Kamis, 27 Maret 2014

Home » » DR Heri Budianto: Popularitas Jokowi akan Bertarung dengan Program-Program PKS

DR Heri Budianto: Popularitas Jokowi akan Bertarung dengan Program-Program PKS

Siapa menguasai Jakarta maka dia akan menguasai Indonesia. Karena Jakarta adalah barometer Indonesia. Begitulah, setiap Pemilu partai-partai mengerahkan kekuatan penuh ketika kampanye di Jakarta. Tampil habis-habisan di Ibukota Indonesia, Jakarta.


Boleh dibilang saat ini yang menguasai Jakarta adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Di legislatif —dengan 18 kursi DPRD DKI— PKS lebih unggul dari PDIP yang meraih 11 kursi. Sedangkan PDIP dari koalisi dengan partai lain, menguasai kursi Gubernur.

PKS membuktikan Kesolidan dengan tampil menguasai Gelora Bung Karno. Prestasi ini bukan main-main, apalagi PKS berhasil menjaga konsistensinya menguasai GBK dari pemilu ke pemilu. Padahal, parpol lain akan berhitung ulang jika harus tampil di GBK, karena salah perhitungan malah bisa jeblok, karena akan terlihat sepi.

PDIP mengusung Jokowi sebagai Calon Presiden. PDIP berharap akan menang pemilu dengan popularitas Jokowi yang menguasai pemberitaan.

Kalau konfigurasinya Islam vs Nasionalis, tentu Partai berlambang putih bertarung dengan Merah akan menjadi menarik. Lalu kenapa tidak dijahit merah putih saja? Apakah masih ada politik aliran ditengah apatisme masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini wartawan Mafaza-Online.Com,  Eman Mulyatman, Kamis (20/03) mewawancarai    Direktur Political Communication Institute (Polcomm) DR Heri Budianto.
Berikut petikannya:

Kampanye sudah berlangsung, apakah ramenya panggung kampanye bisa menjadi ukuran? Seperti PKS yang menguasai GBK?

Kampanye pengerahan massa dan kampanye terbuka tidak bisa menjadi ukuran sampainya pesan politik berupa visi misi dan program partai kepada partisipan mereka. Efektifitas kampanye terbuka menurut saya tidak efektif, sebab kecenderungan kampanye terbuka diisi oleh hiburan yang menjadi lebih menarik bagi partisipan dalam kampanye tersebut.

Saya melihat kampanye besar di panggung terbuka hanya sebagai show of force saja bagi partai politik. Sementara efektivitas kampanye masih menjadi tandatanya besar.

Jokowi sudah menjadi Capres dari PDIP, padahal baru Pemilu legislatif (Pileg) ? Apa tidak terburu-buru dan bisa membuat rakyat bingung?

PDIP ingin menang pemilu, mereka berkeyakinan bahwa dengan mengusung Jokowi sebelum pileg akan mendongkrak popularitas dan elektabilitas PDIP dalam pileg. Namun menurut saya momentumnya terlalu cepat, karena akhirnya menjadi serangan lawan-lawan politik yang mengkritik dan mencari celah untuk menjatuhkan Jokowi dan PDIP.

Benarkah akan terjadi pertarungan sengit PDIP vs PKS di Jakarta?

Massa di Jakarta adalah pemilih rasional maka, partai yang akan memenangkan pertarungan di Jakarta adalah partai yang mampu menampilkan program dan solusi pemecahan masalah bangsa.

Ketokohan memang berpengaruh, nah disitulah menariknya di Jakarta, bahwa ketokohan Jokowi akan bertarung dengan program-program PKS. Menurut saya keduanya (PKS,PDIP -red) memiliki kans untuk menarik perhatian pemilih.

  

Jokowi dan PDIP mewakili kubu nasionalis, sedang kubu Islam belum ada calonnya?

Iya kita tahu partai Islam belum mampu mendongkrak calon presiden. Maka menurut saya koalisi dgn parpol nasional adalah jalannya. Nah kombinasi nasionalis Islam dapat menjadi solusi dan memiliki barganing position yang baik.

Apakah masih relevan bila dikatakan ada kubu Nasionalis dan Islam? Ditengah rakyat yang Apatis karena persoalan mendasar (ekonomi)?

Asal isi yang dijual program dan ketokohan yang menarik. Saya kira mampu menyedot perhatian masyarakat. Apatisme itu karena publik menilai tokoh-tokoh itu saja yang muncul. Maka itu, akhirnya publik apatis. Ketika ada tawaran tokoh baru dan program masih banyak masyarakat yang akan melihat sebagai solusi atas masalah bangsa.




Silakan klik:  


Share this article :

Posting Komentar