuan sosial dari kalangan Sunni hingga berujung pada berbagai macam bentuk perlawanan di beberapa wilayah.
Sejak Syiah Alawiyah berhasil menguasai Partai Ba’ats pada 1955 sentimen anti Sunni pun mengemuka di Suriah. Operasi militer kerap dilakukan pemerintah di beberapa wilayah seperti di Hama pada Februari 1982 yang mayoritas penduduknya Sunni. Perkembangan terakhir pada Februari 2012, pemerintah Asad telah melakukan hal yang sama dengan memborbardir kota Hama hingga mengakibatkan tewasnya ribuan orang di kota tersebut. Dunia internasional seolah menutup mata terhadap kekejaman rezim Asad yang menurut catatan Gerakan Perubahan Nasional Suriah, tentara Assad telah membunuh lebih dari 15.000 orang di beberapa provinsi Suriah. Nampaknya, sulit memprediksi kapan konflik di Suriah akan berakhir dan menyusul keberhasilan “Arab Spring” di Tunisia, Mesir dan Libya yang telah mampu melakukan reformasi sistem pemerintahan.
Masa Depan Revolusi
Maraknya pelanggaran HAM yang terjadi di Suriah menimbulkan tanda tanya besar bagi masa depan revolusi di Suriah. Apakah revolusi yang dimulai dengan “Hari Kemarahan Suriah” akan berakhir dengan konflik atau akan menghasilkan demokratisasi layaknya di Tunisia dan Mesir. Nampaknya, sulit diprediksi kapan konflik yang terjadi di Suriah akan berakhir. Kendati demikian, pihak-pihak yang bersengketa di Suriah dituntut untuk melakukan dialog guna mencari sosuli konflik yang kian hari semakin akut tersebut.
Baik rezim Asad maupun kubu oposisi harus mengakhiri konflik yang telah mengakibatkan tewasnya puluhan ribuan orang. Bila rakyat Suriah bersatu untuk mensukseskan demokratisasi, maka konflik sektarian yang melanda Suriah yang terjadi sejak lama tersebut akan surut.
Disamping itu presiden Assad –sebagai pemegang otoritas- diharapkan mampu mengadakan perundingan damai dengan pihak yang bersengketa sehingga bisa terhindar dari perang saudara yang selama ini dikhawatirkan berbagai pihak. Disisi lain, intervensi yang melibatkan kekuatan militer seyogyanya harus dapat dihindari. Sebab dengan adanya campur tangan militer justru menambah kerugian bagi rakyat sipil yang selama revolusi kerap menjadi sasaran pihak militer. (Muhammad Fakhry Ghafur)
Sumber: Pusat Penelitian Politik (LIPI)
Kesabaran Rakyat Gaza, Teladan Pembinaan Karakter Siswa
Posting Komentar