Minggu, 02 Desember 2018

Home » » Rizieqisme, 212 dan Pancasila Sama Rata Sama Rasa

Rizieqisme, 212 dan Pancasila Sama Rata Sama Rasa

212 adalah tanggal berlangsungnya puncak gerakan perlawanan ummat Islam Indonesia atas delegitimasi Islam sebagai kelompok dominan

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

   
Mafaza-Online | Imam Besar Habib Rizieq Sihab (HRS) sudah dua tahun di pengasingan. Di Arab Saudi. Tentu belum selama Imam Syiah Ayatollah Khomeini, dahulu 14 tahun di pengasingan (Irak, Turki dan Perancis). Namun, selama dua tahun ini, HRS telah membuktikan pada rakyat Indonesia pengaruhnya yang tidak kalah kuat dibanding Imam Khomeini di negaranya, Iran.

Selama di pengasingan (in exile), HRS dikunjungi berbagai tokoh2 besar Islam dan Nasional, seperti Prabowo Subianto, Amien Rais, Fadli Zon, Habib Salim Segaf, dll,  dari partai politik, dan berbagai tokoh2 non partai politik. Pengaruh HRS ikut memuluskan koalisi oposisi dalam menentukan calon Presiden/Wapresnya untuk pilpret 2019, serta membuat kontrak politik keummatan. Pengaruh lainnya adalah menggerakkan massa grass root sebagai massa militan untuk mendukung perubahan sosial, menggerakkan ekonomi umkm 212 dan juga terkait pilpres tanpa money politik.

Suasana Monas pukul 07.00 WIB  

Rizieqisme

Rizieqisme adalah sebuah pandangan HRS yang menggerakkan rakyat selama ini. Pandangan yang menggerakkan adalah sebuah ideologi perjuangan, yang dapat di "capture" dalam masa-masa kritis penuh tantangan dan resiko yang dihadapi mereka.

Ada sedikitnya 5 pilar dalam Rizieqisme ini: 

1. Perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. Tema ini adalah sentral dalam Rizieqisme. Kritik HRS terhadap kesenjangan sosial, kemiskinan ummat, selalu menjadi tema utama. HRS dalam berbagai pidatonya bukan (hanya sekedar) menyuruh orang Sholat dan menjaga hati, seperti kebanyakan kyai, melainkan HRS menggerakkan permusuhan dengan 9 naga, sebuah simbol dominasi ekonomi taipan di Indonesia

2. Perjuangan harus di akar rumput. HRS tidak membangun stratifikasi berbasis kepemilikan atau kekayaan. HRS membangun majelis2 di mana semua orang dapat menyapanya secara langsung. 

Pengikut HRS juga, misalnya seperti Habib Bahar Smith, mengaktualisasikan masalah ekonomi pada jamaahnya dalam bahasa rakyat sehari2, tidak rumit sehingga mudah dicerna.

3) HRS menjadikan Islam sebagai alat persatuan. Dalam ruang lingkup ummat Islam, bahkan HRS tidak memusuhi Syiah, dalam klarifikasi Syiah yang sesat (Syiah yang suka menghujat keluarga dan Sahabat Rasul). Di luar ruang lingkup Islam, HRS membangun suatu kesepahaman tentang kebangsaan, seperti yang dilakukannya thd Prabowo, Rachmawati Soekarnoputri, Japto S., Lius Sungkarisma, dll.

4. Rizieqisme tidak mengenal kompromi. Dalam semua gerakannya, HRS mengambil resiko. HRS dan kelompok intinya sudah membiasakan diri untuk di penjara, dihujat, diancam bunuh, bahkan diusir dari Indonesia.

5. Tanggung jawab sosial. Rizieqisme selalu cepat tanggap dalam merespon kesulitan rakyat yang dihadapi, khususnya disituasi bencana, seperti Tsunami Aceh, Gempa Lombok, Gempa Donggala dlsb. Mereka merupakan pasukam gerak cepat yang tanpa pamrih menolong orang susah.

Lima pilar Rizieqisme ini sangat penting dilihat dalam 2 hal, 1) faham Rizieqisme menempatkan Islam sebagai agama pembebasan. 2) Pandangan HRS solid sebagai sebuah ajaran kehidupan sosial.

Aksi 212 Milik Semua yang memiliki Ghirah dan Hamasah

212

212 adalah tanggal berlangsungnya puncak gerakan perlawanan ummat Islam Indonesia atas delegitimasi Islam sebagai kelompok dominan. Berbagai penistaan dianggap terjadi terhadap ajaran Islam selama rezim Jokowi, yakni mencakup 1) orang2 Islam harus bertoleransi atas individual yang tidak ingin menjalankan syariat Islam, misalnya bebas merokok dan membuka  warung makan di bulan puasa, 2) ayat ayat Al Quran harus tunduk dibawah ayat konstitusi, 3) konsep mayoritas-minoritas, di mana ummat Islam sebagai mayoritas tidak perlu ada. 4) Islam dianggap tidak nasionalistik dan Pancasilais, 5) Konsep Syariah  harus dihapus dari seluruh bumi Indonesia.

Tentu banyak lagi catatan yang dianggap ummat Islam sebagai penghinaan atas dominasi mereka sebagai masyarakat mayoritas.

Penghinaan ini berlangsung saat dimana isu bangkitnya Komunisme, adanya invasi modal & TKA China dan kesenjangan sosial yang semakin dalam. Sehingga, multi di dimensi faktor tersebut mendorong adanya "pemberontakan" umat Islam yang terbesar (jumlah massa dan isu) dalam sejarah Indonesia. Berbagai aksi yang disebut "Bela Islam", menjadi agenda massif selama rezim Jokowi. Yang  puncaknya terjadi tanggal 2 Desember 2016.

Angka 212 itu menjadi angka keramat sebagai simbol kebangkitan. Kebangkitan artinya ummat Islam melakukan revitaliasasi pengakuan kedominannya, seperti yang ada selama ini. Dan dominasi itu bukan sesuatu yang buruk, namun bersifat "local wisdom", di mana mayoritas Islam melindungi minoritas, sebaliknya minoritas menghormati mayoritas.

212 dan Habib Rizieq adalah bak sebuah koin yang sama dari dua sisi mata uang. 212 adalah simbol gelombang perubahan sosial, sedangkan HRS mengemban beban kenabian (messiah) dalam konteks "agent of change".

Pancasila Sama Rata Sama Rasa

Gelombang perubahan sosial yang ditandai dengan 212 dan agen perubahan HRS bersinggungan dengan ideologi bangsa, Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengalami ujian besar sejak sila-silanya mengalami kegagalan dalam praxis. 

Sebagai sebuah ideologi harusnya Pancasila dapat menjadi rujukan bagi rakyatnya untuk membangun peradaban bersama yang ditandai dengan 1) sebuah spirit humanity dan 2) kekayaan dibagi merata kepada semua rakyatnya (sharing of prosperity).

Berbagai dominasi penguasaan asset bangsa kita ditangan segelintir oligarki kapitalis sangat mencekam saat ini. Oxfam, NGO asal Inggris, misalnya menyebutkan ada 4 orang terkaya yang assetnya sama dengan 100 juta penduduk miskin. Kepemilikan yang timpang ini diwarnai dengan "crazy rich Indonesia" yang pamer kekayaannya (seperti pesta kawin dengan biaya lebih 1 Triliun di Surabaya yang heboh saat ini) secara menyolok. Pada saat bersamaan kaum muda bersandar pada kehidupan marginal sebagai pengojek, pak ogah dan sektor informal.

Pancasila sebagai ideologi terbuka, jika gagal melahirkan sebuah peradaban, maka mau tidak mau akan terbuka pada pemahaman Rizieqisme. Dahulu, Soekarno dengan Marhaenisme nya menjadi dominan dalam mem "drive" Pancasila. Soeharto, pada masanya menggeser Pancasila dalam versi Kapitalistik. Ke depan, Rizieqisme mungkin akan menjadi harapan rakyat miskin untuk mengendalikan versi baru Pancasila yang memihak pada ummat dan orang2 jelata.

Penutup

Rizieqisme dan 212 terus bergelora mendorong perubahan bangsa kita. Sebuah perubahan adalah sebuah gejala alam atau juga sebuah dialektika sosial. Perubahan tidak bisa dicegah jika momentumnya sedang berlangsung. Tugas besar elit bangsa ini adalah memahami perubahan sosial yang sedang terjadi dan mengendalikan perubahan tersebut secara damai dan bermakna.


#Selamat Ulang Tahun 212




Silakan klik:
Lengkapi Kebutuhan Anda

Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Mafaza Online: Rizieqisme, 212 dan Pancasila Sama Rata Sama Rasa . All Rights Reserved