Jumat, 26 Juli 2013

Home » » Pena Jihad Jurnalis Islam Sama Dahsyatnya dengan Senjata

Pena Jihad Jurnalis Islam Sama Dahsyatnya dengan Senjata

“Kalimat yang utama adalah yang mengingatkan penguasa zalim. Seorang yang mengingatkan pemimpin zalim dan tiran sebagai bentuk amar ma’ruf nahi mungkar, lalu ia terbunuh, maka ia bukan sekedar syahid, tapi juga pemimpin para syahid.”

mafaza-online.com | BEKASI - Dalam “Halaqah Jurnalistik”, Ustadz Fuad Al Hazimi menyinggung  tentang memaknai kerja media sebagai bagian dari jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. “Setiap jurnalis muslim yang bekerja di sebuah media tertentu bergantung pada niatnya. Apakah sekadar mencari  berita atau sebatas kerja mencari nafkah saja.”

Seyogyanya, masih kata Fuad Al Hazimi, jurnalis muslim, baik ia seorang wartawan, penulis, kolumnis, harus memegang prinsip amar maruf  nahi munkar. Itu penting, sehingga orientasinya dunia-akhirat. Prinsip amar maruf nahi munkar adalah pokok agama dan tiang penyangga kaum muslimin, dan hukumnya fardhu ‘ain. “Tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing,” jelasnya.

Fuad Al Hazimi menegaskan, sebelum berprofesi apapun, semua kaum muslimin adalah da’i. Prinsip amar maruf nahi munkar itu sendiri adalah mengingkari kebatilan. Tidak cukup dalam hati, tapi berbuat sesuatu untuk menolaknya. Lihatlah, musuh Allah menggunakan alat yang sangat canggih untuk menebar propagandanya. Sementara para dai baru dari mulut ke mulut.

“Harus diakui, peran media internet itu luar biasa, penyebarannya hingga ke segala penjuru,” tegasnya.

Mengutip Ibnu Arabi, “Amar Nahi munkar adalah salah satu pokok di antara pokok-pokok Ad Dien, salah satu tiang di antara tiang utama penyangga kaum muslimin dan khilafah Rabbil alamin serta tujuan terbesar dari diutusnya para Rasul. Hukumnya adalah fardhu ‘ain atas setiap manusia baik berdua, bertiga maupun sendirian sesuai kemampuan masing-masing”.

Selain itu, amar ma’ruf nahi mungkar adalah bukti nyata baro’ah kita. Syaikh Muhammad Hamid Al Fakky menjelaskan, “Sesungguhnya hikmah dari mengingkari kebathilan adalah agar manusia mengetahui bahwa perbuatan itu merupakan maksiat yang sangat dibenci Allah. Pengingkaran itu tidak cukup hanya di dalam hati. Akan tetapi harus benar-benar menjauh dari para pelakunya, memboikot mereka, menyatakan secara terang-terangan pengingkaran itu kepada mereka serta bara’ah (berlepas diri) dari mereka”.

“Karena itu, media Islam harus menjadi kontrol sosial, menyampaikan mana yang hak dan mana batil. Diamnya media Islam sama dengan sikap menyetujui,” jelas Ust Fuad.

Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi dalam I’dad Al Qadah Al Fawaris bi Hajril Madaris : hal 6, mengatakan, “Adapun bersikap diam dan hanya mengingkari di dalam hati justru akan menjadi alasan dan hujjah bagi para ahli maksiat itu bahwa para ulama mendiamkan saja kemungkaran mereka bahkan menyetujuinya!”

Firman Allah SWT , “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]:104)

Amar ma’ruf nahi munkar adalah bagian dari Jihad. “Terkadang kita memandang sebuah amal itu kecil, padahal besar nilainya di mata Allah. Atau sebaliknya. Karena itu manajemen kerja itu penting. Mengingat media bisa merubah kata-kata menjadi kekuatan. Bahkan sama kuatnya dengan senjata.”

Mereka yang berjihad dengan penanya, ganjarannya bukan main-main. Dalam sebuah hadits shahih dijelaskan: “Kalimat yang utama adalah yang mengingatkan penguasa zalim. Seorang yang mengingatkan pemimpin zalim dan tiran sebagai bentuk amar ma’ruf nahi mungkar, lalu ia terbunuh, maka ia bukan sekedar syahid, tapi juga pemimpin para syahid.” Semoga nasihat ini menjadi penyemangat jurnalis muslim dimanapun berada. voaislam/arrahmah.com)


Share this article :

Posting Komentar