Minggu, 10 Agustus 2014

Home » » Jilboobs dan Dilema Muslimah

Jilboobs dan Dilema Muslimah

Imam besar Masjid Istiqlal Musthofa Ali Yakub mempunyai pandangan cara berjilbab yang benar yaitu 4T: tempat tutup aurat, tidak transparan, tidak tembus pandang, dan tidak menyerupai lawan jenis

Oleh Ribut Lupiyanto
Peneliti di UII-Yogyakarta, Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)



Hijaber
Mafaza-Online.Com | Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan dan merebak di media sosial istilah `Jilboobs'. Jilboobs pelesetan dari kata jilbab dan boobs alias dada wanita. Sindiran untuk wanita Muslimah yang mengenakan hijab tapi superketat hingga lekuk tubuhnya tercetak jelas.

Fenomena faktual terkait spesifikasi seperti jilboobs sebenarnya sudah hadir lama. Sebutan lain pernah disematkan seperti jilbab gaul, jilbab funky, dan lainnya. Kehebohan seputar istilah jilboobs mengemuka setelah munculnya akun Facebook bernama Jilboobs Community yang hadir sejak 25 Januari 2014.

Fenomena jilboobs semakin kontroversial lantaran menjadi perdebatan hangat di dunia maya. Sebagian memberikan dukungan dan sebagian lagi mengecam.

Kondisi ini penting segera di sikapi secara bijak sebagai otokritik bagi Muslimah. Penghakiman sepihak mesti dihindari. Muslimah sedang menghadapi dilema terkait fenomena ini. Satu sisi iklim Islamisasi melalui busana sedang mulai membudaya. Di sisi lain tuntutan memegang aspek syar'i tetap harus menjadi prioritas.

Jalan terjal Kehadiran jilbab atau hijab pertama kali di nusantara belum ada yang bisa memberikan kepastian. Hanya diperkira kan sekitar tahun 1400 -1427 M, Sulthanah Sri Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu yang memerintah kerajaan Samudra Pasai, Sulthanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam Shah Johan Berdaulat yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1641-1675 M), dan Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688 M) sudah berkerudung (Mantovani, 2013).

Era perjuangan kemerdekaan sudah memberikan gambaran banyak pejuang wanita yang berjilbab atau berkerudung. Sebut misalnya HR Rasuna Said, Teungku Fakinah, Cut Nyak Dhien, Sri Sultanah Ratu Nihrasyiah, Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, Nyai Achmad Dahlan, dan Rahmah El Yunusiyyah.

Perkembangan jilbab mengalami jalan terjal di era Orde Baru. Ditjen Pendidikan dan Menengah mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tertanggal 17 Maret 1982 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan jilbab di sekolah.

Setahun kemudian jilbab atau kerudung diperbolehkan, tetapi akan dipindahkan ke sekolah yang seragamnya memakai kerudung. Keputusan tersebut berimplikasi lahirnya revolusi jilbab dan mengundang aksi demonstrasi ribuan mahasiswa dan pelajar.

Perjuangan revolusi jilbab membuahkan hasil dengan keluarnya SK Dirjen Dikdarmen No 100/C/Kep/ D/1991 untuk mencabut larangan pemakaian jilbab. SK ini diyakini menjadi momentum kebangkitan jilbab di Indonesia. Momentum Reformasi 1998 semakin memuluskan perjuangan jilbab di Indonesia. Pasca-Reformasi perguruan tinggi dan instansi pemerintahan mulai memberikan kebebasan berjilbab. Kini jilbab sudah menjadi tradisi dan tren busana yang digandrungi.

Penyikapan bijak iklim kondusif dalam pemakaian jilbab bukan berarti berakhir perjuangan revolusi jilbab. Tantangannya kini berada pada dakwah aspek sosial dan syar'i, salah satunya terkait fenomena jilboobs.

Seluruh elemen penting menyikapi fenomena ini secara bijak, tetapi tetap dalam bingkai syariat Islam. Pertama, penting terus digencarkan sosialisasi tentang bagaimana berjilbab sesuai tuntunan. Gambaran umum sudah termaktub dalam al Qur’an seperti surat al-Ahzab: 59 dan an-Nur: 31.

Prinsip utama berjilbab adalah 4T, yaitu tempat tutup aurat, tidak transparan, tidak tembus pandang, dan tidak menyerupai lawan jenis (Ya'cub, 2014). Rasulullah saw dalam HR Muslim Nomor 2128 menjelaskan bahwa ada dua golongan wanita yang tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya.

Salah satu dari golongan tersebut adalah para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring.

Kedua, merancang dakwah berjilbab secara syar'i dengan sistematis dan bertahap. Kaum Muslim mesti hati-hati dan proporsional menyikapi fenomena jilboobs. Penggunaan istilah ini bahkan penting untuk tidak digunakan. Komunitas Hijabers menilai penggunaan istilah jilboobs merupakan penghinaan bagi perempuan pengguna jilbab.

Ketiga, mempersiapkan komponen pendukung jilbab. Berjilbab di era media sosial sangat dipengaruhi tren fashion atau artis terkenal. Artis penting dipahamkan bahwa tingkah laku dan apa yang digunakan dapat menjadi trendsetter.

Desainer dan pengusaha garmen juga penting dipahamkan agar mendesain pakaian yang bagus dan boleh modis tetapi, tetap memperhatikan aspek kepatutan dan kepatuhan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana akan membahas terkait industri fesyen dan fenomena jilboobs. Fatwa MUI yang tegas namun solutif ditunggu untuk memberikan arahan dan menjawab dilema kaum hawa. Elemen ormas, kiai, pondok pesantren, dai, dan lainnya penting berkontribusi secara bijak dan konsisten dalam melaksanakan dakwah berjilbab yang syar'i dan dapat diterima publik.

REPUBLIKA.CO.ID


Silakan klik: 
 

Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Mafaza Online: Jilboobs dan Dilema Muslimah . All Rights Reserved